Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Serapah
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 25 Oktober 2015
Pada suatu malam sehabis The Prof Band ngamen di lapangan Monas,
dalam rangka memeriahkan salah satu acara panggung rakyat yang digelar
Pemprov DKI, kami anak-anak band, campuran antara profesor dan profesional,
bergerak menuju mobil yang diparkir di halaman Lemhannas.
Pas lampu hijau dipenyeberangan Jalan Merdeka Selatan menyala,
kami maju untuk menyeberang. Sebagian dengan memanggul alat musik
masing-masing. Saya sendiri menggotong saksofon tenor saya yang lumayan
berat. Tapi pas sampai di tengah penyeberangan, sebuah sepeda motor yang
ditumpangi dua orang (yang nyopir cowok, yang bonceng cewek) melaju kencang
memotong jalan kami yang jelas-jelas di tengah jalur zebra (zebra cross).
Karena kaget beberapa anggota band berteriak, termasuk saya
sendiri, ”Hooi!” Tapi Mas Suresh, pemain bas kami (dia prof juga, tetapi
bukan profesor melainkan profesional), yang kebetulan sedang memegang gelas
Aqua yang masih penuh, secara refleks melempar motor itu dengan gelas Aqua.
Terdengar suara ”glotak” yang keras sekali. Rupanya peluru ”torpedo” Mas
Suresh tepat kena sasaran.
Kami semua berhenti untuk menunggu apa yang akan terjadi (untung
sudah malam sehingga lalu lintas sepi dan lampu penyeberangan masih hijau
untuk kami). Ternyata si pengendara motor tidak terima dan menghentikan
motornya, turun dari motornya dan menghampiri kami dengan sikap menantang.
Melihat hal itu, Mas Suresh juga meletakkan gendongan bas elektriknya
yang berat itu dan berjalan menghampiri si pemotor yang ukurannya setengah
badannya Mas Suresh. Beruntung peristiwa ini tidak sampai menimbulkan korban
jiwa karena pemotor yang relatif mungil itu ditahan-tahan oleh perempuan yang
memboncengnya (kami tidak sempat menanyakan bagaimana status mereka berdua).
Yang jelas, sepertinya bukan tukang ojek dan penumpangnya.
Betul, memang kejadian yang menimpa rombongan pemusik para
profesor ini adalah peristiwa kecil, peristiwa biasa yang setiap hari
terjadi, apalagi di Jakarta. Tapi pada bulan November 1980, sebuah
pertengkaran antara seorang pemuda Tionghoa dan seorang mahasiswa Jawa dari
Universitas 11 Maret di Solo berubah menjadi kerusuhan rasial yang memakan
korban banyak jiwa dan menyebar ke antero Jawa Tengah, bahkan sudah hampir
menyeberang ke Jawa Barat.
Demikian pula kerusuhan etnik di Kalimantan Barat, dipicu oleh
peristiwa senggolan antara pemuda Melayu dan Madura di pergelaran dangdutan
dalam acara perkawinan di Kota Sanggau Ledo. Akibat senggolan, si Madura
mengeluarkan badik dan robohlah dua orang pemuda Melayu. Maka tersiarlah
kabar burung bahwa dua korban penusukan (Melayu) tadi tewas dalam perjalanan
ke RS.
Dampak dari berita burung itu, pemuda-pemuda dari Kampung Melayu
(yang oleh orang Madura di Kalimantan Barat dianggap sebagai ”kerupuk” karena
nggak berani melawan kalau diapa-apain) menyerbu perkampungan Madura dan
sejak itu pecahlah perang etnik yang berkepanjangan di Kalbar, yang dimulai tahun
1997, tetapi belum selesai seluruhnya hingga tahun 2012 (?).
Begitu juga kerusuhan di Ambon dan Maluku Utara (1999-2004) yang
berasal dari persoalan antarpribadi yang berkembang menjadi konflik sektarian
yang menimbulkan banyak korban jiwa. Pertanyaan kita, sebagai bangsa
Indonesia yang biasanya sopan santun dan peka terhadap orang lain, kok bisa
terjebak sumpah serapah yang mengganggu perasaan orang lain, yang bisa memicu
konflik?
Bukan sekadar konflik antarpribadi, melainkan konflik yang
kemudian berkembang dan membesar sehingga mengancam eksistensi NKRI. Republik
Indonesia jadi terancam terpecah belah berdasarkan etnik atau agama atau golongan,
sementara pada 1928 para pendiri bangsa ini sudah meletakkan dasar-dasar NKRI
dengan ”Soempah Pemoeda”. Soempah Pemoeda itu sendiri sebenarnya adalah
pengerucutan dari Kebangkitan Nasional 1908.
Setelah sekian ratus bangsa ini berjuang sendiri- sendiri dan
melahirkan begitu banyak pahlawan daerah, tetapi tidak juga kunjung merdeka,
pada era Budi Oetomo timbullah kesadaran untuk bersama- sama bangkit sebagai
bangsa, yang 20 tahun kemudian dikonkretkan dalam Soempah Pemoeda dan pada
tahun 1945 diwujudkan dalam Proklamasi Kemerdekaan.
Namun, setelah NKRI diproklamasikan, langsung terjadi
perpecahan. Di antara penandatangan akta Soempah Pemoeda ada nama RM
Kartosuwiryo, teman seperguruan Bung Karno yang sama-sama murid HOS Tjokoraminoto, tetapi pada 1949
Kartosuwiryo justru memproklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) melawan
NKRI yang akhirnya ditumpas oleh Bung Karno pada tahun 1962.
Namun dampaknya masih ada sampai sekarang dalam bentuk
radikalisme Islam dan terorisme. Selain itu ada lagi seorang murid HOS
Cokroaminoto yang lain, Semaun, yang kemudian menjadi pendiri Partai Komunis
Indonesia. Jika dia tidak dibuang ke Belanda oleh Pemerintah Belanda pada
waktu itu, saya rasa ia pun akan menghadiri Kongres Pemoeda II 1928 yang
monumental itu, walaupun kita tahu bahwa pada 1948 dan 1965 dua kali terjadi
pemberontakan oleh PKI melawan NKRI.
Jadi, memang untuk menegakkan, mengamalkan, dan mengabadikan
Soempah Pemoeda bukan barang mudah. Sumpah satu bangsa, satu nusa dan satu
bahasa Indonesia terancam tercabik-cabik antarkepentingan dan ideologi
masingmasing seperti kasus Tolikara dan Singkil (agama), kerusuhan Jakarta
1998 (rasial) atau tawuran pilkada (golongan), termasuk juga makin banyaknya
penggemar McD, Doraemon, dan K-Pop yang merupakan invasi budaya ke Indonesia.
Lebih mudah sekarang orang bersumpah serapah ketimbang bersumpah
pemuda. Tapi dulu, kalau misalnya rombongan The Prof Band menyeberang di
Jalan Merdeka Selatan dan ada sepeda (dulu belum ada motor) memotong
mendadak, maka tidak akan ada botol air teh (dulu belum ada Aqua) terlempar
dan sumpah serapah. Yang ada adalah seruan Sumpah Pemuda, ”Merdeka,” dari
para profesor yang dijawab dengan lebih semangat lagi oleh pengendara motor,
”Merdeka juga!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar