Ketika Presiden Marah
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 18 November 2015
PADA 16 November 2015, Wakil Presiden Jusuf
Kalla melaporkan bahwa Presiden Joko Widodo terkejut dan marah. Konon, beliau
marah karena ulah unsur pimpinan DPR yang mencatut nama presiden dalam urusan
Freeport.
Sejak lama kita mengenal Jokowi adalah tokoh yang santun,
semringah, gampang mengumbar tawa, dan lugas. Kini kita mendapat berita
Jokowi marah.
Konstitusi tidak melarang presiden marah. Kita
pun mengerti jika presiden marah berdalih kepentingan bangsa-negara dan
kehormatan pejabat. Wajah kalem dan tawa bernada itu berubah menjadi ekspresi
kemarahan.
Dulu Jokowi jarang diceritakan marah saat
memimpin Solo dan Jakarta. Kemarahan bisa muncul karena ada hal-hal yang
keterlaluan. Jokowi suka bercakap dalam mengatasi pelbagai perkara atau
bersikap untuk realitas politik. Kebiasaan itu bisa menguak kejawaan dan
kemauan jadi teladan. Nalar kekuasaan Jawa memungkinkan penguasa marah,
tetapi memerlukan kesesuaian perkara, tempat, waktu, dan pilihan bahasa.
Marah itu representasi kekuasaan. Sejarah di
Jawa turut dipengaruhi marah para raja yang berkaitan dengan politik,
ekonomi, agama, seks, dan militer. Marah itu manusiawi, tetapi memiliki
seribu arti saat dimunculkan di panggung kekuasaan. Jokowi mungkin pernah
belajar Wulangreh, Wedhatama, Jayengbaya, Nitisastra, atau Sanasunu untuk
menjadikan diri sebagai manusia bijak dan pemimpin yang pandai mengolah rasa.
Teks-teks sastra klasik Jawa sering bermuatan
petuah atau ’’piwulang’’ mengenai karakter manusia. Jokowi mungkin meresapi
ajaran-ajaran dalam ’’sastra piwulang’’ agar tak gampang marah atau bertindak
gegabah dalam mengurusi seribu perkara di Indonesia.
Berita tentang Jokowi marah bisa membuat kita
terkejut, meski menganggap itu wajar. Presiden tanpa marah malah tidak lazim.
Presiden-presiden di Indonesia pernah marah, sejak Soekarno sampai SBY.
Apakah Jokowi juga pernah mempelajari cara marah para presiden terdahulu?
Semoga Jokowi mengetahui ekspresi kemarahan para presiden masa lalu, tetapi
tidak harus meneladani. Jangan jadikan marah sebagai keteladanan absolut!
Kita memiliki ingatan Soekarno marah karena
demonstrasi kaum perempuan terkait dengan poligami. Soekarno jadi sasaran
perlawanan atas lakon-lakon asmara Soekarno. Para tokoh gerakan perempuan
menginginkan Soekarno mawas diri, tidak berlaku sebagai presiden yang memuja
asmaranisme bercap poligami. Presiden marah dan berusaha memberikan
penjelasan, meski sulit dipahami.
Pada 1960-an, Soekarno juga marah dalam
situasi politik yang panas. Kemarahan berakibat ke pembubaran partai politik,
pemenjaraan tokoh, serta pemberedelan pers. Soekarno tentu marah saat
mendapat ejekan dan tuduhan dari para mahasiswa. Demonstrasi pada hari-hari
menjelang malapetaka 1965 gampang membuat Soekarno marah. Para mahasiswa
diajak bercakap agar mereka tidak mengumbar ejekan dalam orasi, poster, atau
coretan di mobil para pejabat.
Soekarno pernah mendapat tuntutan: ’’Stop
import istri!’’ Para menteri juga dituduh ’’tukang kawin’’. Di rumah Hartini,
terdapat coretan-coretan berisi serangan politik dan seks. Soekarno marah!
So Hok Gie dalam catatan harian bertanggal 25
Januari 1965 menceritakan pertemuan para mahasiswa dengan Soekarno. Gie
menulis kemarahan Soekarno: ’’Kau tahu apa jang dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa di rumah Ibu Hartini? Kau tahu rumah Ibu Hartini
ditjoret-tjoret ’Lonte Agung’, ’Gerwani Agung’, dan lain-lainnja? Kau tahu
apa artinja lonte? Hartini adalah isteriku dan aku adalah bapakmu. Jadi, dia
djuga ibumu. Inikah jang dilakukan seorang anak terhadap ibunja?’’
Gie menganggap Soekarno marah sekali. Dia tak
ingin menghujat atau menimpakan kesalahan mutlak pada Soekarno. Gie malah
mengakui: ’’Aku jakin bahwa Bung Karno adalah manusia jang baik dan tragis hidupnja.
Mungkin ia pernah membuat kesalahan-kesalahan politik jang besar, akan tetapi
salah satu sebabnja adalah pembantu-pembantunja sendiri.’’ Indonesia pada
masa 1960-an dilanda kemarahan yang berakibat malapetaka berdarah dan
pergantian kekuasaan.
Pada masa Orde Baru, kita memiliki
ingatan-ingatan tentang Soeharto marah. Kita menilai kemarahan beliau khas
penguasa Jawa dan militeristik. Para pejabat, pengusaha, seniman, dan
wartawan sangat mengerti risiko jika membuat Soeharto marah.
Di mata para sahabat, Soeharto tentu tidak
dianggap pemarah. Buku berjudul Diantara
Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (1991) terbitan Cipta Lamtoro Gung
Persada tidak berisi kesaksian Soeharto itu pemarah. Umar Wirahadikusuma
menganggap beliau tenang, sabar, dan ulet. J.B. Sumarlin memuji, Soeharto
adalah tokoh arif, bijaksana, dan rendah hati. Soepardjo Roestam memastikan
Soeharto itu arif, tenang, dan tegas. Soeharto bukan pemarah.
Sebelum Jokowi tampil sebagai presiden, kita
sempat mendapat berita dan cerita SBY marah. Selama sepuluh tahun SBY
menunaikan misi membangun Indonesia. Beliau terlihat ganteng dan santun.
Anggapan itu bisa sejenak berubah saat mengetahui SBY marah terkait dengan
urusan serangan politik, fitnah, dan tuduhan-tuduhan sembarang. Buku berjudul
Selalu Ada Pilihan (2014) garapan
SBY menjadi dokumentasi saat-saat dia marah, meski tidak dijelaskan secara
gamblang dan utuh.
Kini kita mengetahui dari laporan Jusuf Kalla
bahwa Jokowi marah. Kita berharap Jokowi marah sebagai representasi kemarahan
Indonesia. Marah itu perlu jika menentukan kedaulatan dan kesejahteraan
Indonesia. Kita mendukung Jokowi marah, tetapi harus dibuktikan dengan kerja
merampungkan masalah Freeport. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar