“Efek Rumah Kaca”
Intoleransi
Teuku Kemal Fasya ;
Anggota Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh
|
SATUHARAPAN.COM,
16 November 2015
Seperti
adagium yang sering tertulis, yang paling memilukan bukan ketika bencana
terjadi, tapi malapetaka yang mengikutinya berhati-hari, berbulan-bulan, dan
bertahun-tahun kemudian. Demikian pula bencana sosial akibat
konflik intoleransi. Kepedihan bukan saat kebencian dan kesetanan itu muncul,
tapi efek yang ditimbulkan kemudian. Ia memendar di ruang dan waktu lain
dengan korban-korban tak bernama lainnya dan pelaku-pelaku baru dengan
motif-motif yang lebih bervariasi.
Jika melihat kasus Tolikara, Papua 17 Juli
lalu, tidak berhenti di pedalaman Papua itu semata. Kasus intoleransi itu
menyebar ke tempat lain dan meledak di Singkil pada Aceh 13 Oktober 2015.
Bahkan sebelum kasus yang memancing reaksi nasional dan internasional itu
muncul, sempat ada satu kasus yang sunyi pemberitaaan, yaitu “terbakarnya”
sebuah Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Singkil pada 18
Agustus 2015. Meskipun polisi menutup kasus itu sebagai masalah “korslet arus
listrik”, banyak pihak yang meragukannya hanya sebagai faktor kecelakaan.
Tidak berhenti di situ, aksi intoleransi
juga merebak di lokasi lain dengan spektrum yang berbeda. Walikota Bogor Bima
Arya mengeluarkan surat edaran pelarangan merayakan Asyura bagi umat Syiah
pada 23 Oktober. Meskipun tidak mengeluarkan surat edaran, Ridwan Kamil,
walikota Bandung juga ikut menimpali dengan celotehan bernuansa diskriminatif
: “Saya Sunni dan tidak suka Syiah”.
Epidemik
Sektarian
Tidak hanya berhenti pada kasus Tolikara
dan Singkil, aksi-aksi intoleransi juga menyebar ke daerah-daerah lain di
Indonesia. Di Manokwari, 29 Oktober lalu, ribuan massa turun ke jalan menolak
rencana pembangunan mesjid di Andai, Manokwari. Sebaran poster-poster yang
bertebaran dalam aksi damai (?) itu mengeksplisitkan Manokwari sebagai Kota Injil
yang harus dihormati oleh umat lainnya.
Intoleransi adalah penyakit menular ganas
yang bisa menyebar cepat tanpa terkendali. Daerah-daerah yang dikenal sebagai
kota cinta pun, karena perbedaan dan keberagaman bisa berkumpul dalam
kemesraaan, seperti Manado dan Kupang, bisa ditimbuhi penyakit epidemik ini.
Tiba-tiba kita merasa ada banyak sekali
masalah yang muncul akibat pengelolaan perbedaan agama dan keyakinan yang
salah. Relasi warga dan anak bangsa tersekat pada tembok mayoritas-minoritas.
Kemajemukan Indonesia yang menjadi teladan bagi negara-negara lain, tiba-tiba
hilang aura kecantikannya.
Jika kita boleh menunjuk tanggung-jawab,
elite dan pemimpin politiklah yang pertama sekali patut disalahkan.
Metamorfosis aksi intoleransi saat ini mengambil ruang yang lebih lokal. Sisi
negatif otonomi daerah adalah peluang melahirkan kepala daerah secara
prosedural demokratis, tapi sayangnya kurang memiliki pengetahuan atas
keberagaman. Termasuk juga kurangnya kemampuan mengelola kemajemukan dan
tidak sigap dengan rencana kontigensi mengatasi konflik bernuansa agama,
primordial, dan keyakinan.
Kita tak meragukan kualitas intelejensia
Bima Arya dan Ridwan Kamil, dua tokoh muda yang menjadi pioner dan cukup
populer di kalangan remaja. Mereka sosok tampan dan menjadi kekasih media.
Namun kesadaran kontigensi dan watak kebangsaan kerap lancung ketika
berhadapan dengan penanganan kasus-kasus krusial bernuansa agama. Kebijakan
Bima Arya yang melarang perayaan Asyura bagi jamaah Syiah karena takut muncul
benturan konflik dengan organisasi-organisasi Islam garis keras adalah bukti
lemahnya kepemimpinan. Ia tidak kuasa menjamin keamanan dan kesetaraan di
depan hukum bagi seluruh warga.
Demikian
pula favoritisme pada Sunni yang ditunjukkan Ridwan Kamil adalah bukti
kalutnya pemimpin yang takut tidak populer. Karena gentar oleh tuduhan
sebagai pendukung Syiah seperti yang diembuskan selama ini, ia malah memilih
menjadi seperti kata Karl Marx, “the
egoistic man”: menyembunyikan realitas penindasan dan hanya
mengejar kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Sikap pemimpin seperti ini,
alih-alih menjadi pengayom warga dan pelindung kota, malah “menjauhkan
individu dari individu lain dan individu dengan komunitas”, sehingga
tercerai-berai tanpa ikatan legal dan proteksi sebagai warga (Robertus Robert
dan Hendrik Boli Tobi, 2014 : 25).
Akhirnya publik pun bertanya, bagaimana
bisa karir pendidikan doktoral dari Australian National University yang
dimiliki Bima Arya dan masteral dari University of California Ridwan Kamil,
termasuk pengalaman mereka sebagai dosen di perguruan tinggi ternama tidak
membekas pada watak pemerintahan untuk berlaku adil pada semua warga? Tesis
klasik membuktikan, kesarjanaan setinggi apapun tidak selalu segaris-lurus
dengan karakter kecendekiawanan dan intelektualisme seseorang. Sebab seperti
kata Prof. Daoed Joesoef, menjadi intelektual tidak ada sekolahnya. Ia adalah
pertarungan berat di gurun pasir, jalan menanjak untuk mau mengalahkan
prestisiusme, egoisme, dan hedonisme demi memenangkan universalisme, humanisme,
dan keadilan di dunia.
Menyembunyikan
Otentisitas
Problem lain dari konflik intoleransi
adalah munculnya kesadaran agama tidak otentik melalui pelbagai media dan
pengajian. Situs-situs anonim dan informasi tanpa sumber di internet ikut
menjadi arang pengetahuan anti-toleransi. Surat pembelaan Aliansi Nasional
Anti Syi’ah (ANNAS) Bogor yang mengecam surat teguran Komnas HAM terkait
surat edaran walikota Bogor menjadi salah bukti distorsi pengetahuan tentang
Islam.
Dalam surat itu ANNAS menyebut “Syiah
adalah sekte sesat dan keluar dari Islam secara asasi”, menjadi bukti
berjalannya propaganda pemecah-belah umat Islam. Demikian pula rujukan Sidang
Putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1984 yang terdapat dalam
surat ANNAS, “Syiah sebagai ajaran sesat” adalah manipulasi literasi dokumen.
Padahal dokumen asli MUI 1984 tidak menggunakan satu kata pun yang
menyesatkan Syiah, kecuali penjelasan bahwa paradigma dan metode Syiah dalam
beberapa hal berbeda dengan Ahlul Sunnah Wal Jamaah (Sunni).
Sekiranya sejarah dibentangkan dengan benar
dapat dilihat bahwa keberadaan Syiah sebagai mazhab dalam Islam adalah pasti.
Syiah bahkan tertua, jauh lebih tua dari Sunni. Titik tekan perbedaan Syiah –
Sunni secara historis lebih banyak dipicu persaingan politik, antara sosok
Ali ibn Abi Thalib (599 – 661) sebagai khalifah – yang kemudian diidentikkan
figur utama dalam teologi Syiah - dengan tokoh-tokoh seperti Thalhah
ibn Abdullah, Zubeir ibn Awwam, dan Muawwiyah ibn Abi Sofyan sebagai
representasi Sunni, pada momentum politik suksesi.
Kalaupun
ada perbedaan teologis, hal itu masih dalam orbit khazanah Islam. Kaum Syiah
tidak mengingkari lima rukun Islam. Perbedaan hanya pada perlakuan waktu
shalat, jumlah zakat yang diwajibkan, perbedaan waktu berbuka puasa, dan
perbedaan sebagian rukun dan wajib haji. Posisi Al Quran tidak digugat, hanya
perbedaan metode hermeunetis. Yang agak banyak ketika memperlakukan hadist.
Kalangan Sunni menggunakan kodifikasi Bukhari dan Muslim, sedangkan kalangan
Syiah menggunakan Kitab Al-Kafi (Abdul Moqsith, “Sunni, Syiah, Kita”, Tempo, 3-9
September 2012).
Namun, lembaran sejarah sudah dibuka dengan
konflik berdarah sejak pertama. Konflik Sunni-Syiah dipicu oleh prahara
pembunuhan Ali oleh tebasan pedang Abdurrahman ibn Muljam, sosok muslim
ekstrem taat yang melakukan motif pembunuhan karena uang dan wanita. Aksi
yang bibit historisnya jauh dari unsur teologis itu tumbuh dalam pohon waktu
menjadi buah teologis di kalangan umat Islam seperti kita saksikan di banyak
tempat di Timur-Tengah pasca pengebomam WTC 21 September 2001, penghancuran
Al Qaeda dan Taliban di Afganistan, dan penjungkalan kekuasaan Saddam Hussein
di Irak pada 2006. Terakhir, konflik di Suriah sejak 2011-2012 juga menjadi
momentum penyebaran propaganda konflik Sunni-Syiah di seluruh dunia.
Beberapa
penelitian dan penerbitan, memperlihatkan kebanyakan konflik anti-Syiah bukan
realitas alamiah, tapi dipicu politik konspirasi dan kemiliteran skala global
yang melibatkan Amerika Serikat dan negara anti-Syiah seperti Arab Saudi.
Keterlibatan intelejen Amerika seperti CIA dan NSA terungkap dalam buku John
Perkins (Confessions of an Economic
Hit Man, The
Secret History of American Empire), Dr. Michael Brant (A Plan to Devide and Destroy
the Theology), kesaksian Edward Snowden, dan proyek Wikileaks Julian
Assange.
Sebagian
besar upaya intelejen itu berpusat pada aksi distorsi tentang Syiah dan
membangun opini Syiah bukan bagian dari dunia Islam. Wartawan cum peneliti,
Solahudin, penulis buku NII
sampai JI : Salafy Jihadisme di Indonesia (2011),
memperlihatkan bagaimana alur logistik dan propaganda anti-Syiah di Indonesia
disponsori terutama oleh Arab Saudi melalui penyebaran paham Wahabisme.
Meskipun demikian, pelbagai sentimen
sektarianisme-primordialisme itu tidak boleh dibiarkan hidup apalagi mekar di
negara yang menganut Pancasila ini. Normativitas dan aktualisasi Pancasila
seharusnya dimulai dari pemimpin yang tidak membiarkan ekstremisme sektarian
hidup dan memecah-belah integritas bangsa dan kohesivitas sosial yang sejak
awal memang telah beragam. Seharusnya pemimpin di Indonesia, dari level
nasional hingga lokal bisa menjadi motor pencegah memanasnya ruang publik dan
sosial akibat efek rumah kaca intoleransi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar