Menilai Kebijakan Masa Lalu
Salahuddin Wahid ;
Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
REPUBLIKA,
04 November 2015
Dalam NU Online ada
berita bahwa Yahya Staquf dalam sebuah acara menyampaikan, NU keluar dari
Partai Masyumi dan menjadi Partai NU untuk mencegah Partai Masyumi menjadi
pemenang lebih dari separuh suara pada Pemilu 1955. Alasan lain karena NU
tidak setuju tujuan Masyumi menjadikan Indonesia negara berdasarkan Islam.
Saya tidak tahu Yahya
Staquf mendapat informasi itu dari mana. Setahu saya saat NU keluar dari
Masyumi pada 1952, NU masih memperjuangkan negara RI berdasarkan Islam.
Perjuangan itu bisa kita lihat ketika NU bersama Masyumi, PSII, Perti, dan
lainnya memperjuangkan negara berdasarkan Islam di persidangan Konstituante
1956-1959.
Perjuangan itu tidak
berhasil setelah pada pemungutan suara pendukung negara berdasarkan Islam
hanya memperoleh 43 persen suara. Kira-kira, suara Partai Masyumi kalau NU
masih bergabung di dalamnya tidak akan jauh dari angka itu.
Kalau NU tidak
mendukung negara berdasarkan Islam dalam pemungutan suara di Konstituante,
tentu UUD yang sedang disusun Konstituante akan bisa disahkan karena jumlah
suara pendukung dasar negara Pancasila akan melampaui 2/3 jumlah suara. Kalau
itu terjadi, UUD kita saat ini bukan UUD 1945, tapi UUD 1959.
Perjuangan itu
dilanjutkan saat Bung Karno meminta dukungan NU ketika akan mengeluarkan
Dekrit 5 Juli 1959. Ketua Umum PBNU Idham Chalid dan Sekjen Saifuddin Zuhri
meminta supaya Piagam Jakarta diberi posisi menentukan.
Bung Karno menempatkan
masalah Piagam Jakarta sebagai salah satu butir pertimbangan: Piagam Jakarta
menjiwai dan menjadi bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Tafsiran kalimat
dari butir pertimbangan itu masih menjadi perdebatan dalam waktu yang lama
setelah keluarnya dekrit itu.
Karena Partai NU masih
berjuang untuk negara berdasarkan Islam, pada Pemilu 1971 pemerintahan Orde
Baru dan TNI menekan supaya perolehan suara NU tidak tinggi. Saya masih ingat
pada masa kampanye Pemilu 1971, saya bertanya kepada mertua saya, Saifuddin
Zuhri, mengapa NU tidak menerima negara berdasarkan Pancasila.
Menurut saya, negara
berdasarkan Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Sejak kampanye Pemilu
1955 saya sudah setuju negara berdasarkan Pancasila. Beliau menjawab, hampir
semua kiai masih menginginkan negara berdasarkan Islam. Saat NU bergabung ke
PPP pada awal 1973, partai ini juga masih berjuang untuk negara RI
berdasarkan Islam.
NU menerima sepenuhnya
negara berdasarkan Pancasila pada Munas Ulama 1983 dan kemudian disetujui
pada Muktamar NU 1984. Dalam Munas dan Muktamar itu pun masih terjadi debat
tajam mengenai setuju atau tidaknya muktamar menerima Pancasila. Bersyukur,
KH Ahmad Siddiq yang menyusun naskah Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila
didukung sejumlah kiai sepuh bisa meyakinkan para muktamirin untuk menerima
Pancasila. KH Ahmad Siddiq sudah sejak lama mengusulkan supaya NU menerima,
secara penuh dan sukarela, Pancasila sebagai dasar negara.
Sekitar saat era
reformasi mulai bergulir, banyak anak muda NU yang berbicara
"deformalisasi syariat Islam". Menurut saya "deformalisasi
syariat Islam" itu tak sesuai fakta. Saya menafsirkan semboyan itu
bermakna menggugat syariat Islam yang masuk UU.
Semua ketentuan
syariat Islam yang khusus Islam (partikular) bukan yang universal harus
dibongkar dari UU. Saat itu sudah ada UU Perkawinan (1974) dan UU Peradilan
Agama (1989). Apakah itu makna dan tujuan "deformalisasi syariat
Islam", yaitu membatalkan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama?
Kalau betul itu tujuan
"deformalisasi syariat Islam" maka itu mengabaikan perjuangan para
ulama era masa lalu yang berjuang untuk memasukkan ketentuan syariat Islam ke
UU khususnya dalam hukum keluarga. Kalau yang dimaksud "deformalisasi
syariat Islam" itu dengan tetap mempertahankan sebagian syariat Islam
yang sudah masuk UU, istilah yang dipakai adalah menerima secara terbatas
masuknya syariat Islam ke UU.
Kalau kita perhatikan
proses pembentukan UU Perkawinan, sungguh luar biasa. Pemuda-pemuda Islam
dari berbagai organisasi menyerbu gedung DPR dan menduduki gedung itu
sehingga sidang terpaksa dihentikan. KH Bisri Syansuri, Rais Aam Syuriyah
PBNU bersama para ulama dari berbagai organisasi Islam menyampaikan pandangan
para ulama tentang RUU Perkawinan yang dianggap bertentangan dengan syariat
Islam.
Usul itu akhirnya
disetujui Pak Harto dan dimasukkan di Pasal 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan
yang mengatur perkawinan harus dilakukan sesuai hukum agama masing-masing.
Saat kedua UU itu disahkan, Golkar, PPP, dan Fraksi ABRI menerima, hanya PDI
yang menolak. Kini UU itu sudah berusia 41 tahun.
Belum lama ada
sejumlah warga yang menggugat UU itu ke MK, tetapi ditolak. Memang masih ada
sejumlah hal yang dipermasalahkan. Pertama, pernikahan antara Muslim dan
warga beda agama, ada yang mengusulkan supaya dibolehkan.
Masalah lain ialah
ekses pernikahan kedua dan berikutnya yang secara siri. Ada yang mengusulkan
supaya poligami dilarang, tetapi ada juga yang menolak. Pernikahan sesama
jenis belum menjadi masalah di sini walau sudah ada yang melakukannya, di
Bali dan Jawa Tengah.
Pelajaran agama
Prof Dr Musdah Mulia
meng-copy-paste pendapat kawannya dan menyiarkannya melalui Facebook, yang
mengusulkan pelajaran agama dihapus dari sekolah. Menurutnya, Australia dan
Singapura menghapus pelajaran agama dan menjadi negara maju.
PM Lee Kuan Yew
menetapkan agama adalah urusan pribadi. Lee melihat pengajaran agama justru
menimbulkan perpecahan dan konflik, bukan perdamaian.
Ada kritik bahwa
Kementerian Agama yang memiliki jutaan pegawai di bidang agama, puluhan ribu
sekolah agama dan ratusan ribu rumah ibadah, triliunan rupiah untuk
pembangunan bidang agama, tapi hasilnya? Indonesia masuk negara terkorup di
dunia, bahkan korupsi pun marak di Kementerian Agama.
Indonesia berbeda
dengan Australia dan Singapura, punya sejarah berbeda. Sejak zaman penjajahan
Belanda, sudah ada kantor yang mengurus masalah agama. Jepang melanjutkan
kebijakan Belanda itu. Ketika RI merdeka, ada usul membentuk Kementerian
Agama di kabinet pertama, tetapi ditolak. Baru pada kabinet kedua (Januari
1946) dibentuk kementerian agama.
Pesantren yang
merupakan lembaga pendidikan tertua belum banyak perhatian dan kebijakan
pemerintah. Baru pada 1950, ada kesepakatan antara Menteri PPK Bahder Johan
dan Menteri Agama Wahid Hasyim yang intinya memberi pelajaran agama di
sekolah dan mendirikan madrasah sederajat dengan sekolah, yaitu madrasah
ibtidaiyah (MI) setingkat SD, madrasah tsanawiyah (MTs) setingkat SMP, dan
madrasah aliyah (MA) setingkat SMA.
Saat ini ada sekitar
74 ribu madrasah, lebih dari 90 persen milik swasta. Bayangkan kalau tidak
ada madrasah swasta itu, jutaan warga akan kehilangan hak memperoleh
pendidikan dasar dan menengah, yang sebetulnya menjadi tanggung jawab negara.
Kalau madrasah tidak ada pengajaran agama tentu aneh.
Pada era Menteri Agama
Wahid Hasyim, Kementerian Agama juga mendirikan PTAIN yang berkembang menjadi
IAIN, STAIN, dan UIN. Bayangkan kalau tidak ada IAIN, ribuan anak muda
berbakat dari pesantren tak mengalami mobilitas vertikal, berkesempatan belajar
ke universitas di luar negeri, termasuk Musdah Mulia.
Tidak bisa dibantah,
di Kementerian Agama terjadi banyak tindak pidana korupsi, bahkan ada dua
menteri yang sudah diajukan ke pengadilan. Perlu dipahami, Kementerian Agama
itu adalah sebuah kementerian yang berlaku kaidah dan tradisi kementerian. Di
Kementerian Pendidikan juga banyak korupsi, baik yang sudah ditangkap maupun
belum. Apa karena itu lalu Kementerian Pendidikan juga harus dibubarkan?
Salah satu pertanyaan
besar saya yang hampir 10 tahun memimpin pesantren ialah metode apa yang
harus dipakai untuk bisa menanamkan nilai-nilai agama yang baik ke dalam diri
santri? Ada lima nilai yang ingin kami tanamkan ke dalam diri santri
Tebuireng yang berasal dari ajaran Mbah Hasyim Asy'ari, yaitu ikhlas, jujur,
kerja keras, tanggung jawab, dan tasamuh (toleran). Selain itu kami menolak
semua bentuk tindak kekerasan di lingkungan pesantren.
Bagaimana cara untuk
mengukur kemajuan menanamkan nilai itu, seperti mengukur kemajuan mentransfer
pelajaran di sekolah? Seandainya berhasil dalam menanamkan nilai-nilai itu,
bagaimana upaya untuk bisa mempertahankan nilai-nilai itu di dalam diri
santri setelah mereka lulus dan masuk universitas?
Ketiga masalah di atas
muncul akibat ketidakcocokan penilaian terhadap peristiwa di masa lalu yang
dilakukan dengan pranata sosial saat ini. Suatu peristiwa atau kebijakan
terjadi akibat interaksi antarberbagai pihak yang terkait dan dipengaruhi
suasana yang terbentuk saat itu. Tidak bisa kita menilai apa yang terjadi sekian
puluh tahun lalu berikut dinamikanya pada saat itu dengan kondisi sosial dan
ukuran yang berlaku pada saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar