Ingatan
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
02 November 2015
1965: Apa yang menakutkan dari
ingatan?
Hari itu saya berjalan kaki
menyusuri Berlin, menyeberang ke bagian kota yang dulu disebut Berlin Timur.
Saya bersama Pipit.
Saya diam-diam terpesona: ia
cuek dengan keeksentrikannya, dengan pakaiannya yang hitam-hitam, dengan
tutup kepalanya yang mirip topi infanteri Prusia, dengan pikiran-pikirannya
yang mendesakkan hal-hal yang diabaikan orang banyak. Terutama politik.
Pipit Rochijat: kukuh, lempang,
keras kepala. Tapi ia juga bisa kocak seperti karyanya, sebuah parodi
bergambar dengan model wayang yang mengejek habis rezim Soeharto, Bharatayuda
di Negeri Antah Berantah, diedarkan secara gelap pada 1993.
Empat puluh tahun lebih ia
tinggal di kota Jerman yang ditempa sejarah yang keras itu. Pada usia 66
tahun, ia bisa bercerita tentang Perang Dingin yang membelah dunia dan
membelah Berlin, tentang tembok yang didirikan kekuasaan Komunis di sisi
Timur—yang akhirnya berakhir dengan sebuah ekspose: kekuasaan itu tak bisa
bertahan. Tembok Berlin dihancurkan ramai-ramai oleh penduduk yang ingin
bebas.
Kini bangunan seram itu praktis
tak bersisa, seperti penjara Bastille dalam sejarah Revolusi Prancis. Hanya
hantunya yang mengendap dalam ingatan. Reruntukannya di Bernauer Strasse
menampilkan fragmen dari cerita selama seperempat abad. Sejak 1961, tembok
itu menghalangi orang Berlin Timur menyeberang ke dunia
"kapitalis"; beberapa yang mencobanya ditembak mati.
Pipit menyaksikan itu. Ia
mengetahui itu. Bahkan bisa dikatakan ia mengalami Perang Dingin dalam
hidupnya sejak sebelum ia berangkat ke Jerman pada umur 21 tahun. Ketegangan
dan konflik antara Komunisme dan Antikomunisme membakar praktis seluruh
dunia—tak hanya di Berlin, tapi juga di Kediri.
Pipit, yang lahir di Bandung,
besar di kota Jawa Timur itu. Ayahnya Direktur Pabrik Gula Ngadirejo sejak
1959. Kartawidjaja, orang Tasikmalaya lulusan sekolah pertanian Bogor,
memulai kariernya di onderneming Turen, di selatan Malang. Ia diangkat
memimpin pabrik bekas milik NV Handels Vereniging Amsterdam itu setelah
diambil alih Negara di bawah "Ekonomi Terpimpin" Bung Karno.
Semakin dekat ke suasana
konflik 1965, Pipit mengalami ketegangan bukan saja antar-"lapisan"
sosial, tapi juga antara yang "komunis" dan
"antikomunis". Tentu saja ia berada di antara anak pejabat
perkebunan, employee, yang diantar ke sekolah dengan bus khusus, sementara
anak-anak buruh pabrik tak punya hak itu. Tak ada pergaulan antar-mereka, kecuali
kadang-kadang di lapangan bola. Buruh sering bekerja sebagai pembantu rumah
tangga di rumah direktur pabrik—dan menyebut "ndoro" si tuan rumah.
Mungkin sebab itulah ketegangan
jadi laten. Sekitar 95 persen pekerja pabrik itu anggota Serikat Buruh Gula
(SBG) yang berada dalam naungan PKI. Hanya sebagian kecil yang masuk
organisasi di bawah NU dan PNI.
Pipit kemudian menceritakan
kenangannya tentang suasana yang kemudian jadi konflik berlumur darah itu.
Sebagian yang diceritakannya kepada saya siang itu pernah dikemukakannya
lewat Internet pada 1996.
Menjelang 1965, PKI sangat
"agresif". Juga dominan. SBG tidak hanya menuntut perbaikan nasib,
tapi juga menuntut agar Kartawidjaja dicopot ("Ganyang Karta!"
mereka berseru gemuruh di rapat-rapat), seakan-akan direktur ini sang
kapitalis, meskipun pabrik yang dipimpinnya milik Negara. Di SMA tempat Pipit
bersekolah, para pelajar terbelah. Juga para pemuda. Dalam pawai-pawai dengan
drum band yang gagah, pihak yang "non-komunis" selalu terdesak. Mereka
"keok melulu" ketika meneriakkan yel-yel. Bahasa politik sudah
dikuasai PKI; yang lain hanya bisa meniru atau bisu.
Dan tak banyak alternatif. Anak
muda seperti Pipit tak bisa menikmati The Beatles, tak bisa menonton film
Amerika. Yang boleh beredar hanya film Eropa Timur dan RRT; ceritanya
"perang melulu, dan isinya kegagahan geng komunis belaka".
Syahdan, 1 Oktober 1965,
sampailah kabar "Peristiwa Gestapu" bahwa sejumlah perwira TNI
diculik dan dibunuh gerakan tentara yang diatur PKI. Tiba-tiba PKI, yang
kemarin begitu dominan, di hari-hari bengis itu berdiri tanpa sekutu. Ia
dimusuhi ramai-ramai. Di Kediri, letupan kekerasan yang pernah terjadi
sebelumnya jadi lebih eksplosif. Para pemuda NU, PNI, Kristen, Katolik, juga
yang lain, yang selama ini merasa terancam, membalas dendam.
"Kebueeencian" terhadap "geng komunis", tulis Pipit,
sudah meluap-luap. Orang-orang NU ambil inisiatif, disusul kalangan
Marhaenis.
Pembunuhan pun berlangsung, tak
henti-henti selama sekitar sepekan. Tiap hari puluhan mayat hanyut di sungai
yang membelah kota.
"Waktu itu," tulis
Pipit, "tentu saja kita bersyukur bahwa yang non-komunislah yang memulai
kekerasan." Sebab ada keyakinan, "kalow nggak kita duluan,
komunislah yang ngeduluin."
Kalimat itu seperti menikamkan
ingatan lain. Kaum komunis telah membikin sengsara orang Jerman, dan orang
bisa menambahkan, juga Polpot di Kamboja....
Hari itu, di sebuah kedai kopi di Berlin, ketika orang
Jerman merayakan penyatuan kembali negara mereka yang dibelah Perang Dingin, Pipit menyatakan, tak mudah meminta maaf atas pembunuhan 1965.
Saya terdiam. Pesan
itu diucapkan seseorang yang selama bertahun-tahun aktif dalam kegiatan
anti-Soeharto, seseorang yang paspornya ditahan rezim Orde Baru dan dimusuhi
tentara.
Mungkin, 50 tahun setelah
"G-30-S", kita tak menyadari betapa sulitnya ingatan, dan sekaligus
betapa mudahnya ia menjebak dan mengurung. Jangan-jangan kita akan lebih
bebas bila masa lalu tak kita bentuk sebagai narasi yang utuh. Jangan-jangan
dengan begitu trauma bisa lebih ditanggungkan, dendam dan kenangan buruk bisa
lebih enteng dilepaskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar