Seribu Alhamdulillah dan Membuat Satu Langkah
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 21 September 2015
ISTRI teman baik
Singapura saya masuk rumah sakit. Itu gara-gara asap dari Indonesia yang
membuat langit negeri itu kelabu. Juga karena sang istri memang memiliki
kelemahan di paru-paru.
Kemarin dia senang
sekali. Bukan oleh kedatangan saya, tapi karena angin berubah arah sejak dua
hari lalu. Udara Singapura sudah lebih bersih. Sang istri bisa meninggalkan
rumah sakit. Dan balap mobil Formula 1 (F1) tidak jadi batal.
Saya pun bisa
menontonnya. Setelah lima tahun absen dari sirkuit F1. Bayangkan kalau sampai
F1 batal gara-gara asap Indonesia. Hebohnya ke seluruh dunia. Wajah Indonesia
akan tercoreng semoreng-morengnya.
Saya juga memanfaatkan
momen ini untuk bertemu banyak pelaku ekonomi. Apalagi, saya bisa nonton F1
dari ruang VVIP. Banyak CEO dari berbagai negara ada di situ. Saya ingin
dengar pandangan mereka atas apa yang
terjadi di Indonesia. Apa saja kekurangannya. Lalu apa yang harus dilakukan.
Umumnya mereka merasa
berutang. Begitu banyak keuntungan yang sudah pernah mereka nikmati dari
kemajuan ekonomi Indonesia. Khususnya dalam sepuluh tahun terakhir. Mereka
tetap berharap jangan sampai Indonesia terpuruk. Apalagi hancur.
Tapi, mereka memang
waswas. Terutama oleh sinyal-sinyal negatif yang mereka dengar: kegaduhan
yang tidak henti-hentinya, pernyataan-pernyataan yang tidak mencerminkan
stabilitas, dan tidak adanya kepastian birokrasi.
Sinyal negatif itu
sudah mereka baca sejak Maret lalu. Waktu itu ada forum besar sekali di
Hongkong. Fund manager dari seluruh dunia berkumpul. Untuk melihat masa depan
ekonomi di sejumlah negara. Termasuk Indonesia. Karena itu, salah satu
pembicaranya dari Indonesia. Seorang menteri ekonomi.
Fund manager adalah
jenis orang yang tidak mudah dibohongi, dirayu, atau dimintai tolong. Mereka
amat realistis dan kritis. Mereka tahu mana pembicaraan yang berisi dan mana
yang omong besar. Ketika sang menteri penuh optimisme mengatakan pertumbuhan
ekonomi tahun ini bisa 5 persen, mulailah mereka kritis: dari mana bisa
tumbuh 5 persen? Tidak mungkin, kata mereka. Tidak masuk akal.
Sang menteri ternyata
punya jawaban yang dianggapnya logis. Indonesia akan banyak punya uang. Dari
mana? Dari pajak. Pemerintah akan menaikkan pajak. Termasuk pajak properti.
Dan akan mengejar pajak-pajak lainnya.
Jleg. Para fund
manager langsung membaca sebaliknya. Ekonomi Indonesia pasti akan memburuk.
Perburuan pajak yang dilakukan di saat ekonomi suram bukanlah berita baik.
Akibatnya, banyak menu stimulus ekonomi yang terasa hambar.
Stimulus kemudahan
orang asing bisa membeli properti di Indonesia, misalnya, hanya akan seperti
upaya menyegarkan ikan goreng yang sudah telanjur gosong.
Seorang pengusaha dari
Semarang membuktikan kekhawatiran para fund manager dari seluruh dunia itu.
Saya lagi sarapan dengan dia di Hotel Tentrem Jogja Sabtu lalu. Sebelum saya
ke Singapura. Dia menceritakan ketakutan teman-temannya yang akan membeli
properti. Kenapa? Karena diusut dari mana asal uang untuk membeli properti
itu. Harus bisa membuktikannya. Kalau tidak, uang untuk beli rumah itu harus
dipotong 30 persen sebagai pajaknya.
Sebetulnya, menurut
pendapat saya, langkah keras seperti itu bagus. Dan harus dilakukan. Hanya,
kok kebetulan kekerasan itu dilakukan di saat yang situasinya kurang pas.
Akibatnya, para
pemilik uang memilih menukarkan uang mereka ke dolar. Lalu menyimpannya dalam
bentuk dolar. Ini membuat rupiah kita kian tidak dipercaya. Dan membuat
properti hancur. Termasuk bisnis turunannya. Termasuk lapangan kerjanya.
Tukang-tukang batunya.
Minggu lalu, kata
mereka, fund manager yang sama kumpul lagi di Hongkong. Mereka memang
berkumpul setahun dua kali. Indonesia kembali menjadi salah satu yang
dibahas. Mereka tetap ingin Indonesia maju. Agar bisnis mereka juga maju.
"Nama Anda banyak
disebut di forum itu," ujar seorang fund manager kepada saya.
"Sebagai contoh
ketidakpastian," tambahnya.
Tapi, mereka juga
melihat akhir-akhir ini situasi Indonesia sedikit membaik. Tentu dengan
harapan bisa lebih baik lagi. Indonesia, kata mereka, bisa tumbuh 4,5 persen.
Saya sepenuhnya setuju dengan kesimpulan itu. Situasi membaik. Dan bisa
tumbuh 4,5 persen.
Menurut saya, bisa
tumbuh 4,5 persen itu sudah bagus. Bagus sekali. Jangan malu. Toh dunia
memang lagi sakit. Bisa tumbuh 4,5 persen harus kita terima dengan gembira.
Harus kita syukuri. Kalau perlu dengan membaca alhamdulillah seribu kali.
Memang tumbuh 4,5
persen tidaklah seperti yang kita harapkan. Bahkan jauh dari janji kampanye.
Tapi, jangan diungkit-ungkit soal itu. Tidak ada manfaatnya. Bisa tumbuh 4,5
persen adalah prestasi di saat sulit.
Baiknya kita fokus
melihat tahun depan. Sisa tiga bulan di tahun 2015 ini kita konsentrasikan
untuk membuat landasan tahun depan. Salah satunya adalah ini: pengampunan
pajak! Pengampunan pajak dulu, kemudian bertindak keras.
Kehebatan satu langkah
pengampunan pajak ini akan mengalahkan berapa pun banyaknya paket kebijakan
ekonomi lainnya! Mari kita sambut pertumbuhan 4,5 persen dengan seribu
alhamdulillah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar