TNI dalam Dua Indeks
Dedi Haryadi ; Deputi Sekjen Transparansi Internasional
Indonesia
|
KOMPAS,
10 Oktober 2015
Negara mana yang paling kuat militernya ? Ini daftar 20 negara
terkuat di dunia yang baru saja diliris
Global Firepower (GFP): Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, India,
Inggris, Perancis, Korea Selatan, Jerman, Jepang, Turki, Israel,
Indonesia, Australia, Kanada, Taiwan,
Italia, Pakistan, Mesir, Polandia, dan Thailand. Indonesia
di urutan ke-12.
Peringkat ini disusun oleh Global Firepower berdasarkan indeks
kekuatan (power index) perang konvensional yang mereka kembangkan
sendiri. Ada enam faktor kekuatan utama yang membentuk indeks ini, yaitu sumber daya manusia (SDM), angkatan darat,
angkatan udara, angkatan laut, sumber
daya alam (SDA) khususnya minyak, logistik, keuangan, dan geografis.
Kalau didetailkan faktor-faktor itu di antaranya adalah, jumlah
penduduk, jumlah tentara yang aktif, jumlah tentara cadangan, jumlah alat
utama sistem persenjataan (alutsista) angkatan darat, laut, dan udara, jumlah
angkatan kerja, panjang dan jangkauan jalan kereta api, jalan raya, pelabuhan
dan terminal, magnitudo belanja militer, utang luar negeri, cadangan devisa
dan emas, paritas daya beli, luas daratan, panjang garis pantai, garis perbatasan
dengan negara lain, dan lain-lain. Penguasaan dan kemampuan senjata nuklir dan perang virtual tidak
diperhitungkan dalam indeks ini.
Kekuatan pokok
minimum
Masa sih kekuatan militer kita di peringkat ke-12 sementara
kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Forces/MEF) saja belum
terpenuhi? Konsep MEF dikembangkan
Menteri Pertahanan di era Juwono Sudarsono dan dipidatokan oleh Presiden SBY
pada 2005. MEF kita saat ini masih di bawah 50 persen.
Berikut contoh konkretnya.
Untuk melindungi dan mengamankan teritorial maritim yang luas,
sedikitnya diperlukan 12 kapal selam. Kita baru akan punya tujuh. Dua sudah beroperasi, tiga sudah dibeli,
tetapi masih dirakit di galangan kapal
Korea Selatan, dua lagi akan dibeli pada tahun fiskal 2016, mungkin dari
Rusia. Praktis sebenarnya kita
baru punya dua kapal selam yang
beroperasi. Itupun karena usia, harus dikandangkan dalam lima tahun ke depan.
Kita memang harus hati-hati membaca, menafsirkan, apalagi mau
mengambil kebijakan dari publikasi peringkat kekuatan militer ini . Publikasi
indeks kekuatan itu tidak memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pertama, GFP tidak
transparan dalam metode yang dipakai dalam menyusun indeks. Memang disebut
faktor-faktor yang menyusun indeks, tetapi tak cukup. Perlu dijelaskan pada
khalayak bagaimana desain riset, termasuk instrumen, teknik pengumpulan , dan
analisis data. Dalam survei lintas negara untuk indeks keterbukaan anggaran
atau indeks korupsi, misalnya, ada mekanisme mengecek hasil survei secara
berjenjang.
Hasil survei dari tingkat pertama yang dikerjakan oleh peneliti
utama itu kemudian diperiksa dan ditinjau ulang oleh orang yang punya
keahlian sama, selanjutnya direfleksikan pada praktik terbaik yang sudah ada,
dan terakhir juga diperiksa dan
dimintakan tanggapan dari pemerintah yang jadi obyek kajian.
Kedua, GFP tidak akuntabel. Ia tak menjelaskan siapa dirinya dan
eksistensinya. Kita tak tahu mengapa
dan untuk apa GFP mengembangkan indeks ini. Demikian juga kita tak tahu siapa
saja dalam GFP, apa visi, misi, strateginya. Absennya dua hal ini menjadikan
indeks ini tak sekelas dengan Indeks Rahasia Keuangan yang dikembangkan Tax
Justice Network, indeks risiko korupsi
militer dan alutsista yang dikembangkan
Transparency International-Inggris (TII-UK), atau indeks keterbukaan
anggaran yang dikembangan International Budget Partnership.
Dari perspektif gerakan anti korupsi, mungkin lebih menarik
memetakan kekuatan tata kelolanya
ketimbang kekuatan militernya. Tata kelola institusi militer yang
partisipatif, transparan, akuntabel, dan patuh pada hukum penting untuk dapat
menekan risiko korupsi pada level minimum. Dari 20 negara, militer Mesir (F)
dan Indonesia (E) yang paling tinggi risiko korupsinya. Sementara
AS (B), Rusia (D-), Tiongkok (D-), India (D+), Inggris (B), Perancis
(C), Korea Selatan (B), Jerman (A), Jepang (C), Turki (D-), Israel (D+), Australia (A), Taiwan (B), Italia (C), Pakistan (D-), Polandia (C), dan Thailand (D+).
Negara yang kuat militernya dan risiko korupsinya kecil adalah
AS, Jerman, Australia, Inggris, dan
Perancis. Sedangkan negara yang kuat militernya, namun risiko korupsinya juga
tinggi adalah Rusia, Tiongkok, dan
India.
Selain dua keberatan itu, meski cukup informatif, indeks dan
peringkat ini kurang relevan
karena pengembangan dan
penguatan postur pertahanan kita tak ditempatkan dalam konteks persaingan dan
perlombaan kekuatan dengan negara lain. Apalagi untuk agresi dan intervensi
ke kedaulatan lain. Pembangunan postur
kekuatan pertahanan kita lebih diarahkan pada kemampuan mencegah dan
menangkal ancaman dari alam dan luar negeri. Karena itu, pembangunan
pertahanan, paling tidak sampai 2024,
lebih ditekankan pada pemenuhan MEF.
Pembangunan postur pertahanan kita dibagi ke dalam tiga babak
pemenuhan MEF, tahap I (2010-2014), tahap II (2015-2019), dan tahap III
(2020-2024). Mungkin nanti setelah MEF
terpenuhi kita tertarik juga menjelajahi perairan internasional, seperti
halnya AS, Rusia, dan Tiongkok. Kalau
ini terjadi, mungkin kita harus punya beberapa kapal induk. Kelihatannya itu
masih jauh karena saat ini kita dihadapkan pada masalah melambatnya
pertumbuhan ekonomi. Kementerian Pertahanan dan TNI sudah mulai merasakan
secara langsung dampak dari pelambatan ekonomi ini. Tahun fiskal 2016, anggaran
Kemenhan mengerut sekitar Rp 7 triliun atau 6,3 persen, dari tahun
sebelumnya Rp 102,2 triliun menjadi Rp 95,9 triliun.
Mengoptimalkan
kontrak tambahan
Bisakah memenuhi atau sekurangnya mempertahankan capaian MEF justru ketika ekonomi melambat dan
anggaran dipangkas? Bisa. Ada dua langkah yang bisa dikembangkan.
Pertama, menekan risiko korupsi menjadi sekecil mungkin.
Kedua, mengoptimal kontrak tambahan (offset contract) dalam pengadaan
alutsista. Dari perspektif gerakan anti korupsi, sebenarnya mungkin lebih
menarik memetakan kekuatan tata
kelolanya ketimbang kekuatan militernya. Tata kelola institusi militer yang
partisipatif, transparan, akuntabel, dan patuh pada hukum penting untuk dapat
menekan risiko korupsi pada level minimum.
Bukan hanya sadar, Kemenhan dan TNI sudah mengambil tindakan
nyata untuk mengatasi tingginya risiko korupsi di tubuh militer. Agustus 2014
lalu Jenderal Moeldoko sudah mendeklarasikan zona integritas dan wilayah
bebas korupsi di lingkungan TNI.
Beberapa tindakan lanjut sudah dilakukan di antaranya pelatihan anti korupsi
untuk perwira .
Tantangan Panglima TNI baru, Jenderal Gatot Nurmantyo, adalah melanjutkan komitmen ini dengan
memperdalam dan memperluas implementasi zona integritas dan wilayah bebas
korupsi di lingkungan TNI. Misalnya, dengan makin meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas pengadaan alutsista, memperbaiki manajemen
gratifikasi, meningkatkan kepatuhan
dalam melaporkan kekayaan, dan lain-lain.
Dalam pengadaan alutsista selain kontrak utama, ada juga kontrak
tambahan yang langsung dan tidak
langsung. Kontrak tambahan langsung,
misalnya, dalam bentuk transfer teknologi atau produksi bersama alutsista
yang dibeli. Kontrak tidak langsung, misalnya, berupa pembangunan rumah sakit
atau perumahan bagi prajurit. Kontrak
tambahan dalam pengadaan alusista yang nilainya triliunan rupiah itu harus dioptimalkan untuk kepentingan
pengembangan dan penguatan industri pertahanan dalam negeri dan peningkatan
kesejahteraan prajurit.
Negosiasi dagang pengadaan alutsista dengan Rusia nanti dalam pengadaan
Sukhoi-35 dan kapal selam harus diarahkan misalnya pada: 1) peningkatan kemampuan PT Dirgantara
Indonesia memproduksi pesawat tempur atau suku cadang pesawat tempur, 2) peningkatan PT PAL dalam memproduksi kapal
selam atau suku cadang kapal selam, 3) peningkatan kemampuan PT Pindad dalam memproduksi dan memasarkan
persenjataan militer, dan 4) peningkatan kesejahteraan prajurit dengan
membangun rumah sakit atau perumahan prajurit.
Belanja alutsista yang nendang memang harus begitu. Ini
tantangan besar bagi Menhan dan Panglima TNI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar