KPK Sunah, Tak Haram
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 10 Oktober 2015
Perdebatan
soal apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu lembaga ad hoc atau bukan mencuat kembali
setelah pada Rabu, dua hari lalu, Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan
ketetapan (tap) MPR yang mendasari pembentukan KPK tidak menyebutkan bahwa
KPK itu lembaga ad hoc.
Memang agak
mengagetkan ketika Rabu itu mencuat berita bahwa melalui Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) 2015 sejumlah anggota DPR mengusulkan perubahan
Undang-Undang (UU) KPK. Publik menganggap hal itu sebagai ancaman serius bagi
upaya pemberantasan korupsi. Sebab di dalam draf RUU tersebut ada beberapa
pasal yang terang-terangan akan menggerus kewenangan-kewenangan khusus,
bahkan akan membubarkan KPK.
Di dalam
usulan RUU baru itu ada ketentuan KPK akan bubar dalam waktu 12 tahun sejak
ditetapkannya UU KPK yang baru. Alasannya, KPK adalah lembaga ad hoc yang dibentuk untuk mengatasi
situasi dan waktu tertentu, yakni merajalelanya korupsi sebagai peninggalan
rezim Orde Baru.
Itulah yang,
antara lain, ditanggapi pimpinan KPK dalam jumpa pers yang dipimpin langsung
oleh Ruki, Rabu kemarin. Ruki menegaskan bahwa KPK dibentuk berdasarkan tap
MPR yang di dalamnya tidak ada ketentuan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc.
Pada tahun
2001, untuk memerangi korupsi, MPR memang mengeluarkan Tap No VIII/MPR/2001
tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Di dalam Pasal 2 butir 6 Tap MPR tersebut tidak
disebut sedikit pun tentang kesementaraan atau sifat ad hoc KPK.
Di sana hanya
disebutkan perintah pembentukan KPK dengan kalimat yang tegas, ”Membentuk undang-undang beserta peraturan
pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: (a) Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi....” Tidak ada kata ad hoc atau
sementara di dalam Tap MPR itu.
Berdasarkan
perintah Tap MPR tersebut dibentuklah UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang menurut Pasal 2 UU tersebut
disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam UU ini pun tidak ada
ketentuan bahwa KPK adalah lembaga ad
hoc.
Tapi
perdebatan apakah KPK itu lembaga ad
hoc atau bukan terus berlangsung. Pada pidato di Gedung MPR saat
peringatan Hari Konstitusi 18 Agustus 2015 kemarin, Presiden Kelima RI
Megawati Soekarnoputeri mengatakan bahwa KPK adalah lembaga ad hoc yang pada saat dan keadaan
tertentu harus dibubarkan.
Mengapa
perdebatan tentang ad hoc atau
tidaknya KPK itu selalu muncul? Karena di dalam Konsiderans UU No 30 Tahun
2002 Bagian Menimbang, butir a dan b, disebutkan, KPK dibentuk dengan
pertimbangan, waktu itu, ”pemberantasan korupsi belum dapat dilaksanakan
secara optimal” (butir a) dan, ”lembaga pemerintah yang menangani perkara
tindak pidana korupsi belum efektif dan efisien” (butir b).
Kata ”belum”
itulah yang bisa dijadikan alasan untuk mengatakan KPK bersifat ad hoc, dengan arti, jika pemberantasan
korupsi ”sudah optimal” dan kinerja penegak hukum ”sudah efektif dan
efisien”, KPK bisa dibubarkan. Seperti yang sudah saya tulis di Kolom KORAN
SINDO edisi Sabtu, 22 Agustus 2015, dengan judul ”KPK Ad Hoc”, ada sifat ad
hoc pada KPK, tetapi tidak seperti lembaga ad hoc pada umumnya.
Katakanlah KPK
itu ad hoc setengah atau setengah ad hoc. Alasannya, lembaga ad hoc adalah
lembaga yang diberi tugas dan wewenang khusus dalam waktu tertentu. Jadi ada
syarat ”tugas/wewenang khusus” dan ”dalam waktu tertentu”. Contoh yang paling
mudah diingat dalam konteks ini adalah pembentukan Tim Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Waktu itu
Timtas Tipikor dibentuk dengan tugas khusus menangani korupsi kakap di 10
departemen dalam waktu 2 tahun. Setelah waktunya habis, Timtas Tipikor
dibubarkan meskipun tugas-tugasnya belum tuntas. Nah, KPK itu bersifat
setengah ad hoc saja, sebab
meskipun ada tugas/wewenang khususnya, tidak ada ketentuan tentang batas
waktunya.
Tugas/wewenang
khusus KPK adalah menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara
(pejabat) negara, yang menarik perhatian publik, dan yang nilai korupsinya 1
miliar rupiah ke atas. Tidak ada batas waktu untuk keberadaan KPK. Maka itu
sebenarnya, terlepas dari soal ad hoc
atau tidaknya, KPK bisa dipertahankan, tapi bisa juga dibubarkan.
Itu terserah
pada politik hukum kita saja dalam pemberantasan korupsi. Yang sangat perlu
diingat adalah asas, tujuan, dan fungsi hukum yang pada umumnya disepakati
mencakup tiga hal utama, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Mengacu pada hal tersebut, jika dikaitkan dengan kemanfaatan hukum,
keberadaan KPK sangat penting untuk dipertahankan.
Terlepas dari
kelemahan-kelemahannya yang manusiawi, KPK sebagai institusi sudah terbukti
memberikan kemanfaatan yang luar biasa bagi hukum pemberantasan korupsi di
Indonesia. KPK selalu bisa membuktikan dakwaan-dakwaannya di pengadilan,
mulai dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi sehingga banyak koruptor kakap
yang digelandang ke penjara.
KPK disenangi oleh rakyat dan selalu mendapat dukungan publik.
Kalau meminjam istilah fikih Islam, membubarkan KPK itu tidak wajib,
mempertahankan KPK itu sunah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar