TNI Menuju 70 Tahun Kedua
Luhut B Pandjaitan ; Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
RI
|
KOMPAS,
08 Oktober 2015
Dalam tulisan di harian ini satu tahun lalu (Kompas, 5 Oktober
2014), saya menceritakan bagaimana Presiden terpilih Joko Widodo—waktu itu
belum dilantik—menggeleng-gelengkan kepalanya tanda kagum sekaligus prihatin.
Ketika itu saya ungkapkan kepada beliau bahwa pesawat-pesawat jenis C-130B
Hercules yang disaksikannya di Pangkalan TNI AU Abdurachman Saleh di Malang
itu adalah yang sama yang saya gunakan untuk terjun di Timor Timur pada
Desember 1975.
Belum setahun genap pemerintahannya, terjadi dua kecelakaan
pesawat TNI AU. Satu F-16/52ID rusak total di ujung Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma pada Maret 2015, satu lagi sebuah C-130B jatuh di Kota Medan,
akhir Juni 2015, menewaskan semua penumpangnya.
Setelah kecelakaan yang menimpa dua pesawat tua atau bekas pakai
tersebut, Presiden RI langsung memerintahkan agar di masa mendatang TNI tidak
membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) bekas atau refurbished
lagi, sekalipun murahnya harga senjata tersebut. Alasan Kepala Negara logis.
Peralatan militer bekas pasti tak 100 persen sama baiknya dengan yang baru,
di samping usia pakai efektifnya jauh lebih pendek. Tentu saja, perintah
tersebut baru akan diwujudkan pada pembelian atau pengadaan alutsista di
tahun-tahun sesudah 2015.
Pada satu sisi perintah Presiden Jokowi di atas menunjukkan
konsistensinya dengan janji yang disampaikan pada masa kampanye dahulu.
Bahwa, secara bertahap dan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi nasional,
anggaran pertahanan TNI akan ditingkatkan hingga nantinya mencapai 1,5 persen
dari produk domestik bruto (PDB) dibanding 0,89 persen saat ini. Tetapi pada
sisi lain, kondisi perekonomian kita sekarang pada situasi yang memerlukan
kalkulasi keuangan yang hati-hati karena ruang fiskalnya yang lebih sempit
dibanding masa sebelumnya. Padahal, setiap pesawat terbang atau peluru
kendali yang maudibeli dihitung dalam mata uang dollar.
Ini terasa sekarang pada saat berbagai kementerian/lembaga (K/L)
mulai membahas APBN 2016. Kementerian Pertahanan (Kemhan) salah satu dari
sedikit kementerian yang selama lima tahun terakhir menikmati peningkatan
anggaran cukup tinggi. Bahkan untuk pertama kali sejak 1962, anggaran
pertahanan tahun 2012 jadi nomor satu, senilai Rp 64,4 triliun, mengalahkan
anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (Rp 61,2 triliun) dan Kementerian
Pendidikan Nasional (Rp 57,8 triliun). Setelah itu, hingga 2014
peningkatannya cukup signifikan sejalan dengan cita-cita membangun Minimum
Essential Force (MEF).
Sekadar mengingatkan, MEF diartikan sebagai suatu standar
kekuatan minimal yang harus dipunyai TNI untuk terlaksananya tugas pokok dan
fungsi dalam menghadapi ancaman aktual. Kondisi MEF itu baru akan dicapai
melalui tiga masa rencana strategis (renstra). Artinya, kalau dimulai tahun
2010, kekuatan MEF baru akan tercapai tahun 2024.
Dalam situasi sekarang kita memang harus lebih tajam melihat
prioritas penggunaan anggaran. Sejumlah pemberitaan di media massa memang
menyebutkan, untuk pertama kalinya anggaran pertahanan tahun 2016 diwacanakan
mengalami penurunan cukup drastis, yaitu turun Rp 7 triliun dari anggaran
yang sekarang Rp 96,91 triliun.
Tantangan dan
ancaman
Institusi pertahanan di seluruh dunia dalam merancang postur
pertahanan negaranya selalu memulai dengan melihat hakikat ancaman yang akan
dihadapi sampai lima tahun di depannya. Semenjak peristiwa 11 September 2001,
muncul format ancaman baru yang tidak pernah diperhitungkan. Ancaman itu
adalah perang asimetris, di mana negara tidak lagi berperang melawan negara
lain seperti perang konvensional, tetapi negara berperang melawan kelompok
atau aktor non-negara yang punya kemampuan militer yang kuat serta punya
personel yang militan.
Gerakan terorisme sejak peristiwa 11 September (di Amerika) atau
peristiwa bom Bali (2002) mengalami metamorfosis yang sangat cepat.
Sebelumnya ada empat ciri yang melekat pada gerakan teror dunia. Pertama,
adanya penggunaan kekerasan di luar ketentuan hukum. Kedua, umumnya sasaran
dari tindakan kekerasan itu adalah orang atau masyarakat yang tidak berdosa.
Ketiga, akibat dari itu, timbul rasa takut, yang kemudian diikuti
ketidakpercayaan kepada pemerintah. Keempat, tujuannya adalah untuk menarik
perhatian atau semata-mata balas dendam. Tetapi sekarang ini gerakan seperti
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) membuat ciri mereka bertambah, yaitu
keinginan kuat untuk mendirikan sebuah negara baru di wilayah yang mereka
tentukan letaknya. Gerakan separatis di wilayah Poso dan sekitarnya juga
berusaha mengadopsi apa yang dilakukan di Timur Tengah oleh NIIS.
Perhatian kita juga harus ditujukan pada Laut Tiongkok Selatan
(LTS). Seingat saya, kawasan ini selalu menjadi wilayah praanggapan dari mana
ancaman akan masuk ke Indonesia sejak dulu. Ancaman itu punya kata ganti
bermacam, mulai dari ”merah” sampai ”rubah”, tetapi dideskripsikan sebagai
negara yang mampu mengirim tentaranya jauh ke selatan, dengan tujuan akhir
Pulau Jawa.
Praanggapan itu muncul dari logika sederhana. Pertama, lebih
banyak negara tetangga di utara Indonesia daripada di selatan.
Kedua, sejak lama hubungan antarnegara di bagian utara, seperti
Tiongkok-Jepang, Tiongkok-Taiwan, serta Korea Utara-Korea Selatan punya
potensi besar memanas jadi konflik bersenjata.Tetapi sampai beberapa tahun
lalu, hanya sedikit pihak yang memprediksi bahwa peta imajiner nine-dash line
yang dikemukakan Tiongkok sejak 2009 punya efek politis dan militer kuat. Ini
setelah perekonomian negara terbanyak penduduknya di dunia ini menjadi begitu
maju dan secara otomatis menyebabkan belanja pertahanan mereka juga membesar.
Belanja militer yang masif menjadikan kekuatan angkatan bersenjata Tiongkok
mampu hadir di LTS yang bahkan membuat AS cemas.
Kondisi ketiga yang juga harus diwaspadai adalah perang siber.
Dalam banyak kasus, perang siber menjadi perang masa depan karena
menggabungkannya dengan perang asimetris sehingga menjadi sebuah kombinasi
yang sangat ampuh sekaligus ditakuti. Salah satu pihak yang memanfaatkan media
sosial secara sangat canggih adalah NIIS, mulai dari menarik simpati,
melakukan perekrutan tenaga baru, hingga menabur ancaman. Perang siber tak
menggunakan senjata konvensional, tetapi mampu menimbulkan kerusakan yang
serius pada eksistensi sebuah negara dan masyarakatnya.
Ke depan
Langkah pertama TNI/Kemhan tentu menyesuaikan proyeksi ancaman
serta postur pertahanan berdasarkan dinamika teranyar ketiga hal yang di
atas.
Sebagai contoh, program pembelian alutsista baru harus bisa
menjawab bagaimana kita mampu memproyeksikan kekuatan di wilayah Kepulauan
Natuna. Apakah kita akan memperkuat pangkalan udara di sana, apakah kita
perlu menambah skuadron pesawat tempur di Pontianak, dan pangkalan patroli
udara di Pulau Bintan. Apakah kita harus menempatkan skuadron pesawat intai
tanpa awak (drones) di salah satu
pulau di Natuna? Dan, apakah juga kita membeli kapal selam canggih kelas
Kilo.
Kedua adalah tindakan luar biasa dan out-of-the-box dalam
menentukan alokasi dana untuk belanja pegawai. Selama beberapa tahun
terakhir, 60 persen anggaran Kemhan habis untuk belanja pegawai, hanya 15
persen yang tersisa untuk membeli alutsista baru. Apabila Presiden tidak
menetapkan zero growth bagi penambahan personel TNI karena belum terpenuhinya
pagu kekuatan minimal, Menhan bersama Panglima TNI tentu harus punya
argumentasi kuat agar DPR menyetujui tambahan anggaran yang memadai.
Ketiga, melakukan inovasi jangka menengah dan panjang dalam
penyiapan alutsista yang tepat serta mengembangkan dan memanfaatkan
keberadaan industri pertahanan dalam negeri secara optimal. Apabila Indonesia
sudah mantap dengan pilihan pesawat Sukhoi SU-35 sebagai pesawat tempur
pengganti F-5E, harus dijamin Rusia memberikan sebagian komponennya bisa
dibuat di Indonesia. Program pembuatan kapal selam bekerja sama dengan Korea
Selatan juga contoh yang baik bagaimana nantinya PT PAL mampu membuatnya
secara mandiri. Demikian pula PT Pindad mampu menyempurnakan panser Anoa
serta membuat tank yang sesuai kebutuhan TNI AD.
Kini TNI telah berusia 70 tahun. Selama periode itu pula TNI
telah membuktikan mampu melaksanakan tugas pokok dan misinya secara baik,
tentu saja dengan banyak kekurangan di sana-sini. Tantangan 70 tahun ke depan
masih penuh misteri, tetapi saya yakin kita mampu melewati masa depan yang
tidak ringan ini dengan mengambil hikmah dan pelajaran perjalanan 70 tahun
yang telah dilalui. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar