Mencegah Korupsi di Parlemen
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption
Watch
|
JAWA
POS, 26 Oktober 2015
BARU setahun
bekerja, citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014–2019 sudah buruk di
mata publik. Salah satu penyebabnya adalah penetapan tiga anggota DPR sebagai
tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah
Adriansyah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Patrice Rio Capella
dari Partai Nasional Demokrat, dan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura.
Ironisnya,
penetapan Patrice Rio Capella dan Dewi Yasin Limpo sebagai tersangka korupsi
terjadi tidak lama setelah Wakil Ketua DPR Fadli Zon terpilih sebagai
presiden Global Organization of
Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) dalam konferensi GOPAC VI di
Jogjakarta pada 6–8 Oktober 2015 lalu.
GOPAC
merupakan organisasi internasional parlemen melawan korupsi yang beranggota
sejumlah parlemen dari perwakilan Benua Afrika, Arab, Amerika Latin, Asia
Selatan dan Kepulauan Karibia, serta Amerika Utara. Meski banyak
dipertanyakan, banyak pihak termasuk KPK memberikan apresiasi atas
terpilihnya Fadli Zon sebagai presiden GOPAC.
Sekitar
setahun lalu atau tepatnya Agustus 2014, Pramono Anung selaku ketua GOPAC
Indonesia bahkan menegaskan akan membangun gerakan tidak ada korupsi (zero corruption) di parlemen. Gerakan
ini ditujukan untuk membersihkan perilaku korupsi di tubuh parlemen oleh
setiap anggota dewan yang menjalankan aktivitasnya.
Namun,
mewujudkan zero corruption di parlemen bukanlah suatu yang mudah. Wajah
parlemen Indonesia sudah melekat dengan fenomena korupsi. Praktik korupsi
yang melibatkan anggota parlemen di Indonesia masih saja muncul, tidak hanya
di tingkat nasional, tapi sudah menjalar secara merata hingga parlemen
daerah.
Dalam pantauan
Indonesia Corruption Watch (ICW), selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir,
ada 82 politikus dari berbagai partai politik yang dijerat KPK. Data
Kementerian Dalam Negeri pada 2014 menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD
se-Indonesia yang tersangkut perkara korupsi selama kurun waktu 2004–2014.
Dalam pantauan
ICW, mayoritas anggota dewan tersangkut dalam perkara korupsi dengan modus
suap-menyuap, namun tidak sedikit yang dijerat dengan penyalahgunaan
wewenang. Fenomena korupsi yang melibatkan anggota parlemen di tingkat
nasional umumnya muncul saat pembahasan rancangan undang-undang, penanganan
kasus, pemekaran wilayah, dan kunjungan kerja ke suatu tempat atau daerah.
Praktik
suap-menyuap kerap terjadi dalam sejumlah pembahasan anggaran, pengambilan
suatu kebijakan oleh DPR, studi banding ke luar negeri, rapat kerja dengan
BUMN, atau proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pejabat publik.
Pada 2013, KPK
juga pernah melakukan kajian tentang korupsi di parlemen. Komisi antikorupsi
menelusuri titik rawan korupsi dalam pelaksanaan tiga fungsi DPR, yaitu
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam fungsi legislasi, banyak
ditemukan celah transaksional saat pembahasan rancangan undang- undang (RUU).
Dalam fungsi anggaran DPR, kerawanan muncul saat penyusunan alokasi dana dan
proses anggaran di DPR yang terlalu detail.
Sementara itu, dalam fungsi
pengawasan DPR, potensi korupsi muncul karena ketidakjelasan kriteria yang
spesifik dalam menentukan objek pengawasan.
Penangkapan
tiga anggota DPR dan terpilihnya Fadli Zon sebagai presiden GOPAC harusnya
menjadi momentum bagi parlemen untuk mencegah korupsi yang dilakukan
anggotanya kembali terjadi. Jika sulit terwujud, gerakan zero corruption di
parlemen perlu diubah menjadi gerakan mengurangi atau mencegah korupsi di
parlemen.
Mengurangi
korupsi di parlemen setidaknya dapat dilakukan dengan menindaklanjuti
rekomendasi kajian yang dibuat KPK pada 2013 lalu. Rekomendasi KPK tidak saja
berupaya mencegah terjadinya praktik korupsi, namun juga mendorong
peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan fungsi DPT pada masa
mendatang.
Fokus
pencegahan korupsi harus dilakukan di setiap fungsi DPR. Dalam pelaksanaan
fungsi legislasi, perlu dibuka ruang akses informasi publik terkait dengan
draf RUU dan proses pembahasannya, dan penyederhanaan prosedur dalam
pembahasan RUU.
Dalam fungsi
anggaran, perlu ada peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam
menetapkan mekanisme, kriteria, peruntukan, dan pembiayaan dana. Sementara
itu, dalam fungsi pengawasan, perlu disusun kriteria dalam pemilihan objek
pengawasan yang harus ditetapkan secara jelas sehingga kriterianya menjadi
lebih jelas dan tidak dapat disalahgunakan.
Keberadaan
fungsi pengawasan majelis kehormatan dewan di parlemen perlu juga
dimaksimalkan. Untuk mendukung berkurangnya korupsi di parlemen, pimpinan DPR
juga tidak perlu malu untuk melibatkan pihak eksternal dalam melakukan
pengawasan. Semua kerja DPR pada fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan
harus dilakukan secara transparan sehingga bisa diakses dan dikritisi publik.
Keberadaan KPK
penting dipertahankan dan dilibatkan dalam menindak anggota parlemen yang
terbukti korupsi dan sekaligus mencegah munculnya terulangnya korupsi yang
memalukan parlemen Indonesia.
Parlemen Indonesia harus
menjadi contoh baik bagi para anggota GOPAC dalam memerangi korupsi. Bukan
justru sebaliknya, menjadi contoh buruk dengan maraknya korupsi yang
melibatkan anggota parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar