Tekanan Rupiah Mereda dan Revaluasi Aset
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
KOMPAS,
26 Oktober 2015
Setelah tertekan hingga Rp 14.700 per dollar AS, rupiah
mengalami apresiasi secara cepat hingga Rp 13.400 per dollar AS. Namun,
akhirnya rupiah mulai stabil di level Rp 13.600 per dollar AS pada akhir
pekan lalu. Apa yang terjadi?
Yang terjadi, Amerika Serikat mulai menuai dampak negatif yang
disebabkan penguatan dollar AS. Buktinya, daya serap tenaga kerja oleh
sektor-sektor di luar pertanian menurun drastis menjadi hanya 140.000 orang.
Sebelumnya, daya serap itu hingga 200.000-300.000 orang setiap bulan.
Investor global rupanya mulai menyadari, dollar AS tidak mungkin
terus-menerus menguat. Suatu saat, pada titik tertentu, penguatan dollar AS
akan berhenti sehingga terjadi koreksi. Namun, kita sulit mengukur kapan
peristiwa itu akan terjadi.
Ternyata tidak perlu menunggu terlalu lama "gelembung"
dollar AS mulai menemukan titik jenuh. Ketika dollar AS menjadi terlalu mahal
(overvalued), harga produk-produk AS menjadi mahal, daya saing pun turun. Hal
ini tecermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi AS yang mulai menurun dari
semula 3 persen menjadi 2,5 persen. Penguatan dollar AS mulai menuai dampak
negatif. Inilah peristiwa yang biasa dalam perekonomian: tidak ada yang
abadi, tidak ada fenomena yang selalu membawa dampak positif.
Itulah sebabnya, bank sentral AS, The Fed, belum juga berani
menaikkan suku bunga acuan. Di satu pihak, kenaikan suku bunga diperlukan
agar likuiditas tidak berlebihan. Sebelumnya, The Fed sudah memompa
likuiditas selama quantitative easing
(2009-2013) sehingga perlu disedot kembali melalui kenaikan suku bunga.
Likuiditas global yang besar memberi peluang tindak spekulasi. Namun, jika
suku bunga dinaikkan, kurs dollar AS bakal meningkat sehingga perekonomian AS
rugi.
The Fed terjepit di tengah dilema ini: menaikkan suku bunga
salah, tetapi jika tidak menaikkan juga salah. Sementara itu, tren positif
data tenaga kerja tidak berlanjut. Kurs dollar AS akhirnya terkoreksi
melemah. Rupiah pun menguat. Terlebih lagi pemerintah sudah meluncurkan berbagai
paket deregulasi.
Kendati secara umum deregulasi berdimensi jangka menengah dan
panjang, semangat reformasi mulai "dibeli" pasar. Pasar mendeteksi
perbaikan iklim investasi dan berusaha di Indonesia. Berbisnis di Indonesia
menjadi lebih mudah, birokrasi lebih ramah, sehingga gairah investasi akan
meningkat. Inilah bekal penguatan rupiah dari sisi internal (domestik).
Di tengah momentum positif ini, pemerintah kembali mengeluarkan
paket deregulasi V, meliputi insentif pajak bagi revaluasi aset, penghindaran
pajak berganda bagi kontrak investasi kolektif real estat, serta relaksasi
aturan perbankan syariah. Revaluasi aset adalah isu yang sudah lama menjadi
wacana, tetapi terbentur ketentuan pajak yang relatif tinggi.
Revaluasi aset adalah langkah korporasi untuk menilai kembali
aset-aset perusahaan. Tujuannya, memperoleh angka (nilai) yang lebih
realistis, obyektif, dan terkini terhadap aset milik perusahaan. Dengan nilai
terbaru, sebuah perusahaan akan memiliki nilai aset lebih besar.
Konsekuensinya, perusahaan bisa meminjam kredit lebih banyak dari bank untuk
membiayai aksi korporasi. Pada gilirannya, hal itu dapat menaikkan penyerapan
kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, nilai aset yang meningkat membawa konsekuensi
tambahan kekayaan, yang menimbulkan penarikan Pajak Penghasilan sebesar 10
persen. Inilah faktor yang selama ini menghambat perusahaan karena beban
pajak terlalu besar.
Melalui deregulasi kali ini, insentif pajak diberikan, yakni
pajak hanya 3 persen jika revaluasi diajukan sebelum akhir tahun ini, 4
persen jika dilakukan pada semester I-2016, dan 6 persen jika diajukan pada
semester II-2016.
Menurut saya, skema ini masih kurang realistis dan agresif. Saya
tidak yakin bakal ada perusahaan yang siap merevaluasi aset pada akhir tahun
ini. Sekarang sudah akhir Oktober 2015, mungkinkah korporasi punya waktu
melakukan revaluasi atau setidaknya mengajukannya dalam 1,5 bulan ini?
Korporasi biasanya sudah mulai menghentikan kegiatan pada pertengahan
Desember.
Dua bulan terakhir pada 2015 anggap saja masa sosialisasi.
Biarlah korporasi memahami dulu aturan ini, baru mulai melakukannya pada
Januari 2016. Oleh karena itu, insentif yang menarik hendaknya diberikan
hingga semester I-2016, kemudian 4 persen pada semester II-2016. Ke depan,
insentif masih perlu diberikan. Pajak tidak usah ditetapkan 10 persen, tetapi
perlu lebih rendah, misalnya 7 persen. Jika korporasi antusias, bukan saja
pertumbuhan ekonomi akan meningkat, melainkan perolehan pajak juga akan kian
membesar.
Kebijakan insentif revaluasi aset ini, sekali lagi, menunjukkan
pemerintah ingin segera membenahi segala sesuatu secara cepat. Di satu pihak,
saya bisa mengerti, pemerintah harus melakukan banyak hal secara cepat.
Sebab, tekanan publik juga menghendaki semua perbaikan dilakukan dengan
segera. Akan tetapi, di sisi lain, kita harus sadar, tidak ada solusi yang
instan. Semuanya perlu waktu, semuanya berproses, sehingga harus agak sabar.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus belajar dari pengalaman
sebelumnya. Kementerian Perdagangan pernah menargetkan peningkatan ekspor 300
persen yang kemudian dikritik banyak pengamat.
Ada juga target kenaikan penerimaan pajak 30 persen dalam
setahun, yang sudah pasti tak tercapai di tengah pelambatan pertumbuhan
ekonomi. Kasus serupa kini terulang lagi dalam deregulasi revaluasi aset
meskipun tidak sebegitu parah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar