Perburuan Komunis
Joty ter Kulve ; Pendiri Yayasan Sahabat Linggarjati;
Salah satu pendiri
Indonesia-Nederland Society (INS)
|
DETIKNEWS,
05 Oktober 2015
Pekan ini beredar foto yang sangat menyentuh, mengharukan, dua
orang tua, yang telah mempengaruhi sejarah dunia: Paus Francis dengan Fidel
Castro di Havanna (20 September 2015). Kehangatan memancar dari foto manakala
Paus meletakkan tangannya pada tangan Castro. Dengan ini Paus Francis
mengukuhkan hubungan baru antara Kuba dan Amerika. Siapa masih ingat krisis
Kuba pada tahun 1960-an, rudal nuklir, Kennedy, Khrushchev? Dunia dicekam
ketegangan.
Di harian berpengaruh Belanda, NRC, muncul sebuah artikel dengan
judul: Indonesia Tak Lupa Sejarah. Generasi muda menuntut perhatian atas
perburuan kaum komunis pada 1965. Bagaimana sebenarnya ini semua bermula? Ya,
dari Karl Marx, yang menulis kitab Das Kapitaal. Perkembangan selanjutnya
Marxisme, komunisme terus meluas bak rembesan minyak sampai ke Asia, Amerika,
ke seluruh dunia. Detil menarik: Marx ternyata keponakan dari keluarga
Philips (kapitalis pemilik imperium industri elektronik merk Philips) di
Eindhoven, Belanda.
Perkembangan selanjutnya tak terelakkan: komunisme merajalela ke
seluruh dunia, memecah-belah keluarga, gereja, pemerintahan dan menelan
banyak korban nyawa manusia. Di Rusia di mana sistem komunisme diterapkan di
bawah rezim Stalin, berjuta-juta rakyat Rusia dibunuh. Di Afrika, Amerika
Latin, tua muda tersedot ideologi komunis menjadi pengikut, juga di China,
Korea Utara, Kamboja, dan Vietnam.
Saya masih ingat, tak lama setelah lulus kuliah pada tahun
1950-an, saya berangkat ke Paris dan di sana menginap pada keluarga pemilik
Gaumont Filmindustrie. Mereka memiliki dua anak perempuan sebaya dengan saya.
Satu anak perempuan itu menyebarkan pamflet berpaham komunis pada pintu
gerbang Universitas Sorbonne. Sejak itu adik perempuannya tidak mau berbicara
lagi dengannya dan dia sangat anti-komunis.
Di Indonesia ideologi ini juga mendapat tempat di kalangan kaum
muda pada awal abad ke-20. Nasionalisme, komunisme, banyak orang Indonesia
saat itu antusias mengenai perkembangan di Rusia. Punya peluang sama dan
tidak ditindas oleh penguasa merupakan lahan subur bagi ideologi ini untuk
menarik massa pengikut.
Segera setelah berakhir Perang Dunia II muncul era Perang
Dingin. Amerika mencoba mempertahankan hegemoninya di seluruh dunia. Ketika
Chiang Kai Chek berhasil dikalahkan oleh komunis dan meletus hebat Perang
Vietnam, Amerika tidak menghendaki jika komunis juga berkuasa di Indonesia
dan memutuskan mendukung Soeharto. Di Belanda hari-hari ini koran-koran penuh
dengan ulasan atas pembunuhan massal di Indonesia pada 1965 (yang menjadi
dekor jatuhnya kepemimpinan Soekarno dan naiknya Soeharto).
Melihat rangkaian itu semua, saya menilai foto Paus Francis dan
Fidel Castro sungguh sangat menggugah hati dan menyiratkan begitu banyak
harapan. Juga kini anno 2015, di tengah-tengah gambar-gambar menyedihkan dari
Timur Tengah, masih ada orang-orang yang menunjuki jalan menuju perubahan, keberlanjutan,
berbagi peluang, keadilan dan perdamaian. Banyak generasi muda seperti juga
di Indonesia saat ini mempunyai keberanian untuk menatap masa lalu. Dan itu
memberi harapan bagi kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar