Reformasi Perizinan Kehutanan
Abdul Wahib Situmorang ; Penasihat Teknis Tata Kelola Hutan UNDP
Indonesia
|
KOMPAS,
16 Oktober 2015
Salah satu "jurus nendang" Presiden Joko Widodo dalam
mengatasi kelesuan ekonomi adalah dengan mempersingkat durasi proses
perizinan di sektor kehutanan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)
menyatakan, kementeriannya mampu memangkas lama waktu proses perizinan. Hanya
14 hari kerja, janjinya. Bandingkan
dengan sebelumnya yang perlu 2-4 tahun bagi setiap pemohon untuk dapat izin
pinjam pakai kawasan hutan, izin pelepasan kawasan hutan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hutan tanaman dan
restorasi ekosistem (Kompas, 30/9/2015).
Saya paham operasionalisasi janji itu masih terus dikaji. Meski masih
terbatas, reaksi publik juga mulai bermunculan. Sebagian ingin ada garansi
dari pemerintah bahwa kemudahan ini bukan pembenaran untuk melakukan
eksploitasi berlebihan di sektor kehutanan.
Tata kelola izin
Esensi dari reformasi perizinan sektor kehutanan bukan hanya
terbatas pada berkurangnya waktu
proses perizinan, melainkan juga mencakup perbaikan sistem agar ia kokoh dan lepas dari
pengaruh oknum. Sejak 2010, satu forum panel ahli terdiri dari berbagai latar
belakang keilmuan dan lembaga bekerja bersama Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Badan Pengelola REDD+
(BP-REDD+), dan Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian LHK)
mencoba merumuskan elemen-elemen penting yang menjadi pilar reformasi
perizinan sektor kehutanan. Elemen penting yang kemudian disepakati adalah
perbaikan tata kelola kehutanan. Perbaikan tata kelola ini mencakup empat
aspek penting.
Pertama, pentingnya meningkatkan derajat kepastian kawasan
hutan. Salah satu instrumen yang penting adalah adanya satu peta perizinan
walaupun satu peta perizinan bukan satu-satunya instrumen yang diperlukan.
Instrumen penataan ruang dan wilayah-yang memasukkan pertimbangan kajian
lingkungan hidup strategis (KLHS), peta tata guna kawasan hutan, peta
kerentanan bencana, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, wilayah gambut dan
wilayah kelola masyarakat-juga sangat diperlukan. Keduanya, peta tata ruang
dan satu peta perizinan, menjadi dasar penyusunan peta wilayah usaha
kehutanan. Peta wilayah usaha kehutanan yang dimaksud di sini adalah peta
yang menggambarkan potensi ekonomi, tetapi aman secara lingkungan dan sosial.
Saat ini, peta yang menjadi rujukan bagi pemohon izin adalah
peta pemanfaatan hutan produksi untuk usaha pemanfaatan yang diperbarui
paling tidak setiap satu tahun sekali dalam bentuk surat keputusan menteri.
Peta ini menginformasikan kawasan hutan produksi yang dapat diajukan izin
pemanfaatannya. Kawasan hutan produksi tersebut tidak ada pemegang izinnya
dan tidak termasuk dalam kawasan hutan yang tengah dimoratorium. Namun, perlu
dicatat bahwa peta pemanfaatan ini belum mempertimbangkan KLHS, peta
kerentanan bencana, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, kawasan hidrologi
gambut, wilayah kelola masyarakat, dan wilayah usaha pertambangan di dalam
kawasan hutan.
Implikasinya adalah izin sebagai instrumen pengendalian tidak
bisa bekerja maksimal karena tidak dilengkapi dengan satu peta wilayah usaha
kehutanan yang aman secara lingkungan dan tidak bermasalah secara sosial.
Aman secara lingkungan karena telah berdasarkan kajian daya dukung dan daya
tampung serta aman secara sosial karena wilayah yang diusulkan tidak tumpang
tindih dengan wilayah kelola masyarakat. Pada praktiknya, pemerintah sering
kali menyerahkan penanganan masalah tenurial ini kepada pemegang izin. Hasil
kajian indeks tata kelola hutan (UNDP
Indonesia, 2013 dan 2015) menunjukkan pelaku usaha memiliki kapasitas
yang sangat terbatas untuk menanganinya.
Dalam konteks kepastian kawasan hutan, memiliki peta wilayah usaha
kehutanan saja tak cukup. Pemerintah perlu menyusun peta wilayah izin usaha
kehutanan. Peta wilayah izin usaha kehutanan adalah wilayah yang siap untuk
diajukan izin pemanfaatannya karena sudah memiliki kejelasan tata batas,
clean and clear dari konflik tenurial, ada Kesatuan Pemangku Hutan yang
operasional dan seluruh urusan perizinan baik di tingkat daerah maupun pusat
telah dibereskan termasuk izin lingkungan.
Ada beberapa manfaat utama tersedianya peta wilayah izin usaha
kehutanan. Seperti ditengarai oleh kajian KPK (2014) dan UNDP Indonesia
(2015), setiap tahapan proses perizinan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Untuk dapat rekomendasi bupati atau gubernur, pemohon harus merogoh kocek Rp
50.000-Rp 100.000 per hektar. Adanya dokumen izin lingkungan hidup abal-abal
juga bisa dieliminasi karena penyusun kajian lingkungan bukanlah pelaku
usaha, melainkan pemerintah. Selain itu lokasi dipastikan bebas konflik. Ini
membuat indeks kemudahan berusaha sektor kehutanan pasti meningkat, pelaku
usaha langsung bisa beroperasi, dan jaminan berusaha tersedia.
Aspek kedua adalah derajat keadilan atas pengelolaan sumber daya
hutan. Kemudahan tak hanya diberikan kepada pelaku usaha yang membawa modal
besar, tetapi juga kelompok masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar
kawasan hutan. Apabila kesenjangan pemanfaatan kawasan hutan semakin besar,
ini dapat menimbulkan masalah-masalah sosial lebih akut di kemudian hari.
Berdasarkan rincian kawasan hutan yang telah dibebani izin, pelaku usaha
mengantongi izin seluas 31,217 juta hektar, sementara masyarakat hanya
mengantongi seluas 649.000 hektar. Dengan kata lain, 98 persen kawasan hutan
dimanfaatkan oleh pelaku usaha, sementara masyarakat hanya memanfaatkan
sebanyak 2 persen (Awang 2015 dan UNDP
Indonesia 2015).
Betul bahwa pemerintahan Jokowi ingin menggenjot tambahan 12,7
juta hektar hutan agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sampai akhir 2019,
tetapi tanpa dukungan kelembagaan dan anggaran yang memadai, target tersebut
akan sulit tercapai (Wiratno, Royana,
dan Situmorang, 2015). Dukungan kelembagaan ini adalah keterpaduan dengan
kementerian yang relevan, seperti Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi;
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan,
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, serta pemerintah daerah melalui
Kesatuan Pemangku Hutan. Dukungan sumber daya berupa alokasi anggaran juga
diperlukan untuk membantu membangun kelembagaan masyarakat, modal mengelola
kawasan hutan yang telah diberi izin, dan membantu memfasilitasi masyarakat
untuk mendapatkan akses pasar terhadap produk yang dihasilkannya.
Transparansi dan
integritas pengelola hutan
Aspek ketiga adalah transparansi dan integritas pengelola hutan.
Reformasi perizinan sektor kehutanan harus diikuti transparansi dan integritas
pengelola hutan. Transparansi ini penting untuk memastikan bahwa proses
penetapan wilayah usaha kehutanan dan wilayah izin usaha kehutanan dapat
dipertanggungjawabkan ke publik. Transparansi juga diperlukan untuk
memastikan para pemohon memenuhi kualifikasi serta memiliki kapasitas
pendanaan dan rekam jejak yang baik.
Pemerintah tentu tak mencari perusahaan yang hanya kejar untung
dan lupa dengan kewajibannya. Ini untuk menghindari beban pemerintah nanti.
Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, Kementerian LHK tengah melakukan
investigasi terhadap 149 perusahaan sektor kehutanan dan 147 sektor kebun
yang wilayahnya terbakar. Terbakarnya lahan perusahaan berkontribusi terhadap
bencana asap yang sangat merugikan ekosistem, masyarakat, dan pemerintah.
Hasil kaji cepat terhadap 540 perusahaan pemegang izin di sektor
kehutanan menunjukkan 79 persen dari 540 perusahaan tidak memiliki website (Situmorang, 2015). Dari 21 persen
perusahaan yang memiliki website, 54 isi website-nya tidak informatif. Paramaternya
pun sederhana, seperti profil perusahaan, lokasi usaha, kegiatan produksi,
CSR, dan kebijakan-kebijakan perusahaan. Dari 21 persen yang website-nya
informatif, hanya 27 persen web-nya terus diperbarui dan sisanya tidak
diperbarui secara reguler. Kalau kita cek pemberitaan, 80 persen beritanya
negatif dan sangat jarang berita positif ditemukan di media arus utama. Ini
bisa menjadi satu indikasi lemahnya komitmen penerapan tata kelola perusahaan
yang baik (good corporate governance).
Aspek keempat adalah kapasitas penegakan hukum administratif.
Dalam konteks 14 hari kerja, Menteri LHK menegaskan pengawasan melekat akan
diterapkan. Kementerian LHK juga telah
membentuk gugus tugas perizinan yang salah satunya bertugas melakukan kaji
ulang izin-izin sektor kehutanan yang pernah dikeluarkan. Kapasitas di sini
tidak hanya melakukan audit kepatuhan dan pengawasan melekat, tetapi juga
kapasitas pemerintah-Kementerian LHK dan SKPD Kehutanan di tingkat
provinsi-memastikan rekomendasi dijalankan dan sanksi diberikan kepada yang
tak memiliki niat baik menjalankannya.
Untuk menghindari "permainan", pertanggungjawaban
kepada publik perlu dibenahi dan penguatan kapasitas LSM, baik pada tingkat
pusat maupun daerah, dalam melakukan pengawasan juga perlu ditingkatkan. Check
and balance dibutuhkan. Berdasarkan kajian indeks tata kelola hutan 2012 dan
2014, kapasitas kelompok masyarakat sipil masih sangat terbatas di arena ini.
Karenanya, pemerintah juga memainkan peran penting mengedukasi masyarakat
untuk menjadi instrumen kontrol kebijakan perizinan. Sebelum aspek-aspek di
atas dapat dipenuhi terlebih dahulu, sulit sekali membayangkan 14 hari kerja
dan ikhtiar reformasi sistem perizinan sektor kehutanan dapat terwujud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar