Pemuda Cerdas Kewargaan
Yudi Latif ; Sekretaris Dewan Pakar FKPPI;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS,
28 Oktober 2015
“Akhirnya," tulis Ben Anderson, "saya
percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya
memang ditentukan oleh 'kesadaran pemuda' ini."
Mohammad Hatta, sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan
pertanyaan retoris: "Apa sebabnya
pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik?"
Lantas ia jawab sendiri: "Kalau mahasiswa
Belanda, Perancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda yang serba
menggembirakan, maka pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu
tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang sudah siap
dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya.
Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana
yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan
kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat
dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya."
Kesadaran revolusioner kaum muda Indonesia itu tidaklah jatuh
dari langit, tetapi sengaja diusahakan melalui penaburan benih-benih
kecerdasan yang disemai di ruang publik. Memasuki dekade kedua abad ke-20,
generasi baru, yang terdidik secara baru, melahirkan kesadaran baru bahwa
untuk masa yang panjang bumiputra hidup bagaikan katak dalam tempurung; dan
tempurung itu dipercaya sebagai langit luas.
Mereka melihat dengan mata sendiri kesengsaraan yang diderita oleh
massa rakyat, dan menyadari sepenuhnya bahwa "senjata" lama dengan
impian ratu adilnya tak lagi memadai sebagai sarana perjuangan.
Generasi baru tampil dengan menawarkan "senjata" baru,
cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Senjata itu
bernama kecerdasan dan ilmu (ideologi). Manakala elemen-elemen kemapanan
menyeru pada "kejumudan" dan "kesempitan", kaum muda
menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme
yang lebar dan inklusif. Dengan kecerdasan dan ideologi, generasi baru
menyadari bahwa rakyat Indonesia dengan pecahan-pecahan yang banyak dan
beraneka tak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan jika tidak memiliki
"bilangan penyebut" yang sama.
Perjuangan dari keragaman posisi subyek memerlukan titik temu (common denominator). Penyebut bersama
sebagai titik temu itu mereka temukan dalam nama Indonesia, dengan imaji
komunitas bersama yang dikonstruksikan melalui Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa
Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pembongkaran
kreatif
Dalam menggagas imaji kebangsaan baru itu, Sumpah Pemuda berisi
kecerdasan pembongkaran kreatif (creative
destruction). Menerobos kecenderungan serba ragu, konformis, parokialis,
dan status quois dari generasi tua, para pemuda-pelajar, yang semuanya
berusia di bawah 30 tahun itu, datang dengan etos kreatif. Etos kreatif ini,
seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The
Creative Mind (1968), bersendikan kecerdasan dengan kepercayaan diri dan
kesanggupan menanggung risiko sehingga memiliki kemampuan untuk
mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru yang lebih baik.
Sumpah Pemuda itu juga berisi tekad dari suatu kaum yang progresif,
bahwa pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental
kejiwaan (state of mind). Dalam
ungkapan Samuel Ullman, "Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur,
bibir merah, dan pipi yang berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas
imajinasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan."
Sumpah Pemuda itu berisi kebesaran. Kebesaran jiwa yang
mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup bersama. Meski
bahasa Jawa dengan jumlah penutur paling banyak, dan pemuda-pelajar yang
menghadiri Kongres Pemuda itu juga banyak yang berasal dari tanah Jawa,
bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan
kebangsaan yang egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa Melayu-Indonesia
sebagai bahasa persatuan.
Sumpah Pemuda itu berisi keluasan. Keluasan horizon imajinasi
kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama dan kedaerahan. Di
bawah payung "nasionalisme kewargaan", segala kesempitan dan
keragaman dipertautkan ke dalam
keluasan imaji keindonesiaan. Kesanggupan mentransendensikan kesempitan
etnosentrisme menuju keluasan solidaritas kebangsaan itu pada akhirnya
berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.
Elan vital jiwa Sumpah Pemuda itu sangat penting kita bangkitkan,
manakala kehidupan publik-kenegaraan saat ini cenderung mengabaikan
kecerdasan. Kehormatan pikiran kembali dihinakan oleh politik dinasti dan
kekuatan uang, yang membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif, dan ekonomi kreatif sebagai
basis daya saing global pada era pasca industri tak bisa berkembang secara
kondusif.
Dengan peluluhan daya pikir, kelebaran semangat nasionalisme
kewargaan juga disempitkan kembali oleh semangat partaiisme, tribalisme,
koncoisme, fundamentalisme, dan daerahisme. Dalam situasi demikian, proyek
nasionalisme kewargaan yang digagas Sumpah Pemuda berjalan surut ke belakang.
Kita dihadapkan pada situasi pahit, harus menerima nubuat dari Edward Shils, "Kendati intelektual negara-negara
terbelakang telah menciptakan ide tentang bangsa di negeri mereka sendiri,
mereka belum sanggup mencipta sebuah bangsa. Mereka sendiri adalah korban
dari kondisi itu karena nasionalisme tidak
dengan sendirinya menjelmakan semangat kewargaan."
Gerak mundur
keindonesiaan
Gerak mundur keindonesiaan sebagai kebangsaan yang tidak
mewujudkan kewargaan itu sangat tampak dari melemahnya jati diri manusia
Indonesia dalam aspek kedirian yang bersifat publik. Bahwa pribadi yang baik
tidak dengan sendirinya menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang
baik. Kita juga bisa menyaksikan, hampir semua hal yang bersifat kolektif
mengalami dekadensi: parpol sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi sakit,
aparatur penegak hukum, dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan
organisasi-organisasi keagamaan berskala besar pun mulai menunjukkan gejala
sakit.
Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan
kegagalan pembangunan bangsa dalam mengembangkan "kecerdasan
kewargaan" (civic intelligence). Pendidikan terlalu menekankan
kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha mempertautkan keragaman
kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif kewargaan. Setiap
individu dibiarkan menjadi deret "huruf" alfabet, tanpa disusun secara kesatuan dalam
perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke dalam "kata" dan
"kalimat" bersama. Akibatnya, banyak manusia yang baik dan cerdas
tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas
(sadar akan kewajiban dan haknya).
Padahal, pengembangan "kecerdasan kewargaan" lebih
fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi
individualisme. Berbeda dengan individualisme, Pancasila memandang, bahwa
dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia
tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap
pribadi membentuk dan dibentuk oleh jaringan relasi sosial. Semua manusia,
kecuali mereka yang hidup di bawah keadaan yang sangat luar biasa, tergantung
pada bentuk-bentuk kerja sama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan
manusia dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan
kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya.
Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam
kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, pengembangan jati diri bukan saja
harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya
sebagai "perwujudan khusus" ("diferensiasi") dari alam.
Pengembangan jati diri juga harus memberi wahana setiap orang untuk mengenali
dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
sistem perilaku bersama yang terkristalisasi dalam Pancasila. Pancasila
sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan
membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter
perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Karena itu, pengembangan "kecerdasan kewargaan"
berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun,
persis pada titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan
pembangunan selama ini. Peringatan hari Sumpah Pemuda harus dijadikan
momentum mengembalikan trayek kebangsaan Indonesia pada rel nasionalisme
kewargaan, dengan mengembangkan "kecerdasan kewargaan" berjiwa
Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar