Laporan Diskusi Kompas-LMI
"Masih
Adakah yang Tersisa?"
Menimbang Masa
Depan
KOMPAS, 06
Oktober 2015
Presiden Joko Widodo berulang kali menyatakan, Indonesia telah
melewatkan tiga kali kesempatan untuk memperbaiki fondasi ekonomi sehingga menjadi
kuat. Pertama, saat terjadi lonjakan harga (booming) minyak di tahun 1970-an. Lalu saat booming kayu di tahun
1980-an, dan kemudian saat booming mineral dan batubara (minerba) di awal
2000 hingga saat ini. Namun demikian, menurut dia, Indonesia masih memiliki
kesempatan untuk memperbaikinya karena cadangan sumber daya alam masih ada.
Persoalannya, dalam menimbang masa depan, pengelola Republik
condong hanya menghitung aset ekonomi. Sementara daya dukung lingkungan dan
aspek manusianya tidak menjadi pertimbangan. Padahal, pulau-pulau yang
menjadi selubung hidup Republik ada dalam kondisi krisis akibat perusakan
yang dilegalkan. Sementara dari aspek manusianya, Indonesia punya kesempatan
untuk memanfaatkan bonus demografi. Namun, untuk bisa memanfaatkannya, perlu
ada program ekstra di luar program-program yang sudah direncanakan. Target
pendidikan 12 tahun saja tak akan memadai.
Perusakan
kepulauan
Apa yang terjadi pada pulau-pulau dan perairannya selama ini tak
pernah kita periksa. Cerita tentang skala pulau terbenam di bawah imajinasi
politik tentang yurisdiksi provinsi, kabupaten, otonomi daerah,
desentralisasi fiskal, UU Desa, dan lainnya. Padahal, wilayah daratan dan
perairan kepulauan Indonesia dalam satu setengah generasi ini telah mengalami
kerusakan kronis, dengan eskalasi kecepatan dan luasan kerusakan fantastis.
Hasil pemeriksaan para peneliti Sekolah Demokrasi Ekonomi
terhadap 200 pulau di perairan Indonesia 2007-2015 menyimpulkan, sistem
ekologis pulau mengalami penghancuran dahsyat, ditandai di antaranya oleh
hancurnya sistem air, meningkatnya jumlah DAS kritis dan superkritis,
perusakan hutan, pembongkaran tutupan dan lapisan atas tanah di kepulauan
yang berlangsung cepat dan tanpa pandang bulu.
Penghancuran ini berlangsung secara sistematis di bawah naungan
hukum dan kendali pengelola negara. Tak ada pulau yang terlalu kecil untuk
tidak dibongkar dan terlalu besar untuk bisa mengalami kerusakan parah pada
sistem-sistem ekologisnya. Skala ruang perusakan sebanding dengan nilai uang
maksimum yang potensial dihasilkan. Krisis ekologis ini melahirkan konflik
sosial dan migrasi paksa dari kampung-kampung yang kian intensif terjadi.
Perusakan pulau-pulau dan perairannya dipicu
"perampasan" lahan (land
grabbing) yang berlangsung demikian cepat, berada di luar kontrol
instrumen pengelolaan rencana tata ruang dan wilayah dan lepas dari penegakan
hukum. Membesarnya jumlah orang super kaya di dunia dan kemajuan dalam
finansialisasi aset telah mendorong penimbunan persediaan (stockpiling)
petak-petak lahan skala raksasa untuk perluasan "kota" dan lanskap
operasionalnya, seperti medan pertambangan, perluasan perkebunan atau
pembalakan hutan, medan pembuangan limbah industri, dan lainnya. Tak heran
Jakarta dan Bali di 2013 menduduki peringkat pertama dan ketiga di antara 88
hotspot pasar lahan global.
Perusakan pulau-pulau terus berlanjut hingga di era pemerintahan
Jokowi. Sejak akhir 1960-an, pengurus publik di bawah rezim Orde Baru dan
rezim politik sesudahnya secara sistematis memperlakukan daratan dan perairan
pulau pertama-tama sebagai ruang ekonomik.
Kodifikasi keadaan keberlanjutan fungsi-fungsi fisiologis hutan,
aliran dan genangan air, tanah, terumbu karang, dan infrastruktur ekologis
lainnya, yang menjadi syarat regenerasi sistem-sistem kehidupan di setiap
pulau, digantikan sebuah peta atau kartografi yang didominasi oleh sistem dan
praktik tutur yang berpusat pada kandungan bahan alami dan proyeksinya pada
petak-petak daratan dan perairan kepulauan, dan pemodelan ekonomika spasial,
semacam Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) di zaman SBY. Ironisnya, kesatuan sosial- ekologis dan
wilayah-wilayah kelola rakyat ditempatkan sebagai kategori
"sementara", yang setiap saat bisa dibongkar, dipindahkan atau
diabaikan keselamatannya.
Pengelolaan pulau-pulau hanya ditujukan untuk melayani
pertumbuhan ekonomi tanpa ada sangkut-pautnya dengan syarat-syarat kesejahteraan
dan keselamatan warganya. Dalam hal ini ada dua persoalan mendasar yang tak
banyak dibicarakan orang. Pertama, rezim pengurusan, pengalokasian, dan
pengendalian penggunaan ruang yang dikelola oleh pengurus Republik hanya
berlaku untuk ruang-ruang yang tersisa dari lahan cadangan industri
eksploitatif yang vital. Sementara pengelolaan ruang dominan menjadi faktor
pendorong pendalaman krisis.
Kedua, sampai dengan saat ini, tidak ada mekanisme umpan balik
antarkantor-kantor pengurus negara pada berbagai tingkat otoritas, yang
memungkinkan tindakan koreksi tuntas terhadap perusakan atau perluasan
kerusakan. Yang terjadi, di saat kita sibuk menyiapkan reduksi risiko bencana
alam yang kian kacau sebaran ruang waktunya, pelaksanaan pengurusan publik
justru menjadi mekanisme eskalasi risiko bencana dari pertumbuhan investasi
yang dipuja-puji.
Bonus
demografi
Visi Presiden Jokowi untuk memperbaiki fondasi ekonomi dalam
praktiknya tak beranjak jauh dari pemerintahan sebelumnya. MP3EI merayap
diam- diam, demikian juga dengan peningkatan kapasitas manusianya tak
beranjak dari target yang rendah. Belum tampak adanya upaya serius untuk
memanfaatkan bonus demografi.
Bonus demografi akan terjadi antara 2010 dan 2030, ketika
penduduk usia produktif merupakan proporsi terbanyak. Setidaknya perlu dua
langkah untuk bisa memanfaatkan bonus demografi, yaitu pendidikan dan
pengembangan inovasi lewat intensifikasi penelitian. Tanpa itu, bonus
demografi yang hanya terjadi sekali akan berlalu sia-sia.
Untuk memperbaiki fondasi ekonomi, Jokowi mencanangkan 16
komitmen ekonomi dalam Nawacita. Salah satunya peningkatan kualitas SDM
dengan pendidikan 12 tahun. Pertanyaannya, apakah kita mampu menjalankan 15
komitmen ekonomi dengan pendidikan hanya sampai 12 tahun? Bagaimana mungkin
kita menargetkan pendidikan hanya sampai 12 tahun, sementara fakta
menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara penduduk yang pendidikannya
kurang maju dengan kemampuan berinovasi.
Tak mungkin kita bisa meraih manfaat bonus demografi hanya
dengan mengandalkan program pendidikan yang sudah direncanakan. Perlu ada
program ekstra mengingat kondisi faktual SDM kita. Sampai Sensus 2010, hampir
70 persen penduduk berpendidikan SMP ke bawah. Yang berpendidikan SLTA tidak
sampai 30 persen. Artinya, masih banyak yang perlu diberi kesempatan untuk
mengenyam pendidikan sampai setingkat SMA.
Selain kualitas SDM yang rendah, komitmen pemerintah dalam
mendorong kemampuan penduduk untuk berinovasi juga rendah. Terlihat dari
nilai investasi Indonesia di bidang penelitian yang hanya 0,08 persen dari
PDB. Sementara Korea investasinya hampir 4 persen.
Pada akhirnya yang bisa dilakukan Indonesia dalam kondisi
sekarang adalah memperkuat kelemahan modal manusia dengan bertumpu pada
peningkatan keterampilan dan kemampuan penduduk pada umumnya.
Salah satu upayanya adalah memperluas pendidikan yang
menghasilkan tenaga kerja terampil melalui program diploma dan S-1 serta
secara selektif mengembangkan pendidikan tinggi ke atas, khususnya S-3, untuk
menghasilkan ilmu pengetahuan yang mendukung industri domestik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar