Konstitusionalisme Paket Ekonomi VI
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara;
Dosen Fakultas Hukum Universitas
Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 12 November 2015
Sejarah
konstitusionalisme sebuah negara, sepanjang yang terentang dalam samudra
pemikiran hukum dan politik, harus diakui merupakan sejarah tentang impian
bangsa itu menata takdirnya.
Sejarah itu, dalam
esensi dan sifatnya yang nyata, merupakan sejarah tentang pertautan ide
ekonomi politik dominan berhadapan dengan ide yang sama orang kebanyakan,
untuk tak mengatakan kawanan yang kebingungan. Betapapun menempatkan
konstitusi sebagai sandaran, panduan utama sebuah negara menititakdirnya,
dalamsifatnya yang nyata pula tak selalu begitu.
Dinamikanya selalu
rumit walau tak mungkin tak bisa diurai. Dalam konteks itu, sejarah
konstitusionalisme, sejatinya merupakan sejarah para pemenang, umumnya
pemodal yang memiliki koneksi politik, atau sebaliknya politisi yang punya
koneksi ekonomi.
Gambarannya
Konstitusionalisme,
karena itu, untuk sebagian kasus, mengikuti perspektif John Stuart Mill,
ilmuwan Inggris yang terkenal itu, tidak bisa dilepas dari dua kekuatan
utama; ekonomi dan politik. Pemilik kekuatan ekonomi, suka atau tidak, tidak
mungkin membiarkan politisi, yang acapkali mengagungkan kemauan orang banyak,
bukan kawanan yang kebingungan, menentukan takdir mereka.
Lord Acton, ilmuwan
yang dikenal dengan kredo kekuasaan korupnya, suatu saat, mengonstatir adanya
tangan tersembunyi di balik revolusi Prancis, sebuah revolusi yang
digelorakan dengan liberte, egalite, dan fraternite, yang akhirnya ditandai
oleh James Harley Robinson dan Charles A Bird sebagai pangkal Atlantic Civilization yang terkenal
itu.
Thomas Jefferson,
presiden ketiga Amerika, pada sebuah kesempatan menandai hal yang sama, untuk
kasus berbeda. Jefferson, seperti direkam oleh Ralp Epperson, penulis New World Order, terang-terangan
menentang pendirian the first bank, yang disukai Adam Weicshaup, pemodal luar
biasa besar, yang tali-temalinya terhu-bung dengan Bank of England, di
London.
Jefferson menggunakan
ketentuan konstitusi, pasal 1 ayat (8), yang menurutnya tidak memberi
kewenangan kepada kongres membuat undang-undang, yang memberi otoritas kepada
presiden mendirikan bank sentral. Dalam argumennya, mungkin dapat dinilai
idealis, kata Jefferson, jika rakyat Amerika membolehkan bank swasta
mengendalikan masalah mata uang, yang akan terjadi, pertama inflasi, kedua
deflasi.
Bank yang demikian
itu, yang tumbuh di sekeliling mereka akan mengambil harta kekayaan rakyat
sampai anak-anak tidak lagi memiliki benua yang ditaklukkan oleh ayah mereka.
Faktanya, Jefferson kalah, dan the
first bank yang disusul dengan second
bank dan akhirnya the federal
reserve system, the FED, didirikan dan hidup manis hingga saat ini.
Apakah paket demi
paket ekonomi, khususnya paket ekonomi keenam yang telah diumumkan itu, cukup
masuk akal disematkan sebagai kemenangan kaum pemodal? Insentif yang begitu
luas, yang disediakan dalam paket ekonomi keenam, tak menjadi hantu buat
mereka. Tak mungkin insentif itu tak dinantikan. Toh, insentif itu merupakan
replika dari aturan dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK).
Tertib Konstitusi Terancam
Menyediakan insentif
yang begitu menggiurkan di bidang keuangan–perpajakan dan bea masuk, juga
cukai, impor, dan ekspor–berikut perizinan di bidang pertanahan di tengah
kawasan ekonomi khusus yang telah terbentuk, tetapi belum terjamah secara
efektif, tentu menarik. Menariknya adalah belum ada kepastian hukum yang
konkret bagi pemodal tentang semua insentif itu.
Berapa lama insentif
itu diberikan, berapa besar persentasenya, berapa lama jangka waktu
penyelesaian hak guna usaha misalnya, sungguh, tak diatur dalam UU Nomor 39
Tahun 2009 tentang KEK itu. Nalarnya UU itu belum memberi kepastian hukum
konkret kepada pemodal. Tetapi, tetap saja bermakna peluang telah ada di
depan mata. Soalnya adalah bagaimana mengubah potensi itu berubah menjadi
konkret.
Datanglah kembang
seroja bernama pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Keadaan
ini, oleh sebagian kalangan, dinilai dapat memicu krisis ekonomi, bahkan
sebagian lagi menilai keadaan itu sebagai krisis yang nyata. Laksana pucuk
dicinta, ulam pun tiba, paket demi paket ekonomi, yang dituangkan ke dalam
peraturan pemerintah pun bersinar di atas samudra konstitusionalisme.
Demi penghidupan yang
layak bagi warga negara, sebuah kewajiban konstitusional pemerintah, begitulah
esensi Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, pemerintah harus bertindak.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak bisa dibiarkan. Untuk
tujuan itu, Pasal 33 UUD 1945 pun menemukan momentum konstitusional konkret.
Dalam konteks itu,
tidak lagi penting menilai dan menautkan esensi ayat demi ayat dalam Pasal 33
itu untuk memastikan harmoni konstitusional dari kebijakan berbentuk paket
demi paket ekonomi itu. Memastikan harmoni itu, akan dinilai sebagai
pekerjaan yang terlalu rumit, dan tidak tepat di tengah keadaan tak menentu
itu. Kapitalis yang berbaju sosialis akan menertawakannya.
Semuanya beres hanya
dengan satu pukulan kecil yang menakutkan; pelemahan nilai tukar rupiah
terhadap dolar. Tax holiday dan tax allowance, berikut pengistimewaan
lainnya, tidak lagi penting ditimbang derajat konstitusionalnya.
Menimbangnya, akan dinilai, bisa jadi, sebagai manusia provokatif, manusia
yang tak menghendaki kemajuan daerah.
Bukankah
kawasan-kawasan ekonomi khusus itu adanya nun jauh di sana, di daerah,
seperti Morotai di Maluku Utara? Konstitusionalisme ugalugalan di bidang
ekonomi, mungkin tak akan jadi ciri konstitusionalisme Indonesia akan datang,
betapapun dari waktu ke waktu sumber daya alam jatuh ke tangan kapitalis
berbaju sosialis, dan digunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran mereka.
Krisis yang sangat sering ditunjuk sebagai senjata andalan konstitusionalisme
kapitalis, kelak akan terus andal menyingkirkan tertib konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar