Cegah Proletarisasi Dokter Umum BPJS
Djoko Santoso ;
Guru Besar FK-RSU dr Soetomo;
Wakil Rektor I Universitas
Airlangga, Surabaya
|
JAWA
POS, 16 November 2015
DUNIA
kedokteran terguncang. Dua dokter muda usia gugur ketika menjalankan tugas di
pedalaman. Dokter Dionisius Giri Samudra alias Andra, 24, meninggal karena
campak di Maluku. Dhanny Elya Tangke, 27, berpulang karena malaria di
Pegunungan Bintang, Papua. Jawa Pos juga memberikan perhatian besar atas
keprihatinan ini.
Mereka
menjalankan tugas demi pemerataan layanan kesehatan yang kini sedang
digencarkan. Ketika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
semakin populer, tuntutan masyarakat kian tinggi.
Dan,
tuntutan pemerataan berkejaran dengan peningkatan kualitas. UU No 20/2013
tentang Pendidikan Kedokteran (UUPK) mengamanatkan adanya spesialisasi baru
berupa ’’dokter spesialis layanan primer’’ (DLP) di lingkungan medis.
Seperti
tersambar, ternyata itu akan diterapkan oleh BPJS Kesehatan. Galaulah
kalangan dokter umum BPJS. Mereka melihat ada semacam proletarisasi atau
peminggiran dokter umum. Sebab, banyak yang melihat sebenarnya profesi
’’spesialis DLP’’ tidak berbeda jauh dengan kompetensi dokter umum. Banyak
fakultas kedokteran (FK) di perguruan tinggi pembina yang kerap mencetak
dokter umum dan spesialis/subspesialis masih bersikap menunggu sebelum
membuka program pendidikan DLP. Para dokter klinisi juga keberatan. Sebab,
layanan primer di sistem BPJS sudah cukup ditangani dokter umum.
Pematangan
Dokter Umum
Apa
yang diamanatkan dalam UUPK sebenarnya berbeda dari kurikulum pendidikan
dokter umum. Para dokter umum, saat coas atau dokter muda, telah menjalani 15
titik putaran pendidikan profesi. Masing-masing 1–3 bulan.
Output
kompetensinya tentu saja bersifat umum, taraf dasar. Selanjutnya dimatangkan
dalam praktik internship selama setahun di daerah. Cukup? Belum. Perlu
pendidikan lanjutan yang bukan spesialis organ. Misalnya, spesialis ginjal.
Itu semacam ’’magang’’ lintas disiplin yang komprehensif dengan outcomenya
spesifik.
Contohnya,
keterampilan prosedur keselamatan jiwa di bidang medik, obstetri, paediatri,
bedah, dan trauma. Diperdalam pula penanganan awal terhadap semua gejala
penyakit serta penanganan rujuk balik. Pendekatan humanistik juga ditekankan.
Pada
sisi lain, disiplin spesialisasi baru untuk para DLP ini sebetulnya sudah
lama dikembangkan di Amerika Serikat, Inggris, Nepal, Sri Lanka, dan
Thailand. Kompetensinya bisa melintasi sekat spesialisasi demi mempromosikan
layanan primer di sistem kesehatan daerah.
Mereka
ini dicetak melalui kurikulum tiga tingkat praktik. Yaitu, pendidikan
kedokteran dasar, magang spesialisasi pascasarjana tingkat menengah, dan
magang tingkat spesialis layanan primer. Waktunya 2–3 tahun, namun
pelatihannya fleksibel.
Peserta
harus punya gelar kedokteran dasar dan lisensi praktik sebagai dokter. Adapun
kurikulumnya mengenai keterampilan komunikasi, ilmu pengetahuan perilaku dan
sosial, serta hukum dan etik terkait dengan kedokteran keluarga. Juga program
pelatihan dan keterampilan khas ambulatoar (rawat jalan) lengkap dengan
metode belajar-mengajar disertai penilaian. Pada akhir pendidikan, diharuskan
menyelesaikan penelitian.
Sebenarnya,
target pendidikan spesialisasi DLP adalah keterampilan komunikasi,
keterampilan klinis kontekstual, keterampilan penanganan prosedur, dan
keterampilan manajerial. Dasar itulah yang membuat kelulusannya setara dengan
spesialisasi medis yang lain.
Spesialisasi
Dokter Keluarga
Untuk
merealisasikan amanat UUPK pula, FK pembina harus mendukung penguatan kapasitas
tenaga kedokteran keluarga sebagai spesialisasi baru. Yakni, membangun
kapasitas pengajarnya dari prodi (program studi); memfasilitasi pengembangan
jaringan regional dan akreditasi program pelatihan; serta mendukung penguatan
layanan kesehatan BPJS, termasuk layanan kesehatan primer.
Di
luar itu, diberi penguatan kemampuan layanan primer untuk personal yang
komprehensif dan berkelanjutan meski dengan keterbatasan sumber daya,
penguatan dalam hubungan aspek keluarga dan masyarakat; membangun hubungan
dokter-pasien yang baik dan penuh empati, yakni berkomunikasi secara efektif,
mendidik, menasihati, dan membimbing dengan tepat.
Selain
itu, dapat mendiagnosis dan mengelola penyakit umum serta masalah medis,
bedah, dan psikososial umum pada pasien dari segala usia. Juga dapat
mengusulkan pemeriksaan penunjang yang tepat, memberikan perawatan darurat
awal (termasuk langkah pertolongan pertama), resusitasi pernapasan dan
jantung (CPR), dan tindakan merujuk sekaligus mengupayakan sarana
transportasi yang tepat.
Tidak
ketinggalan pula melakukan praktik manajemen hemat biaya dengan resep obat
yang rasional. Semacam penasihat medis keluarga pasien. Selain menangani
penyakit keluarga, seorang DLP harus menguasai struktur keluarga, fungsi
keluarga, siklus hidup keluarga, dan pengaruh keluarga pada penyakit dan
penyakit pada keluarga, kemampuan sumber daya keluarga, dan terapi keluarga.
Karena kedudukannya bersifat lintas spesialis itu, perlu dirotasi untuk
mencapai kompetensi optimal DLP. Di antaranya, rotasi patologi, radiologi,
anaesthesiologi, bedah, penyakit dalam, obstetri dan ginekologi, ortopedi,
dan THT.
Terlepas
pro-kontra, amanah UUPK perlu dilaksanakan. Namun, pemerintah harus arif
dalam memperhatikan kesejahteraan para dokter secara proporsional sehingga
jangan ada kesan ’’proletarisasi dokter umum’’. Jangan sampai dokter sibuk
mengurus pasien hingga ke gunung terpencil, tetapi penghargaan sewajarnya
kepada para dokter dilupakan negara. Inilah cara kita mengawal UU Pendidikan
Kedokteran melalui kehadiran dokter dalam spesialisasi layanan primer. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar