Kewajiban dan Hak Bela Negara
Connie Rahakundini Bakrie ; President Indonesia Institute for Maritime
Studies
|
KORAN
SINDO, 15 Oktober 2015
”Sebagai negara, kita
telah tjukup mempunjai pantja indera. Negara ada. Pemerintah ada. Tentara
ada. Rakjat ada. Kalau kita sekarang kita tidak mempunjai keinginan untuk
terus merdeka, samalah artinja dengan jang tidak mau mendjadi manusia
sempurna” (Amanat Panglima Besar
Jenderal Soedirman kepada Anggota Angkatan Perang, 17.08.1948).
Kalimat Jenderal Besar Soedirman di atas menekankan kekuatan ”quadraplehelix” yaitu unsur kekuatan
negara, rakyat, pemerintah, dan tentara yang sudah jauh hari beliau amanatkan
pada bangsa ini.
Dengan mengacupada teorineo-Weberiandan
neo-Marxiantentangteori”state power” di mana jelas peran militer sebagai
pendukung kekuatan negara, peranan politik kaum militer di negara dunia
berkembang sudah merupakan bagian dari negara yang terintegrasi. Dengan
demikian, di negara-negara berkembang keterlibatan militer di luar bidangnya jelas
masih dibutuhkan untuk melaksanakan keamanan internal, utamanya dalam
menciptakan ”nation building”.
Hiruk-pikuk yang timbul terkait Pembinaan Kesadaran Bela Negara
(PKBN) harusnya tidak terjadi jika bangsa ini paham betul bahwa sistem
pertahanan negara dari sebuah negara di mana tentaranya lahir secara istimewa
karena berasal dari dan untuk rakyat atau lebih dikenal sebagai ”people of liberation army” (hanya
empat negara di dunia memiliki model ini: Indonesia, Israel, Aljazair, dan
Vietnam).
Sistem pertahanan jenis ini jelaslah bersifat semesta,
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, sumber daya nasional, wajib
dipersiapkan oleh pemerintah, dan harus diselenggarakan secara total,
terpadu, terarah, serta berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Ancaman Abad Ke-21 yang berkembang bersifat sangat
multidimensional akibat dari proses pergeseran kekuatan dunia dari bipolar
menjadi multipolar yang menciptakan benturan kepentingan bersifat global,
regional, maupun nasional. Dengan begitu, sistem dan strategi pertahanan
negara terus-menerus harus disempurnakan untuk mewujudkan sistem bersifat
semesta untuk mencapai kemampuan mengatasi ancaman dan memiliki efek
penangkalan.
Dalam hal ini jelas diperlukan kekuatan dan kemampuan TNI yang
memiliki mobilitas dan daya gempur tinggi, kemampuan deteksi dan cegah dini,
efek penangkalan, mampu meniadakan setiap ancaman, mampu modernisasi alat
utama sistem senjata, memiliki dukungan anggaran, serta pembangunan dan
pembinaan alutsista.
Tetapi, di Indonesia prasyarat di atas sangatlah dipengaruhi
oleh masalah klasik anggaran pertahanan selain kekaburan kaum sipil sendiri
tentang fungsi, peran, dan makna Sishankamrata. Padahal, keterbatasan alokasi
anggaran merupakan persoalan serius, yang apabila hal ini terus dipelihara
dapat mengakibatkan dampak berlanjut pada tingkat profesionalisme serta
kesiapan postur TNI.
Dengan begitu, suka atau tidak suka, solusi akan perencanaan
alokasi sumber daya pertahanan sebagai penyeimbang dari postur inti
pertahanan negara (TNI) harus kemudian ”terisi” oleh komponen cadangan (national defense reverse). Sebuah
pilihan yang harus diambil untuk memenuhi masalah kesenjangan strategis yang
perlu diantisipasi dengan melibatkan kekuatan rakyat atas terwujudnya
perencanaan tata ruang wilayah pertahanan yang sesuai dengan karakter wilayah
nasional, sifat ancaman, serta konsep perang yang dianut.
Sebagai gambaran, berbasis data World Global Power 2015, seorang prajurit Singapura hanya perlu
meng-cover wilayah seluas 9,7m2, sementara satu prajurit TNI diwajibkan mampu
mengcover wilayah seluas 4 km2. Jika dilihat dari perbandinganjumlah penduduk
terhadap prajurit, satu prajurit Singapura hanya perlu meng-cover 77
penduduk, sementara satu prajurit TNI diwajibkan mampu meng-cover 533 orang
penduduk.
Sayangnya, melahirkan komponen cadangan pertahanan negara di
negeri initidaklahmudah, UU Kamnas tertatih-tatih diperjuangkan sebagai dasar
hukum tersedianya Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung tetap tidak juga
selesai. Karena itu, gebrakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terkait
PKBN yang menargetkan 100 juta kader bela negara militan yang akhir 2019 akan
mencapai angka 67 juta menjadi salah satu solusi dalam ”menyiasati”
kekurangan jumlah prajurit TNI terhadap besaran penduduk dan wilayah NKRI.
PKBN sebenarnya merupakan solusi cepat atas tersendatnya
komponen cadangan dan komponen pendukung dengan membangun kader bela negara
yang memenuhi tiga aspek yaitu memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme
tinggi dalam bernegara, rela berkorban dalam membela negara, serta
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan apa pun.
Nilai-nilai yang ditanamkan dalam PKBN adalah nilai cinta tanah
air, kesadaran untuk berbangsa serta bernegara satu, paham dan setia kepada
Pancasila sebagai ideologi negara. Memiliki desain induk jangka panjang dalam
target menyongsong Satu Abad Indonesia. Program PKBN terbagi atas lima fase
dalam sebuah grand design; 1.
Periode Penataan (2015-2019), 2. Periode Penguatan (2020-2024), 3. Periode
Pemantapan (2025-2029), 4. Periode Pengembangan (2030-2034), serta 5. Periode
Aktualisasi ( 2035-2040).
Program ini bukan saja akan melibatkan Kementerian Pertahanan
sebagai poros utama PKBN, tetapi juga melibatkan peranti lunak
penyelenggaraan PKBN di kementerian dan lembaga terkait baik di Indonesia
maupun di LN. Kaderisasi PKBN versi Menhan Ryamizard ini menjadi menarik
karena melibatkan; Pertama, usia lima hingga 16 tahun untuk program Kader
Muda Bela Negara dengan masa didik 1-3 hari.
Kedua, usia 17 tahun ke atas untuk Pendidikan Lanjutan dengan
masa didik lima hari, serta Ketiga, Kader Pembina Bela Negara dalam masa
didik satu bulan. PKBN mengalokasikan kader sesuai dengan populasi jumlah
penduduk dan dari usia dini ke usia produktif dengan 10 komponen mencakup
kurikulum, peserta pendidikan, tenaga pendidikan, tenaga kependidikan,
fasilitas pendidikan; pusdik, pemda, dan TNI; metode pendidikan, paket
instruksi, dukungan anggaran, dan evaluasi.
Adapun standardisasi militan yang dimaksudkan menhan adalah
pembentukan kader baik melalui Program Reguler (bagi pemula pendidikan bela
negara) ataupun Program Khusus (bagi yang pernah dididik di Lemdik TNI dan
Polri). Apa yang sedang dilakukan oleh Kementrian Pertahanan kiranya sesuai
dengan UUD 45 yaitu mendasarkan pertahanan pada kekuatan bangsa yang sudah
dimiliki yaitu kekuatan rakyat.
Dengan semakin terlena kita meninggalkan kemanunggalan TNI dan
rakyat justru mengakibatkan kekuatan TNI kehilangan ”roh utama”-nya. ”Samalah
artinja dengan jang tidak mau mendjadi manusia sempurna”, demikian kembali
terngiang pesan Jenderal Besar Soedirman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar