Minggu, 01 November 2015

Ikrar Pemuda: Kerja untuk Bangsa

Ikrar Pemuda: Kerja untuk Bangsa

Anies Baswedan  ;  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
                                                      JAWA POS, 28 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SELAMA 24 jam penuh polisi Belanda memantau setiap pergerakan para pemuda di rumah itu. Rumah yang di kemudian hari dikenal sebagai Gedung Kramat 106 tersebut sebenarnya tempat kos mahasiswa. Di dalam rumah, Soegondo memimpin beberapa rapat para pemuda yang datang dari sejumlah daerah. Ketika terdengar kata ”merdeka”, polisi masuk, protes, dan marah-marah. Namun, berkat lobi Soegondo, kemarahan polisi mereda. Kepada koleganya, dia lalu berkata, ”Jangan gunakan kata ’kemerdekaan’. Sebab, rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu sama tahu saja.”

Namun, ketika datang permintaan dari polisi agar acara itu bubar, Soegondo justru menampik. Dia tegar, berdiri menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Acara toh tetap berjalan dan sejarah mencatat bahwa acara tersebut menjadi salah satu tonggak penting sejarah Indonesia yang melahirkan ikrar pemuda atau yang kita kenal kini sebagai Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda adalah cerita tentang keberanian para pemuda. Jika ditanya apa makna Sumpah Pemuda, singkat saja jawabannya: pemberani dan visioner. Betapa tidak. Pada 27–28 Oktober 1928 itu belum ada negara yang bernama Indonesia. Ia baru hadir di benak. Saat itu status negeri ini tanah jajahan Belanda. Sebagaimana tanah jajahan, kaum penjajah bisa melakukan apa pun terhadap gerakan yang mereka anggap berbahaya. Polisi mengawasi jalannya Kongres Pemuda II itu dari waktu ke waktu. Dari kacamata penjajah, kongres tersebut tentu berpotensi merongrong kekuasaan.

Contoh tindakan keras pemerintah Belanda terhadap gerakan itu pun sudah ada: Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat selaku pemimpin National Indische Partij dibuang ke Belanda. Belanda menilai National Indische Partij membahayakan kekuasaan mereka. Apakah para pemuda seperti Soegondo Djojopoespito, Mohammad Yamin, Amir Sjarifuddin, dan Mohammad Tabrani Soerjowitjitro gentar atau mundur karena ancaman tersebut? Tidak. Mereka malah mengumandangkan ikrar pemuda. Kalau bukan berani hampir nekat, lalu apa namanya?

Setelah mengucapkan ikrar, tugas mereka tak lantas kelar. Mereka berjuang sepenuh hati mewujudkan tanah Indonesia. Mereka pun mendapatkannya. Tapi 17 tahun kemudian. Selama 17 tahun para pemuda itu berjuang dan mengajak anak bangsa yang lain untuk mewujudkan negeri yang merdeka. Bagi kita yang berada pada saat ini, waktu 17 tahun itu mungkin seperti sebentar. Tapi, bagi yang menjalaninya saat itu, 17 tahun adalah waktu yang sangat lama. Sehari-hari mereka bergelut dengan ide dan wawasan soal kemerdekaan di bawah ancaman pemerintahan Belanda yang nyata.

Karena mereka tulus berbuat demi negeri, perjuangan mereka menular ke khalayak luas. Apa ukuran ketulusan mereka? Mudah saja. Lihat profil mereka yang terlibat dalam Kongres Pemuda II itu. Ratarata mereka adalah para pemuda yang lahir dari keluarga berada. Misalnya, Soegondo Djojopoespito, ketua Kongres Pemuda II, adalah putra seorang penghulu di Tuban, Jawa Timur. Mohammad Yamin, sekretaris Kongres Pemuda II, tak mungkin bisa bersekolah di Rechtshoogeschoolte Batavia (Sekolah Tinggi Hukum Jakarta) jika anak seorang petani biasa. Begitu juga Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, ketua Kongres Pemuda I, bisa bersekolah sampai tingkat Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung karena memang putra seorang pembesar pada masa itu.

Artinya, bila menginginkan kemakmuran pribadi, tentu mereka tinggal diam dan belajar saja. Begitu lulus, mereka akan mendapatkan pekerjaan bagus di pemerintahan Belanda. Mereka memiliki persyaratan untuk hidup layak dan nyaman: pendidikan tinggi –ketika kebanyakan orang di Hindia Belanda buta huruf– serta kontak dengan lingkungan sosial kelas menengah dan atas. Tapi, mereka berani mengambil jalan sulit. Dan kita lihat efeknya kini: kemerdekaan itu hadir berkat jasa mereka. Ketulusan itu menular. Perjuangan para pemuda dalam Sumpah Pemuda di atas adalah contoh nyata tulus tanpa batas.

Memajukan Republik

Kini pemuda mesti mengembangkan kemampuan diri dengan melihat arus perubahan di tingkat dunia. Karena itu, persiapkan diri untuk mengantisipasi perubahan tersebut. Dalam 10–20 tahun lagi, persaingan tak lagi terjadi di tingkat institusi, tapi sudah sampai tingkat perorangan. Kelak para pesaing itu adalah anak-anak dari luar negeri dan orang asing yang datang ke Indonesia untuk mencari profesi bonafide.

Penting menjadi pemuda yang mampu berperan di tingkat global, namun tak melepaskan kakinya dari akar rumput. Kita memerlukan generasi baru yang kompetensinya bertaraf global, tapi mentalnya mengakar pada nilai agama dan semangat kebangsaan.

Selama ini kita selalu dininabobokan bahwa alam negeri ini begitu kaya raya. Kita yang hidup di negeri tropis dan memiliki beragam harta karun alam sering merasa bahwa kekayaan alam itu adalah harapan bagi kita untuk meraih kemajuan di masa depan (?) Tidak. Yang paling penting dalam memajukan bangsa ini adalah manusianya.

Kalau kita ingin maju menjadi bangsa yang besar, jangan fokus pada material. Fokuslah pada manusia Indonesia. Kunci memajukan Indonesia terletak pada manusianya.

Namun, saat ini kita masih menemukan gelombang pesimisme di mana-mana. Bila dicermati secara saksama, masalah merundung di hampir semua lini kehidupan bangsa. Tapi, apakah kita hanya akan diam dan berkeluh kesah? Tidak. Sumpah Pemuda adalah cermin sempurna bagi generasi muda saat ini yang gemar melemparkan pesimisme.

Hari ini bangsa Indonesia telah bergerak jauh, melampaui usia 70 tahun. Memang tidak mudah mengawal ratusan juta anak bangsa secara kolektif. Namun bukan hal mustahil untuk dilakukan. Bangsa ini tidaklah makin tenggelam. Bangsa Indonesia sudah berdiri jauh lebih baik daripada saat baru merdeka. Bangsa ini tidaklah bobrok. Bangsa ini sedang bangkit dan akan semakin tinggi-tegak berdiri.

Jika pada masa lalu Soegondo dan kawan-kawan melahirkan Sumpah Pemuda, pemuda saat ini bisa membuktikan kehadirannya bermakna dengan kerja keras. Diiringi sumbangsih pikiran dan selalu dengan kesadaran bahwa sampai kapan pun pemuda bisa berkata dengan percaya diri bahwa kehadirannya bukan mengeroposkan, tapi selalu menjadi bagian dari mereka yang membangun negeri, meninggibesarkan bangsa tercinta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar