Bom Paris dan Ancaman Teror di Indonesia
Noor Huda Ismail ;
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
|
KOMPAS,
17 November 2015
Kurang dari setahun
setelah peristiwa penembakan di kantor majalah Charlie Hebdo yang menewaskan
12 orang, Paris diguncang kembali aksi teror 13-14 November 2015. Kali ini,
simbol kebebasan masyarakat Paris yang kosmopolitan, yakni stadion olahraga,
gedung konser, dan restoran, jadi sasaran teror yang terkoordinasi dan
menewaskan tak kurang dari 129 orang. Bagaimana dampak serangan teror ini
terhadap masa depan hubungan dunia Islam dan Barat? Akankah aksi teror serupa
bisa terjadi di Indonesia?
Pertanyaan itu layak
dikemukakan karena dua hal. Pertama, setiap kali aksi terorisme muncul, umat
Islam, apalagi yang hidup di negara Barat, terbebani untuk membela agama
mereka bahwa terorisme tidaklah lahir dari rahim Islam. Terorisme adalah aksi
kekerasan kepada warga sipil untuk tujuan politik. Sering kali pelaku
mencatut nama agama, termasuk yang dilakukan Negara Islam (Islamic State/IS). Rezim anti-agama
seperti Pol Pot, pemimpin Khmer Merah di Kamboja, pun melakukan aksi teror
terhadap warganya hingga menewaskan 1,7 jutaan orang.
Kedua, Indonesia punya
sejarah resistansi panjang terhadap pemerintah yang menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara sejak masa Darul Islam (DI) tahun 1950-an. Hingga hari
ini, imajinasi hidup di bawah negara Islam masihlah dirawat dengan baik oleh
sebagian diaspora DI di seluruh Indonesia. Tidaklah mengagetkan jika 400-an
WNI yang telah bergabung dengan IS di Irak dan Suriah hari ini berasal dari
daerah yang dulunya merupakan basis-basis DI.
Sejatinya, IS muncul
karena oplosan tiga fenomena yang saling berkelindan. Pertama, invasi ilegal
Amerika terhadap Irak tahun 2003. Invasi ini berhasil ”memerdekakan” rakyat
Irak dari cengkeraman rezim Saddam Husein yang sekuler. Kedua, rezim boneka
bermazhab Syiah pengganti Saddam yang dibentuk Amerika telah melakukan
diskriminasi sistematis terhadap mayoritas pengikut mazhab Sunni yang
melahirkan ISI (Islamic State in Iraq),
gerakan resistansi lokal warga Irak terhadap invasi Amerika yang dipimpin Abu
Mushab Az-Zarqawi. Zarqawi adalah veteran perang Afghanistan 1980-an yang
pernah berafiliasi dengan Al Qaeda yang sangat anti-Syiah.
Ketiga, ketika konflik
di Suriah pecah, ISI melakukan ekspansi ke wilayah Suriah dengan mengubah
nama menjadi ISIS (Islamic State in
Iraq and Syria/Negara Islam di Irak dan Suriah). Al Baghdadi
mendeklarasikan berdirinya ”negara baru” dengan nama Islamic State atau
”Daulah Islamiyah” (Daesh), Juni 2014.
Trauma sejarah
Dengan kompleksitas
peta politik di atas, rasanya tidaklah cukup bagi dunia Barat jika melihat
Islam sebagai sebuah agama ”lain” yang terus dianggap sebagai ancaman. Islam
telah berada di Eropa sejak abad ke-8 dan masuk ke Amerika Utara sejak abad
ke-16 ketika para budak dari Afrika dibawa ke benua ini. Islam telah menjadi
salah satu pilar peradaban Barat seperti halnya Kristen dan Yahudi.
Richards Bulliet,
sejarawan dari Universitas Colombia, menulis Islam adalah ”peradaban terbuka”
(open civilization). Hal ini
ditandai munculnya fenomena ”Muslim selatan” pada periode 1.300-1.900. Pada
masa itu terjadi gelombang orang dari wilayah Barat, Afrika Selatan, India
utara, Banglades, Asia Tenggara, dan juga Tiongkok yang masuk Islam. Menurut
Bulliet, fenomena ini menunjukkan adanya gerakan migrasi Muslim ke Barat yang
punya corak keislaman berbeda. Ironisnya, suara mereka ini jarang didengar
dunia Barat yang seolah-olah terus merawat imajinasi Islam yang konservatif
dan puritan seperti dikembangkan gerakan Wahabi di Arab Saudi yang juga
didukung Barat.
Jihad ”freelance”
Tak dapat dimungkiri,
sebagian Muslim di negara Islam bersikap curiga terhadap Barat. Sikap ini
biasanya ditandai dengan penolakan kebijakan luar negeri mereka. Namun,
penolakan ini tidaklah menunjukkan hubungan ”sebab akibat”, tetapi harus
dibaca sebagai ”trauma sejarah”. Lebih dari separuh abad hingga hari ini,
jika masih dianggap menguntungkan dunia Barat, para presiden atau raja di
negara-negara Islam, meski mereka diktator, akan didukung Barat.
Oleh karena itu, jika
kemudian balasan dari serangan Paris ini adalah koalisi Barat melawan IS
dengan melakukan operasi militer besar-besaran, Barat sejatinya telah masuk
dalam jebakan narasi besar IS, yaitu ”koalisi Barat melawan Islam” yang akan
membangun simpati kelompok yang awalnya menentang IS. Narasi besar ini telah
IS bangun secara sistematis di dunia maya melalui pasukan IS di Twitter,
Facebook, Instagram, dan Youtube kepada jutaan anak muda yang haus aksi jihad
di dunia, termasuk di Indonesia. Mereka ini lebih banyak menghabiskan waktu
online daripada offline.
Serangan di Paris
bukan tidak mungkin akan memantik mereka untuk bergerak melakukan aksi di
Indonesia karena juru bicara IS, Al-Adnani, sejak tahun lalu telah
mengeluarkan fatwa untuk melakukan serangan terhadap musuh-musuh IS di mana
pun mereka berada. Di saat yang sama, masih minim upaya negara dan masyarakat
sipil menangkis narasi IS itu. Hari ini kelompok jihad di Indonesia terpecah
antara yang mendukung dan yang menolak IS. Hal ini justru akan mendorong
munculnya fenomena jihad freelance, yaitu munculnya kelompok kecil yang muak
dengan perbedaan pendapat di antara para senior, sedangkan mereka tidak bisa
pergi ke Suriah. Kelompok ini memilih memisahkan dari organisasi lama dan
berdiri sendiri dengan tokoh baru dan berbeda dari mulai pola, target,
ketahanan, logistik, hingga personel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar