UUPA dan Hukum Progresif
Yusriyadi ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro;
Tinggal di Wujil Kabupaten
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 29 September 2015
PENJELASAN umum Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) atau UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria pada 24 September 1960 meyebutkan bahwa pengundangan
regulasi itu antara lain bertujuan meletakkan dasar penyusunan hukum agraria
nasional, kesatuan/kesederhanaan hukum pertanahan, dan memberikan kepastian
hukum hak-hak atas tanah bagi rakyat.
Tulisan ini, selain untuk
memperingati kelahiran UUPA juga sebagai refleksi kritis dinamika
pemberlakuan undang-undang tersebut yang disebut-sebut sebagai sumber hukum
tanah nasional.
Sebenarnya sungguh mulia tujuan
itu. Namun 55 tahun kemudian, alih-alih tercapai yang terjadi justru
sebaliknya. Kita banyak mendapati petani miskin, administrasi tanah yang
semrawut, ketidakpastian hukum hak-hak tanah (sertifikat palsu/ganda),
kepemilikan terselubung oleh WNA, keterabaian fungsi sosial, komodititas
pemilikan tanah dan sebagainya.
Tanah sebagai karunia Tuhan telah
diwarnai oleh persengketaan, bahkan adakalanya berubah jadi penyebab konflik.
Siapa yang salah? UUPA, peraturan pelaksanaannya, ataukah penyelenggaranya?
Saya setuju atas pernyataan bahwa yang salah bukan UUPAmelainkan peraturan
pelaksanaan dan penyelenggaranya.
Jauh sebelum UUPA diundangkan,
permasalahan yang terkait dengan tanah sudah dipikirkan oleh pendiri negeri
ini. Kita dapat melihat keberadaan Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara dan
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Konsep hak menguasai negara sering
disebut pendakuan (klaim) negara atas tanah, bermula dari konsep teritorial
yang berkembang sebagai tradisi hukum Barat sejak abad XII. Mulai abad ini
kesadaran nasional mulai bangkit di negeri-negeri Barat, kemudian melahirkan
komunitas-komunitas politik yang sekarang dikenal sebagai negara-bangsa
(Soetandyo Wignjosoebroto; 1997).
Konsep yang ”menebal” sebagai
paradigma kehidupan publik dan tradisi hukum pertanahan ini menjadi dasar
pembenar berlakunya perundangundangan pendayagunaan tanah zaman kolonial (Agrarische Wet jo Agrarische Besluit
tahun 1870). Sejak UUPA diberlakukan, secara normatif asas domain ini tidak
dikenal. Negara bukan lagi menjadi pemilik melainkan selaku badan penguasa.
Hak menguasai negara membatasi
semua hak atas tanah untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur (Pasal 2
Ayat 2 dan 3 UUPA). Kebijakan pembangunan dewasa ini jauh dari spirit
menyeimbangkan konsep negara sebagai penguasa dan negara sebagai pemilik.
Semangat negara untuk mengatur lambat-laun telah bergeser menjadi kehendak
untuk berkuasa sesuai dengan yang dimauinya.
Kebijakan lebih berwarna sebagai
”dominasi” negara atas sumber daya alam, dan bukan lagi untuk mencapai
kesejahteraan seluruh rakyat, melainkan sebaliknya. Kebijakannya lebih
bermanfaat pada masyarakat tertentu di tempat tertentu pula, bukan
kebermanfaatannya bagi seluruh rakyat.
Hukum
Progresif
Ditengarai dari titik itulah
masyarakat hukum adat mulai dihadapkan pada kebijakan hukum negara. Substansi
dari Bhinneka Tunggal Ika yang digagas para pendiri negara seakan-akan
dilupakan. Inilah realitas berlakunya UUPA dalam usianya yang genap 55 tahun.
Berlakunya UUPA lebih ditandai
oleh hal-hal yang tidak diharapkan. Ke depan perlu mengubah mindset praktik
penegakan UUPA dan peraturan pelaksanaannya. Perubahan itu, yakni dari
praktik domain negara menjadi domain seluruh bangsa Indonesia. Saatnya kita
menawarkan cara berhukum progresif.
Proposisinya adalah hukum untuk
manusia, bukannya sebaliknya. Selain itu mengakomodasi hukum adat untuk
bergandengan secara harmonis dengan hukum negara. Bukankah hukum adat
mempunyai kekuatan otonom untuk menggapai citacita bangsanya?
Dengan menggunakan nurani dan
kepedulian, UUPA tidak berat lagi kepada penguasa-pengusaha tapi menemukan
titik keseimbangan antara negara dan kepentingan rakyat pemilik tanah.
Regulasi itu bukan lagi menjadi rekayasa pemaksa melainkan pemutih filsafati
yang dapat mengantarkan bangsa mencapai kemakmurannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar