Lapang Dada
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
18 Oktober 2015
Setelah menghabiskan waktu kurang lebih satu jam untuk rapat
bersama salah satu klien, saya kembali ke kantor. Dalam perjalanan menuju ke
tempat antrean taksi, klien saya bertanya. ”Mas, udah punya pacar?” Saya
tentu menjawab tidak, karena kenyataannya memang demikianlah adanya.
”Mungkin, Mas terlalu milih,” balasnya lagi.
”Let go”
Percakapan itu berhenti ketika giliran taksi saya datang.
Sebelum saya masuk ke dalam taksi, klien saya yang cantik jelita itu memberi
nasihat. ”Mungkin Mas harus let go apa pun yang pernah dialami. Hati itu
kalau sudah bisa bersih, yang baru datangnya juga akan cepat.”
Satu hari sebelum saya mengirim naskah ini, saya memeriksakan
kesehatan di sebuah rumah sakit. Seorang suster mengantar saya ke sebuah
ruang di mana ia memeriksa tekanan darah dan berat badan saya. ”Ada keluhan
apa ini, Mas.” Kemudian saya menjelaskan sedikit tentang keluhan yang saya
alami.
Percakapan itu kemudian berlanjut dengan sesi curhat saya kepada
suster yang ramah dan seorang pendengar yang baik. Setelah curhat yang
singkat soal mengapa saya ini kok yang selalu ketiban sial kena sakit ini dan
sakit itu, ia menutup sesi curhat itu dengan memberi nasihat persis seperti
klien saya di atas. ”Mas harus bisa lapang dada. Semua perasaan soal hidup
yang rasanya enggak adil buat Mas, kalau bisa secepatnya dilepaskan.”
Pada saat klien saya di atas memberi nasihat mulia itu, saya
sama sekali tak menjadikan nasihat itu sebuah hal yang harus saya pikirkan
secara serius. Tetapi, setelah mendengar nasihat suster muda belia itu, saya
mulai berpikir. Mengapa dalam waktu yang tidak terlalu lama, ada dua manusia
yang menasihati saya dengan nasihat yang sama. Let go dan lapang dada.
Maka, setelah pemeriksaan dokter selesai, di dalam taksi yang
mengantar saya pulang, saya mulai berpikir tentang bagaimana caranya harus
rela melepaskan semua beban yang menghalangi saya maju.
Sejujurnya perjalanan yang lumayan jauh untuk tiba di tempat
kediaman saya, tak membantu apa-apa. Saya terdiam dan merenung sambil melihat
jalan raya yang mulai padat menjelang sore itu. Dan perenungan itu tak
memberi solusi apa pun untuk mengosongkan dada yang sesak ini agar menjadi
lapang.
Keder
Saya teringat beberapa tahun lalu ada yang mengatakan bahwa saya
harus menerima apa pun yang terjadi dalam perjalanan hidup yang dilalui.
Tetapi, semakin saya menerima, saya makin sakit hati. Bagaimana saya tidak
menerima? Saya sungguh menerima apa yang ada di hadapan saya dan itu tak bisa
saya hindari. Saya makin merasa hidup untuk saya sungguh tidak adil.
Penghinaan, penyakit yang tak pernah berhenti bertamu, menjadi
tua, hidup dalam kesendirian, menjadi makin lemah tenaganya, sampai pada soal
kehilangan. Ya kehilangan uang, ya orang yang dicintai, ya kesempatan. Semua
saya terima.
Saya lupa, apakah saya pernah membaca di sebuah majalah, buku
atau seorang teman yang memberi tahu, bahwa apa yang saya katakan menerima
itu ternyata keliru. Beberapa kejadian yang saya sebutkan tadi yang membuat
dada saya tak bisa lapang, itu bukan menerima. Itu hanya sebatas saya
mengetahui kenyataan hidup.
Menerima itu katanya diawali dengan mengetahui sebuah kenyataan
hidup, dan kemudian mengerti mengapa kenyataan hidup itu terjadi. Maka
menerima itu katanya adalah proses di mana seseorang mengerti atas apa yang
diketahuinya.
Misalnya, saya mengetahui kenyataan bahwa ibu yang saya cintai
meninggal dunia. Nah, menerima itu, mengerti mengapa kok ibu meninggal dunia.
Bukan hanya sekadar manusia itu mau tak mau harus meninggal, tetapi mengerti
bahwa ibu saya meninggal karena ginjalnya gagal berfungsi karena memiliki
kelainan yang tak ia ketahui sedari kecil.
Contoh lainnya, saya mengetahui bahwa saya tak punya pacar sejak
lama. Setelah saya mengetahui, saya harus mengerti mengapa saya tidak punya.
Karena saya tak mau terikat. Pacaran itu mengikat. Saya hanya mau punya
seseorang yang menemani saya yang bukan teman biasa.
Nah, yang dimaksud tidak mau mengerti itu adalah saya tetap
berkoar-koar bahwa hidup itu tidak adil karena sampai sekarang saya masih
sendiri, kok enggak ada yang suka sama saya. Padahal ketika saya mengerti,
hidup itu bukan tidak adil, sayanya saja yang punya prinsip pacaran yang tak
akan disukai orang. Siapa juga yang mau hanya dijadikan ’baby sitter’, bukan?
Beberapa jam setelah itu, ketika saya sudah bersiap-siap untuk
beristirahat malam, nurani saya malah membangunkan seperti jam weker di pagi
hari. ”Kamu itu dari sejak awal sudah mengetahui dan sudah mengerti. Kamu itu
bukan tak bisa lapang dada, bukan tak bisa let go. Kamu itu bisa banget. Kamu
itu sejujurnya takut akan kehilangan dadamu yang sesak. Karena di dada yang
sesak kamu menikmati proses dikasihani oleh dirimu sendiri dan orang lain.
Itu sebuah taman bermain yang ingin kamu pegang selamanya. Kamu itu keder
kehilangan sesuatu yang lama dan keder berhadapan dengan sesuatu yang baru.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar