Ikrar Pemuda: Kerja untuk Bangsa
Anies Baswedan ; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
|
JAWA
POS, 28 Oktober 2015
SELAMA 24 jam
penuh polisi Belanda memantau setiap pergerakan para pemuda di rumah itu.
Rumah yang di kemudian hari dikenal sebagai Gedung Kramat 106 tersebut
sebenarnya tempat kos mahasiswa. Di dalam rumah, Soegondo memimpin beberapa
rapat para pemuda yang datang dari sejumlah daerah. Ketika terdengar kata
”merdeka”, polisi masuk, protes, dan marah-marah. Namun, berkat lobi Soegondo,
kemarahan polisi mereda. Kepada koleganya, dia lalu berkata, ”Jangan gunakan
kata ’kemerdekaan’. Sebab, rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu
sama tahu saja.”
Namun, ketika
datang permintaan dari polisi agar acara itu bubar, Soegondo justru menampik.
Dia tegar, berdiri menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Acara toh
tetap berjalan dan sejarah mencatat bahwa acara tersebut menjadi salah satu
tonggak penting sejarah Indonesia yang melahirkan ikrar pemuda atau yang kita
kenal kini sebagai Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda
adalah cerita tentang keberanian para pemuda. Jika ditanya apa makna Sumpah
Pemuda, singkat saja jawabannya: pemberani dan visioner. Betapa tidak. Pada
27–28 Oktober 1928 itu belum ada negara yang bernama Indonesia. Ia baru hadir
di benak. Saat itu status negeri ini tanah jajahan Belanda. Sebagaimana tanah
jajahan, kaum penjajah bisa melakukan apa pun terhadap gerakan yang mereka
anggap berbahaya. Polisi mengawasi jalannya Kongres Pemuda II itu dari waktu
ke waktu. Dari kacamata penjajah, kongres tersebut tentu berpotensi
merongrong kekuasaan.
Contoh
tindakan keras pemerintah Belanda terhadap gerakan itu pun sudah ada: Douwes
Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat selaku pemimpin National Indische Partij dibuang ke
Belanda. Belanda menilai National Indische Partij membahayakan kekuasaan
mereka. Apakah para pemuda seperti Soegondo Djojopoespito, Mohammad Yamin,
Amir Sjarifuddin, dan Mohammad Tabrani Soerjowitjitro gentar atau mundur
karena ancaman tersebut? Tidak. Mereka malah mengumandangkan ikrar pemuda.
Kalau bukan berani hampir nekat, lalu apa namanya?
Setelah
mengucapkan ikrar, tugas mereka tak lantas kelar. Mereka berjuang sepenuh
hati mewujudkan tanah Indonesia. Mereka pun mendapatkannya. Tapi 17 tahun
kemudian. Selama 17 tahun para pemuda itu berjuang dan mengajak anak bangsa
yang lain untuk mewujudkan negeri yang merdeka. Bagi kita yang berada pada
saat ini, waktu 17 tahun itu mungkin seperti sebentar. Tapi, bagi yang
menjalaninya saat itu, 17 tahun adalah waktu yang sangat lama. Sehari-hari
mereka bergelut dengan ide dan wawasan soal kemerdekaan di bawah ancaman
pemerintahan Belanda yang nyata.
Karena mereka
tulus berbuat demi negeri, perjuangan mereka menular ke khalayak luas. Apa
ukuran ketulusan mereka? Mudah saja. Lihat profil mereka yang terlibat dalam
Kongres Pemuda II itu. Ratarata mereka adalah para pemuda yang lahir dari
keluarga berada. Misalnya, Soegondo Djojopoespito, ketua Kongres Pemuda II,
adalah putra seorang penghulu di Tuban, Jawa Timur. Mohammad Yamin,
sekretaris Kongres Pemuda II, tak mungkin bisa bersekolah di
Rechtshoogeschoolte Batavia (Sekolah Tinggi Hukum Jakarta) jika anak seorang
petani biasa. Begitu juga Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, ketua Kongres
Pemuda I, bisa bersekolah sampai tingkat Opleiding
School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung karena memang putra
seorang pembesar pada masa itu.
Artinya, bila
menginginkan kemakmuran pribadi, tentu mereka tinggal diam dan belajar saja.
Begitu lulus, mereka akan mendapatkan pekerjaan bagus di pemerintahan
Belanda. Mereka memiliki persyaratan untuk hidup layak dan nyaman: pendidikan
tinggi –ketika kebanyakan orang di Hindia Belanda buta huruf– serta kontak
dengan lingkungan sosial kelas menengah dan atas. Tapi, mereka berani
mengambil jalan sulit. Dan kita lihat efeknya kini: kemerdekaan itu hadir
berkat jasa mereka. Ketulusan itu menular. Perjuangan para pemuda dalam
Sumpah Pemuda di atas adalah contoh nyata tulus tanpa batas.
Memajukan Republik
Kini pemuda
mesti mengembangkan kemampuan diri dengan melihat arus perubahan di tingkat
dunia. Karena itu, persiapkan diri untuk mengantisipasi perubahan tersebut.
Dalam 10–20 tahun lagi, persaingan tak lagi terjadi di tingkat institusi,
tapi sudah sampai tingkat perorangan. Kelak para pesaing itu adalah anak-anak
dari luar negeri dan orang asing yang datang ke Indonesia untuk mencari
profesi bonafide.
Penting
menjadi pemuda yang mampu berperan di tingkat global, namun tak melepaskan
kakinya dari akar rumput. Kita memerlukan generasi baru yang kompetensinya
bertaraf global, tapi mentalnya mengakar pada nilai agama dan semangat
kebangsaan.
Selama ini
kita selalu dininabobokan bahwa alam negeri ini begitu kaya raya. Kita yang
hidup di negeri tropis dan memiliki beragam harta karun alam sering merasa
bahwa kekayaan alam itu adalah harapan bagi kita untuk meraih kemajuan di
masa depan (?) Tidak. Yang paling penting dalam memajukan bangsa ini adalah
manusianya.
Kalau kita
ingin maju menjadi bangsa yang besar, jangan fokus pada material. Fokuslah
pada manusia Indonesia. Kunci memajukan Indonesia terletak pada manusianya.
Namun, saat
ini kita masih menemukan gelombang pesimisme di mana-mana. Bila dicermati
secara saksama, masalah merundung di hampir semua lini kehidupan bangsa.
Tapi, apakah kita hanya akan diam dan berkeluh kesah? Tidak. Sumpah Pemuda
adalah cermin sempurna bagi generasi muda saat ini yang gemar melemparkan
pesimisme.
Hari ini
bangsa Indonesia telah bergerak jauh, melampaui usia 70 tahun. Memang tidak
mudah mengawal ratusan juta anak bangsa secara kolektif. Namun bukan hal
mustahil untuk dilakukan. Bangsa ini tidaklah makin tenggelam. Bangsa
Indonesia sudah berdiri jauh lebih baik daripada saat baru merdeka. Bangsa
ini tidaklah bobrok. Bangsa ini sedang bangkit dan akan semakin tinggi-tegak
berdiri.
Jika pada masa lalu Soegondo
dan kawan-kawan melahirkan Sumpah Pemuda, pemuda saat ini bisa membuktikan
kehadirannya bermakna dengan kerja keras. Diiringi sumbangsih pikiran dan
selalu dengan kesadaran bahwa sampai kapan pun pemuda bisa berkata dengan
percaya diri bahwa kehadirannya bukan mengeroposkan, tapi selalu menjadi
bagian dari mereka yang membangun negeri, meninggibesarkan bangsa tercinta
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar