Masa Depan ASEAN
Andre Notohamijoyo ;
Delegasi RI dalam Forum Kerja Sama ASEAN Bidang Pertanian dan
Kehutanan; Bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan
|
KOMPAS,
31 Oktober 2015
Gema tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku akhir
2015 sudah sangat nyaring. Berbagai pertemuan dan kajian tentang MEA pun
sudah sangat banyak dilakukan.
Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam kerja sama ASEAN,
penulis justru tidak tahu harus bagaimana menyikapi MEA. Kerja sama ASEAN
tidak pernah dan hanya berkisar seputar rapat, lokakarya, pelatihan, dan
seminar. Ada gurauan di antara para delegasi: "Selesai acara, selesai
pula persoalan". Bagaimana mewujudkan integrasi ekonomi dengan kondisi
demikian?
Penulis kerap berdiskusi dengan rekan-rekan sesama delegasi
ASEAN. Mereka umumnya mengeluhkan lambatnya perkembangan isu yang dibahas di
ASEAN dan tidak pernah tuntas. Sebagai contoh, kerja sama komoditas pertanian
dan kehutanan lingkup ASEAN di bawah kerangka Joint Committee on Agriculture and Forestry Product Promotion Scheme
yang telah diinisiasi lebih dari 20 tahun lalu, sebagian besar stagnan dan
bahkan beberapa komoditas (seperti lada, tapioka, kelapa, kacang dan
bebijian, produk kayu, dan kelapa sawit) dalam beberapa tahun terakhir tidak lagi
ada perkembangan. Tercatat hanya pertemuan terkait komoditas tuna dan rumput
laut yang rutin diselenggarakan secara tahunan.
Kerja sama intra-ASEAN dalam bidang perdagangan barang, jasa,
serta investasi secara alamiah sebetulnya sudah berjalan bagus dan integrasi
ekonomi lebih konkret terlihat. Produk-produk ekspor dengan mudah ditemui di
jaringan retail negara-negara ASEAN. Begitu pula jaringan restoran, waralaba,
jasa keuangan, hingga bisnis daring. Meskipun tentu saja ada peran pemerintah
atas terwujudnya kerja sama tersebut, sebetulnya kerja sama antarpelaku usaha
terjadi karena adanya kepentingan ekonomi alih-alih karena dorongan negara.
Konvergensi ASEAN justru semakin melemah. Tengoklah, sangat
sedikit pameran dagang yang memakai atribut ASEAN. Demikian pula pameran
internasional di luar ASEAN yang memakai embel-embel ASEAN. Proyek-proyek
pembangunan yang diinisiasi ASEAN terhitung sangat sedikit. Bisa jadi pabrik
pupuk ASEAN Aceh Fertilizer di Aceh yang sekarang sudah tutup akibat
kekurangan pasokan gas dan mismanajemen merupakan proyek terakhir ASEAN.
Delapan
kendala
Mengapa kerja sama G to G di ASEAN cenderung stagnan? Penulis
menengarai ada beberapa faktor penyebab.
Pertama, latar belakang pendirian ASEAN cenderung karena
dorongan dari pihak-pihak di luar kawasan Asia Tenggara yang menginginkan
stabilitas politik di kawasan tersebut untuk melancarkan kepentingan
ekonominya. Akibatnya, selama ini peran ASEAN lebih kuat sebagai lembaga
resolusi konflik.
Kedua, negara-negara ASEAN secara alamiah punya keunggulan
komparatif yang sama, yaitu sebagai negara agraris maritim dengan produk yang
relatif sama, kecuali Singapura (negara kota) dan Laos (negara landlocked). Secara alamiah pula
negara-negara ASEAN merupakan kompetitor satu sama lain dalam ekspor produk
pertanian dan perikanan.
Ketiga, negara-negara ASEAN tidak terintegrasi secara geografis
sehingga posisi geopolitik setiap negara berbeda. Proyek pembangunan kereta
cepat trans-Singapura-Malaysia-Tiongkok tak punya pengaruh positif secara signifikan
bagi pembangunan kawasan timur ASEAN, seperti Brunei, Indonesia, dan
Filipina. Demikian pula dengan pembangunan waduk-waduk di Laos yang memasok
listrik hingga ribuan megawatt yang memosisikannya sebagai "Battery of
ASEAN" tidak berpengaruh pada keseluruhan kawasan, kecuali pada
subkawasan Indocina.
Keempat, negara-negara ASEAN secara historis memiliki riwayat
konflik antarnegara yang cukup rumit. Persoalan batas wilayah, lalu lintas
pekerja migran, dan perdagangan tradisional di perbatasan masih menjadi isu
yang relevan hingga saat ini.
Kelima, perbedaan level ekonomi antarnegara menyebabkan adanya
perbedaan kemampuan mengimplementasikan suatu kesepakatan pada setiap negara.
Perbedaan tersebut juga menyebabkan disparitas pertumbuhan antarbagian dalam
kawasan ataupun subkawasan.
Keenam, ketiadaan kepemimpinan ASEAN. Selama 20 tahun terakhir
tidak ada satu pun pemimpin negara ASEAN yang berani mengambil inisiatif
kepemimpinan di ASEAN. Mereka cenderung kurang memedulikan kerja sama
regional, menyebabkan divergensi makin menguat. Masalah penanganan pengungsi
Rohingya dan kabut asap menjadi contohnya.
Ketujuh, para pejabat tinggi negara ASEAN cenderung bersifat
wait and see dan menghindari komitmen. Mereka sering kali menyesalkan kerja
sama ASEAN yang tidak maju-maju tanpa berani melakukan terobosan. Hal
tersebut laksana orang yang hanya menunggu buah jatuh dari pohon tanpa
berusaha mengambil buah dengan cara lain. Lee (2006) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa ASEAN bersandarkan pada mimpi integrasi dan satu komunitas,
tetapi cenderung menuju kegagalan karena berbasis pada kerja sama
antarpemerintah yang lemah.
Kedelapan, ASEAN saat ini sedang terbelah oleh berbagai kerja
sama kawasan lain yang lebih dinamis dan menjanjikan bagi negara pesertanya,
seperti Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan Kemitraan Trans-Pasifik
(TPP). APEC memberikan dorongan yang lebih dinamis bagi kerja sama ekonomi
meskipun bersifat sukarela dan tak mengikat secara hukum. Sementara itu, TPP
menawarkan liberalisasi perdagangan yang sangat ambisius dan menjanjikan
akses pasar yang lebih luas bagi 12 negara anggotanya, termasuk sejumlah
negara ASEAN (Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Singapura) yang menguasai 40
persen ekonomi dunia.
Kedelapan faktor di atas sulit untuk diselesaikan tanpa
keberanian setiap negara untuk melakukan terobosan. Apabila dibiarkan
berlarut-larut, masa depan kerja sama ASEAN terancam tidak menentu dan
cenderung menjadi arena rendezvous para pejabatnya saja. Ternyata di usia
ke-48, masa depan ASEAN pun belum pasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar