"Metanoia"
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
04 Oktober 2015
Suatu hari di Toronto, Kanada,
penerima Nobel Perdamaian 1983, Uskup Agung Desmon Tutu, berpidato: "Jika Anda bertanya kepada para
mahasiswa Afrika Selatan, bahkan mahasiswa yang paling sederhana sekalipun,
apakah yang mereka pikirkan tentang peristiwa yang terjadi beberapa tahun
silam di Afrika Selatan? Hampir semuanya akan mengatakan, malapetaka yang
menakutkan akan menimpa kami. Kami akan disapu bersih oleh bencana
berdarah-darah."
"Tetapi,
semua itu tidak terjadi. Pada 27 April 1994, mata dunia memandang kami dengan
penuh ketakjuban ketika melihat semua orang berbagai macam ras berbaris
mengular menuju tempat pemungutan suara. Dan kemudian, dunia semakin
terheran-heran, tak mampu berbicara ketika menyaksikan Nelson Mandela, pada
10 Mei 1994, dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan. Ini sebuah mukjizat:
transisi damai dari ketidakadilan dan penindasan ke kebebasan dan
demokrasi."
Nelson Mandela yang selama 27
tahun dipenjara, diperlakukan sangat tidak manusiawi; orang kulit hitam
Afrika Selatan yang bertahun-tahun hidup dalam sangkar rasialisme
ketidakadilan, penindasan, dan juga perlakuan tidak manusiawi oleh orang
kulit putih; mampu meretas belenggu balas dendam, membuang jauh-jauh rasa
kebencian, dan membuka hati mereka untuk memaafkan. "Nelson Mandela
dikenang sebagai ikon rekonsiliasi dan pemaaf, orang yang sangat luhur
budinya," kata Desmon Tutu.
Keteguhan hati Mandela dalam
penjara-khususnya selama bertahun-tahun dalam penjara di Robben Island, bekas
tempat pembuangan penderita kusta, sikap tanpa putus harapan dalam perjuangan
amat panjang menentang diskriminasi, ketegarannya menolak kompromi dan
gratifikasi, kebesaran hatinya mengatasi dendam dan memaafkan orang yang
telah menghukumnya dengan sewenang-wenang-semua itu merupakan kombinasi
keyakinan dan kekuatan moral yang membuat seluruh dunia tercengang.
Itu cerita tentang Afrika Selatan.
Tidak mudah berjalan mengikuti jejak Afrika Selatan yang sudah menjadi
sejarah; sejarah peradaban bangsa, sejarah yang menunjukkan keluhuran budi
manusia. Seperti dikatakan Cicero (106-43 SM), filsuf Romawi Kuno, historia vitae magistra et testis
temporarum, sejarah itu guru kehidupan dan saksi dari zaman.
Maukah kita belajar dari sejarah,
entah itu sejarah bangsa kita sendiri ataupun bangsa lain? Kata Shimon Peres
(Star-up Nation-The Story of Israel's
Economic Miracles, 2011), orang lebih suka mengingat ketimbang
berimajinasi. Ingatan mengurusi hal-hal yang dikenal baik; sementara
imajinasi menyangkut hal-hal yang tidak dikenal. Imajinasi dapat menakutkan.
Imajinasi menuntut risiko meninggalkan hal yang telah dikenal.
Berimajinasi memaafkan mereka yang
bersalah dan dianggap bersalah, membutuhkan keberanian besar. Afrika Selatan
sudah melakukannya. Mereka tak hanya mengingat tragedi apartheid, bencana
kemanusiaan yang pernah mereka alami, tetapi juga berani berimajinasi
membangun sebuah negara, menjadi sebuah bangsa yang hidup berdampingan secara
damai, saling memaafkan, dan melangkah ke depan. Imajinasi itu diwujudkan.
Mewujudkan keberanian untuk
memaafkan itu menuntut keseluruhan diri manusia, tidak ada yang boleh
tersisa. Diperlukan sebuah totalitas, dibutuhkan kerja keras, dari kepedihan
mengalami degradasi kemanusiaan, dari manusia yang pembenci menjadi manusia
yang penuh maaf sehingga kemanusiaannya menjadi utuh kembali. Inilah yang
disebut metanoia-perubahan radikal yang disusul dengan tindakan yang
setara-yang terjadi dalam sikap dan tindakan batin manusia sebagai jawaban
terhadap karya-karya Ilahi (Witdarmono, Aku Anak Bumi-ku, Biografi Spiritual
Yohanes Paulus II, 2015).
Barangkali, apa yang disebut
sebagai "revolusi mental" harus dimasukkan dalam konteks ini,
konteks metanoia. Artinya, tidak hanya sekadar diucapkan, diteriakkan,
ditulis dengan huruf besar-besar, tetapi benar-benar dilaksanakan dengan
penuh kesungguhan hati, pikiran, dan tindakan karena yang dibutuhkan adalah man of action. Tanpa adanya
metanoia-sebuah perubahan radikal-tak mungkin revolusi mental itu terwujud.
Demikian pula, tanpa adanya metanoia, tak mungkin semangat memaafkan akan
muncul, lahir, berkembang, dan berbuah seperti yang dilakukan rakyat, bangsa
Afrika Selatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar