Total Football
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 17 Oktober 2015
Saya bukan pengamat politik, bukan juga pengamat ekonomi. Saya
bukan pakar hukum, bukan pula pakar ilmu administrasi negara. Saya adalah
pengamat sosial. Jadi apa pun awalnya, kalau ujung-ujungnya menimbulkan
masalah sosial, pasti akan menarik perhatian saya.
Nah, dalam hubungan itu, di tengah-tengah ingar-bingar
perdebatan seputar naik-turunnya kurs rupiah, saya kok tertarik pada isu
tentang revisi UU KPK. Saya perhatikan dari dulu masalah KPK kok jadi sumber
keributan terus? Sejak zaman ”cicak vs buaya” sampai hari ini.
Isunya dulu KPK versus Polri, tetapi sekarang KPK versus
beberapa fraksi DPR yang menginginkan revisi UU KPK. Untungnya Presiden
Jokowi tidak ikut-ikutan debat kusir. Dia bilang, ”Sekarang kita fokus dulu
pada masalah perekonomian.” Dengan demikian untuk sementara perdebatan
tentang KPK tertunda.
Tapi saya jadi penasaran. Ada apa sih ini, kok orang pada ribut
soal revisi UU KPK? Maka saya langsung berkonsultasi dengan Profesor Google.
Banyak makalah, laporan, analisis, dsb dalam berbagai jaringan yang bisa
diakses oleh Prof Google.
Setelah saya pelajari baik-baik, saya berkesimpulan bahwa
ternyata pasal-pasal tertentu yang diusulkan untuk mengubah UU KPK itu
dianggap melemahkan KPK sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kemampuan KPK
dalam memberantas korupsi yang artinya sama saja membiarkan korupsi
berkembang biak dengan bebasmerdeka di republik kita ini sampai akhir zaman.
Saya setuju. Jadi menurut saya biarkan saja KPK itu, sampai
korupsi habis dari bumi Indonesia. Di sisi lain, dari jaringan Profesor
Google itu, saya menemukan Laporan KPK Tahun 2014. Dari dokumen penting ini
saya membaca bahwa selama 2014, ada 9.432 laporan dari masyarakat yang masuk
ke KPK.
Sebanyak 2.224 di antaranya adalah laporan gratifikasi, tetapi
hanya 58 yang ditindaklanjuti dengan penindakan. Jadi hanya 0,00615% jika
dibandingkan dengan banyaknya laporan yang masuk dari masyarakat. Jumlah yang
sangat-sangat tidak signifikan kalau yang dikehendaki adalah pemberantasan
tuntas korupsi di seluruh Indonesia.
Kedengarannya selama ini KPK hebat sekali karena digaungkan oleh
media massa dan disuarakan oleh media sosial, termasuk oleh para pakar yang
rajin muncul di TV dan para LSM atau para aktivis yang sering demo di jalan.
Para pihak ini puas sekali dengan hasil KPK yang selalu bisa menjerat
kasus-kasus kelas kakap yang tidak akan mungkin terjerat oleh institusi
penegak hukum lain semisal kepolisian dan kejaksaan walaupun kenyataannya, setelah KPK berdiri selama 13 tahun (sejak 2002), korupsi di
Indonesia bukannya berkurang, melainkan justru makin bertambah. Jadi saya
penasaran. Mengapa Polri dan kejaksaan tidak bisa difungsikan seperti KPK?
Kalau mau hasil yang maksimal, pemberantasan korupsi harus dilaksanakan
secara total football, main sepak
bola dengan kekuatan penuh, sampai titik darah penghabisan.
Kalau perlu instansi lain di luar Polri dan kejaksaan, asal ada
hubungannya dengan pencegahan korupsi, seperti barangkali Ditjen Pajak dan
Bea Cukai, dilibatkan juga. Tapi karena saya paling dekat dengan institusi
kepolisian ketimbang instansi yang lainnya, saya coba dalami apa sebenarnya yang
terjadi dalam hal pemberantasan korupsi oleh Polri.
Saya tahu dan nenek-nenek juga tahu bahwa opini publik tentang
Polri sangat negatif, khususnya kalau menyangkut soal korupsi. Adanya
istilah-istilah seperti pungli, prit-jigo, dan polisi gendut menunjukkan
adanya label negatif terhadap Polri. Bahkan ada pemeo bahwa hanya ada dua
polisi yang jujur di Indonesia, yaitu Jenderal Polisi Hugeng (kapolri di era
awal Soeharto) dan polisi tidur.
Di sisi lain, nenek-nenek juga tahu bahwa polisi Indonesia termasuk
polisi terbaik sedunia dalam hal misalnya pemberantasan terorisme dan
pengungkapan jatanras (kejahatan dengan kekerasan). Pelaku-pelaku Bom Bali
terungkap oleh polisi-polisi pribumi hanya dengan akal pribumi, bukan oleh
bantuan polisi Australia yang menggunakan peralatan yang canggih.
Maka sampai hari ini Densus 88 masih menjadi acuan polisi-polisi
negara sahabat yang ingin belajar tentang antiterorisme. Demikian juga dalam
membongkar kasus-kasus jatanras. Dari kasus Robot Gedek, Babe sampai
pembunuhan gadis cilik Engelina di Bali dan gadis cilik PNF di Jakarta (yang
ditemukan dalam kardus), semuanya terbongkar dalam waktu singkat, sekali lagi
hanya dengan menggunakan akal pribumi saja.
Memang, ”polisi gendut” masih ada, tetapi Densus 88 dan Satuan
Reserse yang andal membuktikan bahwa Polri masih bisa melaksanakan fungsinya
dengan baik jika diberi kepercayaan. Masalahnya, setelah saya membaca lebih
lanjut laporanlaporan Profesor Gooogle, saya menemukan kutipan berita yang
disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol)
Boy Rafli Amar di Jakarta, Jumat (12/10/ 2012), seperti ini:
”Kalau gaji penyidik setingkat kompol di Polri sekitar Rp5 juta,
di KPK bisa mencapai Rp20 juta sampai Rp25 juta.” Selain itu, lanjut Boy,
”Anggaran penyidikan di Polri untuk satu kasus sekitar Rp30 juta. Anggaran
penyidikan untuk satu kasus di KPK bisa mencapai Rp300 juta.” Kalau betul
masalahnya seperti itu, mengapa tidak diperintahkan saja Polri untuk
membentuk Detasemen Khusus Antikorupsi (seperti Densus 88/Antiteror) dengan
hak-hak dan fasilitas (termasuk dukungan dana) yang sama dengan KPK?
Dengan melipatgandakan KPK (bukan malah mengerdilkannya),
pemberantasan korupsi di Indonesia pasti akan jauh lebih efektif. Salah satu
ciri orang Indonesia, sejak dulu, adalah ego sektoralnya yang sangat tinggi.
Baik dalam hal kesukuan, agama, profesi, golongan atau lainnya. Inilah yang
menurut pendapat saya menyebabkan kita tidak bisa bermain total football dalam memberantas
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar