Prioritaskan Investor Abaikan Koruptor
Febri Hendri AA ; Koordinator Divisi Investigasi Indonesia
Corruption Watch
|
KOMPAS,
23 Oktober 2015
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih memprioritaskan
investor daripada membasmi koruptor. Mungkin inilah kalimat yang tepat
menggambarkan upaya pemberantasan korupsi pada satu tahun pemerintahan baru
ini.
Mendatangkan investor memang dibutuhkan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Akan tetapi, apalah artinya
pertumbuhan ekonomi jika kesejahteraan belum merata karena korupsi masih
merajalela?
Meski gigih mendatangkan investor, pemerintahan baru justru
kedodoran dan belum menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan tegas dalam
memberantas korupsi serta membangun pemerintahan demokratis dan bersih.
Bahkan, pemerintah seakan- akan menyalahkan pemberantasan korupsi sebagai
biang kegaduhan yang bisa membuat investor enggan datang.
Namun, pemerintahan baru telah berupaya membangun demokrasi dan
memberantas korupsi dengan mengesahkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015
tentang Rencana Aksi PPK (Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) dan memilih
panitia seleksi calon pimpinan KPK. Sayang, secara keseluruhan pemerintah
kehilangan momentum dan kesempatan dalam memperkuat demokrasi dan
pemberantasan korupsi sesuai Nawacita dan janji kampanye 2014.
Beberapa momentum yang terlewatkan adalah, pertama, pembentukan
anggota kabinet ramping sebagai titik tolak reformasi birokrasi agar lebih
efektif, efisien, dan profesional dalam melayani rakyat. Akan tetapi, program
besar ini justru bermasalah dengan politik. Cita-cita regulasi, kelembagaan,
dan birokrat bersih berbenturan dengan kepentingan politik.
Maka, Presiden pun melantik "kabinet gendut" berjumlah
33. Sebagian besar anggota kabinet berasal dari kekuatan politik bisnis
pendukung Jokowi-Kalla dalam Pilpres 2014. Hal ini memicu kontroversi pada
rekrutmen terbuka pejabat eselon I dan II di kementerian atau lembaga.
Kedua, pemilihan Kepala Polri, Jaksa Agung, pemimpin KPK, serta
konflik KPK versus Polri. Pemilihan ketiga pimpinan penegak hukum merupakan
hal sangat penting dan strategis dalam konteks pemberantasan korupsi.
Penindakan korupsi akan sulit berhasil jika masing-masing pemimpin tertinggi
penegakan hukum tersangkut kasus korupsi, memiliki kepentingan politik, dan
berupaya melemahkan salah satu institusi penegak hukum. Selama itu pula,
perseteruan KPK dan penegak hukum lain hampir pasti akan terjadi.
Presiden sebagai kepala negara seharusnya menjadikan momentum
konflik ini untuk mendorong perubahan terutama pada penegak hukum yang belum
bersih dari korupsi. Reformasi birokasi di internal penegak hukum,
transparansi serta akuntabilitas penindakan merupakan syarat mutlak. Namun,
Jokowi-Kalla tampaknya memandang hal ini bukan akar masalah.
Perkembangan terakhir terkait penindakan korupsi adalah
penetapan tersangka Sekretaris Jenderal Partai Nasdem terkait kasus suap
hakim PTUN Medan. Kasus ini telah memicu spekulasi publik bahwa ada
intervensi atas penetapan tersangka kasus dana bantuan sosial Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara. Inilah salah satu bentuk kerawanan jika kader parpol
menduduki jabatan tertinggi lembaga penegak hukum. Tidak hanya itu, penegakan
hukum kasus korupsi juga bisa menjadi instrumen politik memperluas pengaruh partainya.
Ketiga, pemerintahan baru seharusnya menangkis isu revisi UU KPK
yang bergulir di DPR dengan memperkuat KPK. Jokowi pernah berjanji pada
kampanye pilpres akan memperkuat KPK melalui peningkatan anggaran dan
penambahan penyidik berkali lipat. Janji tersebut sampai kini belum
terealisasi. Pemerintahan justru menunda agenda revisi UU KPK dengan alasan
memfokuskan penanganan ekonomi. Tidak ada kata tegas dari Presiden bahwa UU
KPK belum saatnya direvisi.
Keempat, pemerintahan melonggarkan remisi bagi koruptor dengan
alasan whistle blower dan justice collaborator. Remisi bagi koruptor harusnya
diperketat agar dapat memberi efek jera bagi koruptor maupun pihak lain yang
rawan melakukan korupsi. Akan tetapi, pemerintahan Jokowi-JK melalui Menteri
Hukum dan HAM justru menerbitkan remisi bagi narapidana kasus korupsi pada
Agustus 2015.
Presiden harusnya tetap pada prinsip bahwa korupsi adalah
kejahatan luar biasa dan pelakunya tidak mendapatkan keistimewaan sedikit pun
dalam hukum atau sanksi. Dengan demikian, remisi koruptor seharusnya sangat
ketat, utamakan pada narapidana yang bekerja sama membongkar kasus korupsi.
Kelima, belum ada pendidikan rakyat yang masih mengisi demokrasi
dan menggerakkan rakyat dalam memberantas korupsi. Pemerintahan baru seharusnya
dapat menggunakan momen kemenangan pilpres dalam memobilisir kekuatan rakyat
untuk memperkuat demokrasi dan memberantas korupsi.
Sayangnya, momen ini belum dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya,
pemerintahan Jokowi-Kalla justru dicemarkan oleh pembentukan situs revolusi
mental yang pembuatannya berlawanan dengan semangat revolusi mental itu.
Situs ini diduga menyontek karena memiliki banyak kemiripan dengan situs
Obama. Situs yang memakan biaya miliaran rupiah dan didanai APBN ini justru
dikritik publik karena dananya jauh lebih kecil dari dana yang telah
dihabiskan membangun situs tersebut.
Harapan
Indonesia memang membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi di
tengah kelesuan ekonomi global. Akan tetapi, hal ini jangan menjadi dasar
untuk mengabaikan gerakan anti korupsi dan penguatan demokrasi. Sebaliknya,
penguatan ekonomi justru akan terjadi bersamaan dengan penguatan demokrasi
dan mendorong pemerintahan bersih dari korupsi.
Pembelajaran dari rezim Orde Baru telah membuktikan bahwa pertumbuhan
ekonomi tinggi tanpa demokrasi akan menciptakan ketidakstabilan politik dan
ekonomi. Demokrasi Indonesia saat ini telah dibajak oleh kekuatan elite dan
kelompok bisnis. Oleh karena itu, mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa
memperhatikan demokrasi dan pemberantasan korupsi justru akan memperkuat
relasi politik-bisnis para elite dan tidak memberdayakan dan menyejahterakan
rakyat Indonesia.
Dalam debat Capres-Cawapres Pilpres 2014, Jokowi menyatakan
"Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya. Oleh
sebab itu, kenapa kami datang ke kampung-kampung, datang ke pasar-pasar,
datang ke bantaran sungai, datang ke petani, datang ke pelelangan ikan,
karena kami ingin mendengar suara rakyat."
Pernyataan ini cukup tepat dalam konteks Indonesia saat ini di
mana demokrasi tidak lagi berpihak kepada rakyat. Indonesia membutuhkan
pemimpin yang mampu mengonsolidasikan kekuatan rakyat untuk melawan
pembajakan demokrasi. Sebagai pemimpin Jokowi-Kalla juga harus di garis depan
dalam menggalang kekuatan rakyat untuk membangun demokrasi dan pemberantasan
korupsi. Masih ada empat tahun untuk perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar