Asap dan Kejahatan Korporasi
Khalisah Khalid ; Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan
Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
|
KOMPAS,
14 November 2015
Tragedi asap dari
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini telah jadi perhatian
masyarakat yang sangat luas, baik di dalam maupun di luar negeri.
Publik makin paham
akar masalah kabut asap yang setiap tahun menyambangi beberapa provinsi di
Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan, yakni dari karut-marutnya pengelolaan
sumber daya alam dengan pemberian izin begitu gencar kepada korporasi, dalam
skala sangat besar. Termasuk titik api yang bersumber dari konsesi korporasi
telah menjadi pengetahuan baru bagi publik.
Penyelenggara negara,
dalam hal ini Presiden, pun mengakui ada kejahatan korporasi dalam kebakaran
hutan dan lahan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meskipun masih
berupa inisial, juga telah mengumumkan korporasi yang teridentifikasi harus
bertanggung jawab karena ada titik api di wilayah konsesinya atau melakukan
pembakaran.
Dalam perkembangannya,
konsolidasi kekuatan modal bergerak untuk memengaruhi wacana publik.
Pelan-pelan, isu kejahatan korporasi digeser. Pelaku pembakaran hutan lahan
kembali diarahkan dan menyasar masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat.
Titik konsesi juga diarahkan berada di perkebunan masyarakat. Padahal,
bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala
besar, terutama di lahan gambut.
Dalam periode
Januari-September 2015 terdapat 16.334 titik api (Lapan) atau 24.086 titik
api (NASA FIRM) pada lima provinsi: Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau. Analisis data dan fakta kebakaran hutan
dan lahan di lima provinsi itu sampai di bulan September 2015, Walhi menemukan
bahwa titik api berada di dalam konsesi perusahaan: Kalimantan Tengah
(5.672), Kalimantan Barat (2.495), Riau (1.005), Sumatera Selatan (4.416),
dan Jambi (2.842).
Tentu kita tak menutup
mata bahwa ada lahan masyarakat yang terbakar. Namun, fakta menunjukkan,
sebagian besar berada di wilayah konsesi perusahaan, bahkan perusahaan dari
grup besar. Fakta lain, masyarakat lokal tiap tahun sudah banyak yang menjadi
tersangka dan dihukum. Di Riau, misalnya, ada 40 orang yang dipidana.
Pertanyaannya, jika sudah banyak anggota masyarakat yang ditangkap, mengapa
kebakaran hutan dan lahan terus terjadi? Dari sini terlihat bahwa penegakan
hukum selama ini tak mampu menjangkau pelaku utama.
Pasal 69 UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), khususnya dalam
penjelasannya, dijadikan ”kambing hitam” penyebab kebakaran hutan dan lahan,
dan diwacanakan untuk dikaji ulang. Tulisan ini tidak akan mengupas substansi
dari Pasal 69, khususnya penjelasan pada Ayat 2, yang berbunyi ”kearifan
lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan
maksimal dua hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas
lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke
wilayah sekelilingnya.” Tulisan ini untuk melihat latar belakang dari
dinamika wacana yang berkembang dan kemudian upaya penggiringan wacana
publik.
Pasal 69 ini
”dikhawatirkan” karena dianggap menjadi basis legal bagi masyarakat untuk
membakar hutan dan lahan dengan maksimal 2 hektar. Penulis berpandangan, tak
ada yang perlu dikhawatirkan dalam pasal ini karena dalam penjelasannya tegas
”memagar” dengan ketentuan yang ketat, yakni berbasis pada kearifan lokal dan
yang ditanam adalah varietas lokal.
Satu pasal, dalam hal
ini penjelasannya, dijadikan sebagai justifikasi bahwa penyebab kebakaran
hutan dan lahan adalah masyarakat adat dan atau masyarakat lokal. Tentu saja
patut dipertanyakan karena sesungguhnya pasal lain dalam UU ini yang menjadi
peluang bagi penyelenggara negara untuk menggugat kejahatan korporasi justru
tidak optimal diimplementasikan.
Dari sini kita dapat
menduga ada skenario pengalihan isu dari kejahatan korporasi menjadi
kejahatan individu dan itu pun masyarakat atau masyarakat lokal. Tujuannya:
melindungi korporasi sebagai pelaku utama, juga penghilangan jejak korporasi
dari kejahatan yang dilakukan.
Pada kasus kejahatan
lingkungan hidup, skenario pengalihan isu atau pengalihan tanggung jawab
dilakukan secara sistematis. Bagaimana memengaruhi opini publik dan berujung
menggiring tanggung jawabnya: mengalihkan tanggung jawab hukum kepada
masyarakat adat atau masyarakat lokal.
Dalam ekologi politik,
kekuasaan, pengetahuan, dan wacana dilihat sebagai sebuah keterkaitan yang
dapat memengaruhi situasi dan kondisi lingkungan hidup, termasuk kebijakan.
Kekuasaan tentu bukan hanya dilihat secara politik, juga kekuasaan secara
ekonomi. Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini tentulah korporasi skala
besar, yang bahkan mampu mengontrol kekuasaan politik.
Negara, dalam hal ini
penyelenggara negara, mestinya konsisten membidik kejahatan korporasi dan
fokus pada upaya penegakan hukum dengan menggunakan instrumen yang tersedia
melimpah dalam UU No 32/2009 ketimbang mengotak-atik penjelasan Pasal 69 Ayat
2. Karena itu, merawat ingatan bagi publik menjadi penting untuk terus
melawan kejahatan korporasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar