Revisi UU dan Pelemahan KPK
Indriyanto Seno Adji ; Plt Wakil Ketua KPK; Guru Besar Hukum
Pidana UI
|
KOMPAS,
09 Oktober 2015
Kontroversi penegakan hukum di Indonesia ini
memang unik dan menarik, apalagi kalau berkaitan dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Betapa tidak, penegakan hukum di alam demokrasi ini akan selalu
melihat orientasi balanced of interest di antara tiga
pilarnya: masyarakat, negara, dan penegak hukum itu sendiri. Eksistensi tiga
pilar itu memiliki fungsi checks and balances untuk
memperoleh hasil akhir berupa penegakan hukum yang adil dan sejati.
Korupsi sistemik
Sebelum membahas isu pokok perspektif hukum
ini, perlu dikedepankan bahwa persoalan korupsi tetap akan menjadi fokus
monopoli penegakan hukum, khususnya terkait peran strategis Kejaksaan Agung,
Polri, KPK, maupun pengadilan. Korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan
merupakan bukti bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya yang tumbuh subur
sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Layaknya penyakit, maka
korupsi jenis ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar
penyembuhannya sangat minim dan selalu jadi uji coba bagi penanggulangannya.
Hasilnya pun kadang kala sudah dapat diprediksi secara pesimistis, yaitu
tidak searah dengan kebijakan masyarakat untuk memberantas korupsi.
Secara konseptual-pada negara
berkembang-pemikiran bahwa korupsi sistemik atau kelembagaan adalah bagian
dari kekuasaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri. Karena itu, ada yang
berpendapat, penanggulangan terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang
ada.
Penegasan itu terlihat pada Kongres
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang "Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders" di Milan tahun 1985, membicarakan suatu
tema yang tidak klasik sifatnya, yaitu "Dimensi Baru Kejahatan dalam
Konteks Pembangunan". Dalam salah satu hasil pembicaraan tentang
"dimensi baru" ini, yang disorot adalah tentang terjadi dan
meningkatnya "penyalahgunaan kekuasaan". Penyalahgunaan kekuasaan
dalam bidang ekonomi ini melibatkan pihak-pihak "upper economic
class" (para konglomerat) maupun "upper power
class" (penyelenggara tinggi negara). Mereka berkonspirasi dan
bertujuan untuk kepentingan ekonomi, bahkan kepentingan politik dari kelompok
tertentu. Alhasil, dalih mereka mendukung pemberantasan korupsi sekadar
gerakan simbolis kelembagaan, dengan tujuan akhir pada akhirnya melakukan
pelemahan terhadap penegakan hukum.
Dalam menyikapi proses hukum tersebut, polemik
menjadi wajar bila masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan
progresif dari peradilan tersebut. Segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi
dapat dijadikan suatu bagian dari tatanan pemberantasan korupsi. Namun
demikian, independensi haruslah diselaraskan dengan tata cara norma regulasi,
mengingat komunikasi diharapkan searah tanpa adanya miskomunikasi yang justru
akan menciptakan disintegrasi kelembagaan.
Kejahatan struktural
Bentuk kejahatan struktural sebagai korupsi
sistemik inilah yang memasukkan format korupsi sebagai bagian dari kejahatan
terorganisir. Korupsi yang melanda hampir seluruh dunia ini merupakan
kejahatan struktural yang meliputi sistem serta organisasi dan struktur yang
baik. Oleh karena itu, korupsi menjadi begitu sangat kuat dalam konteks
perilaku politik dan sosial.
Dalam kaitan ini perlu diperhatikan beberapa
pendekatan antisipasi perspektif korupsi, khususnya usaha dan metode pelemahan kelembagaan dengan
berlindung di balik penguatan KPK, yaitu
inisiatif DPR bagi revisi UU KPK.
Pertama, artikulasi "sistem" ini
memiliki makna yang komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu proses
yang signifikan. "Korupsi" sudah jadi bagian dari
"sistem" yang ada, dan karena itu usaha maksimal bagi penegakan
hukum, khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi, harus dilakukan dengan
pendekatan sistem. Terlebih bila pendekatan sistem ini dikaitkan dengan
peranan institusi negara, seperti halnya DPR sebagai salah satu institusi
kenegaraan yang sangat menentukan dalam proses regulasi akhir pemberantasan
korupsi.
Di satu sisi KPK mendapat sorotan tajam dari
DPR terkait tindakan upaya paksa, seperti penyadapan oleh KPK. Di sisi lain
KPK mendapat apresiasi dari masyarakat manakala terjadi kontroversi tentang
KPK terkait operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota eksekutif,
yudikatif, legislatif, maupun lembaga negara. Oleh karena itu, marwah
dan front-gate KPK pada proses penyelidikan-termasuk
penyadapan-adalah sangat esensial.
Kedua, revisi UU KPK atas inisiatif DPR akan
memengaruhi eksistensi KPK sebagai penegak hukum. Perlu dipahami bahwa
keberadaan KPK adalah sebagai lembaga pemicu terhadap kondisi koruptif negara
yang sudah sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itulah, dibentuk KPK sebagai
lembaga khusus dengan regulasi dan kewenangan yang juga bersifat khusus.
Kewenangan khusus memang menjadi basis kelembagaan
KPK, antara lain terkait Pasal 44 UU KPK, yang menempatkan KPK dalam tahap
penyelidikan berwenang memperoleh bukti permulaan yang cukup dengan minimum
dua alat bukti. Proses penyelidikan sebagai "front
gate" inilah yang membuat KPK dengan kewenangan penyadapan
dapat mengembangkan perolehan dua alat bukti tersebut, yang ditindaklanjuti
dengan OTT.
Penyadapan oleh KPK berdasarkan suatu legal
by regulated khusus yang tetap perlu adanya suatu kewajiban evaluasi
atas tindakan ini. Tentunya ini berlainan dengan penyadapan yang didasarkan
pada legal by court order dengan kewajiban memerlukan izin
pengadilan. Dibenarkan perbedaan sebagai lembaga khusus dan kewenangan khusus
sebagai perluasan dan justifikasi dari asas "the clear and
present danger" terhadap korupsi yang sangat mengkhawatirkan
dan menjadi genggaman wewenang KPK.
Mereduksi kewenangan
Ketiga, sikap diferensial DPR yang justru akan
melemahkan kewenangan-kewenangan khusus kelembagaan KPK sangat tegas bermakna
pada, antara lain, soal penyadapan yang harus seizin pengadilan (Pasal 14 RUU
KPK); penerbitan SP3 (Pasal 42); pengangkatan/penghentian penyelidik KPK
(Pasal 45 Ayat 2); penyitaan dengan bukti permulaan yang cukup pada tahap
penyidikan (Pasal 49); kewajiban KPK membuat laporan kepada Polri dan
kejaksaan apabila KPK menangani penyidikan terlebih dahulu (Pasal 52 Ayat 2);
penuntutan diserahkan kepada jaksa pada kejaksaan (Pasal 53 Ayat 1); asumsi
durasi kelembagaan KPK hanya 12 tahun (Pasal 73). Pasal-pasal tersebut hanya
sedikit di antara yang langsung maupun tidak langsung akan mereduksi
kewenangan KPK.
Keempat, suatu revisi atas UU KPK memerlukan
pembahasan dengan pola sinkronisasi dan harmonisasi dengan RUU terkait,
seperti RUU KUHP, KUHAP, Tipikor, RUU Perampasan Aset, dan RUU Pencucian
Uang. Karena itu, usulan revisi UU KPK secara parsial ini justru menimbulkan
stigma kelembagaan regulasi dari penginisiatif, yang tentunya justru terkesan
adanya tujuan negatif terhadap dampak eksistensi kelembagaan penegak hukum,
termasuk KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar