Setahun Revolusi Mental
Bambang Kesowo ; Ketua Dewan Penasihat
Ikatan Keluarga Alumni Lembaga
Ketahanan Nasional (IKAL)
|
KOMPAS,
20 Oktober 2015
Sering terdengar kata yang bagai jargon dewasa ini: Revolusi
Mental. Mental yang mana yang akan direvolusikan, dan bagaimana melakukannya?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua; 1996), mental
berarti (sesuatu yang bersangkutan dengan) batin atau watak. Jika demikian,
mungkinkah pembentukan ataupun perubahan yang berkaitan dengan watak dan
batin di-revolusi-kan? Kalau revolusi dimaknai sebagai gerak perubahan yang
massal dan cepat, mental manakah yang akan diubah dengan tuntas dan cepat
melalui revolusi? Ataukah kata revolusi harus dipahami dalam arti kiasan,
sekadar pemanis dan "pendahsyat" kata, dan dengan demikian tak
perlu dipikirkan dalam-dalam?
Ada penilaian bahwa selama ini telah berlangsung sedemikian
banyak gerak yang salah tempat karena salah persepsi terhadap kata yang
digunakan. Lebih mengkhawatirkan, kalau kata-kata yang dahulu digunakan
sebagai jargon semasa pemilu/pilpres diterima massa pemilih karena mereka
semula berpikiran sama tentang kata-kata itu, tetapi belakangan sadar
ternyata pengertian dan persepsi mereka berbeda. Adanya kesenjangan
pengertian dan persepsi mungkin saja terjadi karena sedari awal juga tak
pernah ditegaskan dalam kampanye, mental (dan mentalitas) apa dan yang mana
yang akan diubah melalui revolusi/secara revolusioner, dan bagaimana
melaksanakannya.
Menarik diamati, di tengah kesimpangsiuran paham tentang soal
ini, belum terdengar pandangan dari budayawan pemikir, seperti Goenawan
Mohamad, Karlina Supeli, Yudi Latif, Ahmad Tohari, ataupun warga sepuh,
seperti Ahmad Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Sayidiman Suryohadiprodjo,
Daoed Joesoef, dan Jakob Oetama.
Gerakan bersifat nasional
Beberapa satuan kerja pemerintahan bagai berlomba menjadikannya
slogan untuk menggambarkan "semangat kerja" mereka, dan mencoba
mengartikulasikannya ke dalam konteks tugas teknis masing-masing. Kantor
Menko Pengembangan Potensi Mahasiswa membangun web khusus walau hingga kini
masih belum jelas apa arah, isi, dan fungsinya. Akankah sekadar jadi semacam
mimbar umum (semacam Hydepark maya) untuk memfasilitasi wacana soal itu? Dari
Kementerian Pertahanan juga terdengar selentingan bahwa program bela negara
yang diinisiasinya adalah salah satu bentuk revolusi mental.
Di tembok Kantor Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi masih ditempel tulisan besar-besar "Revolusi mental birokrasi,
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan melayani". Watak dan batin
birokrasi yang mana? Bukankah hakikat birokrasi pemerintah adalah pelaksana
kebijakan dan program pemerintah yang bertujuan membangun kehidupan
masyarakat yang lebih baik, maju, dan modern? Bukankah sebagai pamong pada
dasarnya mereka memang harus melayani masyarakat?
Bukankah UU (di masa ada Korpri dibuat doktrin) sudah menegaskan
bahwa memang itulah mental dan mentalitas birokrasi? Sebaliknya, apabila
perbaikan dan perkuatan mentalitas pelayanan itu yang akan ditekankan,
bukankah yang diperlukan rencana kerja teknis untuk mendidik dan membudayakan
di kalangan para aparatur, dan karena itu tidak perlu lagi ber-revolusi?
Jangan-jangan benar bahwa memang ada persepsi dan pengertian
yang berbeda antara yang menerima dan yang mengucapkan kata-kata tadi.
Artinya, kita mesti menangkap bukan yang tersurat, melainkan yang tersirat.
Mungkin yang dimaksudkan lebih pada mentalitas, yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dimaknai sebagai 'sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain; watak, tabiat. dst'. Jika itu yang
harus ditangkap, memang benar kita harus berani mengubah dan memperbarui
mentalitas kita semua sebagai bangsa. Namun, perubahan atau pembaruan
mentalitas bangsa hanya efektif melalui gerakan yang bersifat nasional.
Sulit kalau hanya menumpukan pada pemerintah. Kalaupun gerakan
tersebut akan diberi baju istilah revolusi (walau tetap terasa bombastis),
mungkin banyak yang masih berpikir "tidak apalah". Yang penting,
tetap disadari bahwa yang dilakukan sebenarnya bukanlah revolusi dalam arti
yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, catatan kegelisahan yang bagai api dalam sekam
tersebut agaknya sudah lama ada. Kian rendahnya disiplin sosial dalam
masyarakat (kecenderungan bertindak sesuka hati dengan melanggar aturan dan
norma susila, meningkatnya keberingasan); makin lunturnya etika dalam
kehidupan budaya dan sosial (menipisnya sikap hormat kepada orang tua, guru,
dan warga senior lainnya, meningkatnya kejahatan dengan kekejaman); kian
lunturnya toleransi terhadap perbedaan (maraknya benturan antarsuku, penganut
agama); tumbuhnya sikap inferior (memandang segala sesuatu yang berbau asing
itu lebih baik dan lebih tinggi); keinginan mendapat kemewahan dan kenikmatan
dengan mudah, cepat, dan berlebih (lebih senang meminta, menuntut, dan
korupsi); etos kerja yang lembek/ lamban dan produktivitas rendah;
kecenderungan senang mengelak dari tanggung jawab dan melemparkan kesalahan
kepada pihak lain; dan sebagainya.
Kalaupun (sedikit) contoh-contoh tadi yang kira-kira
menggambarkan problema mentalitas yang sekarang melingkupi kehidupan kita
sebagai bangsa, hal-hal tersebut juga tidak mungkin diubah atau diperbarui
melalui/dengan revolusi. Para ahli pula yang mengatakan sifat-sifat kejiwaan,
akhlak dan budi pekerti serupa itu hanya mungkin ditanamkan dan tumbuh
melalui proses yang dimulai sedini mungkin. Harus dimulai sejak manusia mampu
menerima pendidikan (formal/informal ataupun pendidikan di rumah) dan
keteladanan dalam kehidupan. Keduanya harus dilaksanakan serentak, bersamaan,
dan paralel. Namun, kalau itu pula yang dianggap benar, bagaimana
melaksanakannya?
Problema interpretasi
Di tataran pemerintahan telah dibuat Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) yang menorehkan arahan induk kurang lebih 15 halaman
(I.92-I.107) tentang revolusi mental dalam bingkai sistematika Trisakti.
Dalam bahasa pembangunan, arahan induk tersebut logikanya menjadi payung dan
memberikan tuntunan bagi perumusan pembangunannya ke dalam Bidang dan Sektor.
Namun, justru di sini agaknya diperlukan kewaspadaan. Arahan dalam RPJM yang
bernuansa normatif mungkin belum mampu menjadi arahan yang mudah ditangkap.
Sebagai arahan, revolusi mental bersifat lintas bidang dan
sektor. Adaptasi dan elaborasinya ke dalam program sering tersandung problema
interpretasi, apalagi kalau mesti ditaruh dalam konteks prioritas tahunan.
Tidak pernah mudah merunut konsistensi antara arahan induk dengan jabaran dan
pelaksanaan program tahunan. Sementara itu, mesin birokrasi sebagai pelaksana
harus berpegang pada norma administrasi dan peraturan perundang-undangan yang
ada (yang tidak memberi banyak ruang gerak untuk berimprovisasi secara out of
the box yang acap berkonotasi "penyimpangan" atau malah sangkaan
"korupsi" dan akan menghadapkannya dengan penegak hukum).
Pantas dicatat, ukuran penilaian dan cara penggunaan ukuran
keberhasilan kegiatan yang bersifat nonfisik juga bukan soal sederhana. Kalau
birokrasi saja kesulitan, apalagi masyarakat yang selama ini sudah memiliki
pengertian dan persepsi mereka tentang problema dan anomali sekitar
mentalitas tadi.
Tidak mudah mengelola kesenjangan ketika persepsi dan pengertian
telah berjarak. Tampaknya tidak bisa lain, gerakan nasional untuk mengubah
dan memperbarui mental dan mentalitas bangsa mesti terwujud dalam dua jalur.
Keduanya harus didekati secara bersamaan, serentak dan paralel. Jalur
pendidikan dan pengajaran adalah yang utama. Dalam bahasa apa pun yang
dikuasai para pendidik hingga pimpinan bagian pemerintahan yang mengelola
fungsi pendidikan dan pembinaan kerukunan kehidupan beragama sangat
diharapkan mau dan mampu membuat penggarisan yang jelas dalam kurikulum
pengajaran sesuai tahapannya. Apa bentuknya dan bagaimana metode untuk
mengubah dan membangun mentalitas bangsa yang antara lain meliputi etika,
disiplin, toleransi, harga diri dan kehormatan bangsa, etos kerja dan
produktivitas dan lain-lain tadi, sudah pastilah beliau-beliau itu yang lebih
mafhum. Para pemimpin tadi mesti berani meletakkan kerangka yang jelas dan
dapat dilaksanakan secara nasional.
Pada saat yang sama, adalah jalur keteladanan dalam
kepemimpinan, baik di lingkungan pemerintahan, perusahaan, maupun organisasi
apa pun nama atau bentuknya, dan utamanya keteladanan dalam keluarga. Keteladanan
memang harus dimulai dari atas dan tampil dalam sebuah gerakan nasional.
Sikap dan tindak apa saja yang dianjurkan sebagai keteladanan, dan dilakukan
sebagai contoh dalam gerak kehidupan sehari-hari, perlu dipikirkan matang.
Mungkin tak perlu segala sesuatu harus tersusun lengkap, sekaligus, dan
sekali jadi. Semua juga maklum, tak ada yang bisa cepat dan sekali jadi dalam
membangun mentalitas sebuah bangsa.
Jika ada satu atau dua contoh saja dari semua pemimpin dalam
ucapan, perilaku, dan sikap hidup yang nyata, rasanya akan menjadi titik awal
yang bagus dalam gerakan nasional. Pada tataran nasional, Presiden dapat
menjembatani problema dalam RPJM dengan memberikan arahan pokok-pokok yang
lebih jelas dan mudah dioperasionalkan, bagaimana revolusi mental yang
diinginkannya harus dilakukan di sekitar watak, perilaku, dan sikap
kebatinan. Melalui pendekatan ini, rasanya juga belum perlu pagi-pagi kita
harus memperluas elaborasi soal ini hingga ke ranah politik, ekonomi, dan
lain-lain, yang pasti tidak mudah merumuskannya. Presiden dapat saja
mengundang para warga sepuh dan budayawan untuk memperoleh masukan dan
pandangan langsung untuk kerja besar ini.
Kalau mau bersikap rendah hati sedikit saja, kita dapat
menggunakan sebagai gambaran apa yang dilakukan pemimpin negara tetangga kita
dalam membangun mentalitas ini. Lee Kuan Yew (almarhum) memerlukan seluruh
dekade 1960-1970 untuk mengajar bagaimana bangsanya harus bersikap dasar dan
berperilaku disiplin. Beliau memulai dengan soal berpakaian tertutup (dan
tidak sekadar kaus singlet), tidak menyemburkan dahak dan meludah di
sembarang tempat, tidak membuang sampah sesukanya, tidak menyeberang jalan
atau menghentikan taksi di setiap tempat, dan sikap lain yang sederhana
tetapi mendasar.
Lee bergerak dengan keyakinan bahwa bangsa dan negaranya akan
terbangun kuat hanya dengan disiplin yang baik. Dalam kurun lima tahun
pertama dekade 1980, Lee beranjak lebih lanjut. Beliau mengancam hukuman
terhadap pelaku pelanggaran sikap-sikap yang sederhana tadi dengan denda atau
hukuman badan. Dalam paruh pertama dekade 1990-an, Lee mencabut berbagai
ancaman tersebut ketika menilai hal itu tidak diperlukan lagi. Lee menilai
disiplin sudah menjadi budaya, sudah menjadi mentalitas, menjadi jati diri
bangsa. Sikap dan perilaku dasar bukan lagi menjadi kewajiban ataupun
tuntutan, melainkan sudah dirasakan bersama sebagai kebutuhan. Ketika
mentalitas satu generasi terbentuk, generasi berikut akan menuruni. Harus
diakui, bangsa tersebut sekarang tumbuh dengan disiplin, etika, dan etos
kerja yang lebih kuat dibandingkan tetangga di sekitarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar