Memahami Tantangan Ombudsman RI
Yasmin Muntaz ; Alumnus Pascasarjana FHUI dan Pemerhati
Media
|
KORAN
SINDO, 03 Oktober 2015
Suatu hari
seorang kawan menginformasikan pendaftaran Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
ke sebuah komunitas. Namun, info tersebut kurang mendapat respons. Belakangan
baru terungkap ternyata sebagian besar anggota tidak terlalu paham dengan
fungsi Ombudsman. Di lain waktu saya melakukan survei kecil-kecilan ke
beberapa kalangan, mulai dari akademisi hingga politisi. Mayoritas menganggap
hasil kerja ORI “tidak jelas”.
Jika akan
mendaftar, mereka lebih memilih untuk mendaftar ke komisi/ lembaga lain.
Gambaran di atas menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat terhadap
Ombudsman. Padahal, mereka yang saya sebutkan tadi berlatar belakang
pendidikan tinggi, dengan yang terendah adalah lulusan sarjana.
Jika kaum
berpendidikan tinggi saja banyak yang belum familier dengan ORI atau
kinerjanya, bagaimana dengan masyarakat awam? Inilah antara lain yang menjadi
tantangan anggota ORI 2016-2021, yang proses seleksinya saat ini sedang
berlangsung.
Amendemen UUD
1945 kurang lebih menyebutkan bahwa Ombudsman adalah lembaga independen untuk
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dan dibentuk berdasarkan
undang-undang.
Komisi
Ombudsman Nasional (KON) lahir zaman Presiden Abdurrahman Wahid, melalui
Keppres No 44 Tahun 2000. Ombudsman merupakan salah satu kelembagaan antikorupsi
yang direkomendasikan oleh TAP MPR No VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi
Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Berdasarkan TAP MPR
tersebut, eksistensi Ombudsman (juga KPK) adalah amanat rakyat untuk
memberantas korupsi.
Sebagai tindak
lanjut dari TAP MPR tersebut lahirlah Undang- Undang No 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Melalui UU No 37/2008 terjadi penguatan
terhadap Ombudsman, yang semula berstatus sebagai komisi, menjadi lembaga
negara. Jika sebelum UU No 37 Tahun 2008 rekomendasi ORI tidak wajib diikuti,
sejak ada UU tersebut, rekomendasi ORI menjadi wajib dilaksanakan dan akan
dikenakan sanksi administratif (apabila tidak dilaksanakan).
Dalam UU
Ombudsman ditegaskan bahwa ORI adalah lembaga negara yang berwenang mengawasi
pelayanan publik, termasuk oleh BUMN, BUMD, dan BHMN, serta badan swasta atau
perorangan yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik, yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan / atau APBD.
Ombudsman menerima
dan menangani keluhan masyarakat yang menjadi korban kesalahan administrasi
(maladministrasi) publik, yang meliputi keputusan /tindakan pejabat publik
yang ganjil, menyimpang, sewenang-wenang, melanggar ketentuan, penyalahgunaan
kekuasaan, dan keterlambatan yang tidak perlu (undue delay). Maladministrasi adalah perbuatan koruptif yang
tidak menimbulkan kerugian negara, namun merugikan masyarakat, baik materiil
maupun immateriil.
Dengan
demikian, meski sama-sama dibentuk untuk memberantas KKN, Ombudsman berbeda
dengan KPK. KPK berperan memberantas korupsi yang merupakan tindak pidana,
sedangkan Ombudsman memberantas dan mencegah KKN dari jalur administrasi dan
penyelenggara negara guna terciptanya good
governance.
Dari laporan
tahunan ORI diketahui bahwa selama 13 tahun sejak berdirinya (hingga 2013)
terdapat sekitar 17.000 kasus maladministrasi yang ditangani lembaga itu.
Angka tersebut termasuk kecil jika dibandingkan dengan Commonwealth Ombudsman Australia misalnya.
Sebagai contoh
pada 2000 hingga 2001 Ombudsman Australia itu menerima dan menangani 20
ribuan kasus. Bisa jadi alasannya, keberadaan Ombudsman di Australia 24 tahun
lebih dulu dari di Indonesia sehingga tingkat kepercayaan masyarakat
terhadapnya amat tinggi. Jika belum tingginya kasus yang dilaporkan dan
ditangani ORI menandakan pelayanan publik di Indonesia sudah baik, tentunya
bagus sekali.
Namun, jika
angka tersebut adalah akibat belum tersosialisasikannya ORI dengan baik
sehingga tingkat kepercayaan public terhadapnya masih rendah, tentunya amat
disayangkan. Karena pengetahuan publik terhadap Ombudsman masih minim, patut
diduga kasus yang tidak dilaporkan ke ORI jumlahnya lumayan banyak.
Padahal,
hingga 2013 ORI telah memiliki 32 cabang di daerah sehingga seharusnya bisa
menjadi alternatif pertama penyelesaian keluhan masyarakat terhadap pelayanan
publik di daerah tersebut. Ombudsman dapat melakukannya secara cepat, gratis,
dan aman (identitas pelapor dirahasiakan).
Anggapan yang
mengatakan bahwa kerja ORI “tidak jelas” adalah tidak tepat. Namun, akibat
minimnya publikasi, pendapat tersebut tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Kalau
kita menjelajahi internet, kebanyakan yang muncul adalah tulisan tentang
fungsi ORI serta artikel opini. Berita soal sepak terjang ORI bisa dibilang
minim sehingga tidak semua kalangan aware terhadap (kinerja) Ombudsman.
Semua orang
memang dapat membaca laporan kerja ORI dalam setahun, hanya dengan mengakses
situsnya. Namun, tidak semua orang berminat melakukan itu. Apalagi di situs
ORI, ternyata laporan tahunan yang dapat diakses baru sampai 2013 saja.
Tambahan lagi, masih banyak masyarakat belum paham akan haknya untuk
mendapatkan pelayanan publik yang baik.
Karena itulah,
ORI perlu gencar melakukan sosialisasi melalui media cetak dan elektronik.
Antara lain dengan secara rutin memublikasikan hasil kerjanya ke media,
membuat iklan layanan masyarakat dan program acara khusus tentang Ombudsman
di TV dan radio, baik nasional maupun lokal (terutama di daerah yang memiliki
perwakilan ORI).
Publikasi
lewat media sosial dan media luar ruang pun perlu digencarkan. Intinya, ORI
perlu melakukan strategi media yang simultan dan terprogram dengan baik.
Selain melalui media, sosialisasi juga dapat dilakukan ke kampus-kampus.
Untuk relasi media yang lebih intens, perlu dipertimbangkan pula keberadaan
seorang juru bicara Ombudsman.
Selain soal
publikasi dan sosialisasi, saya berpendapat nama Ombudsman kurang familier.
Kata Ombudsman (yang berasal dari bahasa Skandinavia yang berarti
“perwakilan”) tidak secara langsung menggambarkan tugas lembaga tersebut.
Beda halnya dengan komisi/lembaga lain yang menggunakan nama dari bahasa
Indonesia sehingga lebih menggambarkan tugas dan wewenangnya.
Misalnya KPK,
KPI, KPAI, dan lain-lain. Saat ini lebih dari 100 negara memiliki Ombudsman.
Ada yang tetap menggunakan nama Ombudsman, namun ada pula yang menggunakan
nama lain. Di antaranya Afrika (Public
Protector) dan Prancis (Mediateur de
la Republique).
Jika tayangan televisi berbahasa asing non-Inggris saja harus
di-dubbing ke dalam bahasa
Indonesia, rasanya nama Ombudsman pun perlu diindonesiakan. “Lembaga Pengawas
Pelayanan Publik” misalnya dapat dipertimbangkan menjadi salah satu kandidat
pengganti nama Ombudsman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar