Kritik Sastra dalam Peristiwa Kebudayaan
Asef Saeful Anwar ; Sastrawan; Cerpenis
|
KOMPAS,
11 Oktober 2015
Dalam pengantarnya di buku The
Function of Criticism, Eagleton
(1996: iii) menyatakan bahwa kritik sastra dewasa ini tidak memiliki fungsi sosial
yang substantif. Bagi Eagleton, kritik sastra hanya menjadi bagian dari
cabang pemasaran industri buku atau seluruhnya bersifat internal dalam
lingkungan perguruan tinggi. Apa yang diungkapkan Eagleton hampir dua dekade
lalu itu terjadi di Indonesia pada masa sekarang.
Fungsi sosial kritik sastra di
Indonesia hampir jauh dari masyarakatnya. Kritik sastra akademik yang
dihasilkan ribuan mahasiswa sastra seolah mandek di perpustakaan kampus.
Jangankan masyarakat sastra, para pengarang yang karyanya dibahas pun mungkin
tidak tahu apa fungsi kritik itu terhadap perkembangan karier kepenulisan
mereka. Sementara kritik yang muncul di media massa kebanyakan resensi yang
lebih banyak bersifat seperti promosi untuk buku sastra terkait.
Padahal, Eagleton menemukan
fakta bahwa secara historis konsep modern mengenai kritik sastra sangat erat
bila dikaitkan dengan bangkitnya publik liberal borjuis abad ke-18 di
Inggris. Sastra, pada waktu itu, mampu membantu gerakan emansipasi kelas
menengah sebagai alat untuk memperoleh harga diri serta mengungkapkan
tuntutan-tuntutan manusiawi melawan negara absolut dan masyarakat hierarkis.
Eagleton menguatkan pendapatnya dengan mengutip pandangan Peter Hohendahl
bahwa pada masa pencerahan konsep kritik tidak dapat dilepaskan dari lembaga
lingkup publik. Diskusi sastra yang sebelumnya berperan sebagai bentuk
pengesahan masyarakat istana di dalam ruang-ruang aristokratik menjadi suatu
arena untuk merintis jalan bagi diskusi politik dalam kelas-kelas menengah.
Fakta yang ditunjukkan Eagleton
dan Hohendahl ini meluaskan pandangan bahwa (1) kritik sastra tidak hanya
berupa tulisan, tetapi juga diskusi-diskusi tentang karya sastra, dan (2)
fungsi dari kritik sastra tidak berhenti pada lingkup ilmu sastra saja,
tetapi dapat pula menggerakkan masyarakat dan membangun kebudayaannya. Muara
dari kedua fakta tersebut adalah bahwa kritik sastra dapat berasal dari
sebuah peristiwa kebudayaan. Dengan demikian, siapa pun boleh mengeluarkan
kritik sastra tanpa harus menuliskannya sehingga (penulisan) sejarah sastra
perlu meluaskan kerjanya tidak hanya pada peristiwa-peristiwa kebudayaan,
tetapi juga perlu pula menelisik sudah sejauh mana fungsi kritik sastra dalam
perkembangan kebudayaan suatu masyarakat.
Guna mengetahui hubungan kritik
sastra dan perkembangan kebudayaan di Indonesia, polemik kebudayaan yang
terjadi sebelum kemerdekaan dapat menjadi titik mula kajian. Polemik
kebudayaan yang mengemuka sebelum Indonesia merdeka tidak dapat dilepaskan
dari adanya kritik sastra terhadap karya Sanusi Pane yang dianggap
mengagungkan budaya Timur dan karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dianggap
mewakili budaya Barat. Kritik sastra saat itu telah turut ambil bagian dalam
perumusan awal bagaimana pembangunan kebudayaan di Indonesia akan dimulai.
Sejarah kemudian juga mencatat
tindakan saling kritik antara Manikebu dan Lekra yang turut pula menggerakkan
masyarakat untuk ikut merumuskan kebudayaan barunya yang lepas dari garis
kekuasaan Orde Lama menuju Orde Baru. Pada posisi yang demikian tidak jelas
apakah kritik sastra dimasuki atau masuk ke dalam ranah politik, tetapi apa
yang tersirat kemudian adalah lahirnya gaya baru dalam kepenulisan karya
sastra yang turut memengaruhi kebudayaan masyarakat Orde Baru dalam dimensi
humanisme universal.
Sastra kontekstual
Kemudian pernah muncul pula
perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan dekade 1980-an. Pada peristiwa
tersebut, sastra dikritik dari sudut pandang fungsi sosialnya. Kritik ini
tentu menginginkan karya sastra yang membangun kebudayaan masyarakatnya dan
tidak sekadar menghibur pembacanya untuk menghabiskan waktu luang. Tercatat
pula peristiwa- peristiwa kebudayaan lain tempat kritik sastra muncul dan
mengambil peran penting dalam pembangunan kebudayaan, seperti merebaknya
sastra sufistik yang mulai menggerakkan kaum muslim kelas menengah.
Uraian di atas hanyalah awal
lintasan persinggungan antara kritik sastra dan perkembangan kebudayaan
Indonesia sebagai salah satu jalan mengetahui pergeseran fungsi kritik sastra
di negeri ini.
Tentu, kajian terhadap fungsi
kritik sastra yang diambil dari peristiwa kebudayaan akan melengkapi
pembicaraan sastra yang selama ini hanya berasal dari media massa-yang tidak
dapat selalu meliput seluruh peristiwa kebudayaan-dan karya-karya akademik.
Apa yang tidak boleh dilupakan ketika hendak menguraikan fungsi kritik sastra
dalam peristiwa kebudayaan adalah faktor kekuasaan yang melatarbelakangi
setiap peristiwa kebudayaan. Pada akhirnya kajian serupa itu dapat membedah
ke arah mana selama ini wacana yang dibangun kritik sastra untuk kebudayaan
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar