Kepala Daerah Hasil Referendum
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 30 September 2015
MENJAWAB beberapa persoalan mendasar dalam UU Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kemarin, Mahkamah
Konstitusi (MK) membacakan dua putusan yang dapat menjadi salah satu tonggak
penting dalam proses demokrasi di daerah. Kedua putusan itu sekaligus menjadi
jawaban penting terhadap ancaman kemacetan pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara serentak di beberapa daerah. Pertama, MK memutuskan bahwa syarat calon
perseorangan dalam UU No 8/2015 tidak sejalan dengan logika warga yang
memiliki hak pilih. Sebelumnya, basis penghitungan yang digunakan untuk
menentukan persentase calon perseorangan ialah jumlah penduduk di daerah yang
bersangkutan. Menurut MK, dasar penghitungan itu tidak benar karena yang
paling tepat dipakai ialah persentase dari jumlah pemilihan tetap yang
ditetapkan KPUD pada pemilu terakhir.
Dengan putusan ini, bila seseorang berniat ikut pilkada
melalui jalur perseorangan, jumlah absolut dukungan yang diperlukan menjadi
lebih rendah. Bagaimanapun, jumlah warga pasti jauh lebih besar ketimbang
warga yang memenuhi persyaratan untuk menggunakan hak pilih. Tanpa keraguan,
basis penghitungan yang digunakan MK tentunya sangat tepat. Putusan ini akan
jadi lebih bermakna lagi jika persentase dukungan juga dijadikan lebih kecil
daripada yang tertera dalam UU No 8/2015.
Kedua, MK juga memutuskan dengan cemerlang ihwal nasib
daerah-daerah yang memiliki calon tunggal, yaitu daerah yang hanya ada satu
pasang calon memenuhi syarat untuk ikut pilkada. Dalam soal ini, MK
memutuskan jika daerah hanya terdapat satu pasang calon setelah berbagai
upaya dicalon, di lakukan agar terdapat calon lebih dari satu pasang tetapi
tetap tidak bisa, pemilihan tetap dapat diteruskan dengan memberi kesempatan
kepada pemilih menentukan sikap terhadap calon tunggal tersebut.
Berdasarkan putusan MK, bila pemilik hak pilih menyatakan
setuju terhadap calon tunggal tersebut, si calon tetap sah sebagai calon
terpilih untuk kemudian dilantik sebagai kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Namun, jika pemilih lebih banyak tidak setuju, pemilihan ditunda ke
periode berikutnya. Penyelesaian ancaman terhadap penundaan calon tunggal ini
dinamakan MK sebagai model penentuan suara rakyat berupa referendum. Putusan
ini benar-benar jadi terobosan terhadap kebuntuan kelanjutan pemilihan karena
cuma terdapat satu pasang calon.
Dalam konteks pilkada, sekalipun dua putusan ini berada
dalam nomor registrasi yang berbeda dan dibacakan dalam waktu yang berbeda
pula, keduanya diajukan ke MK karena berasal sebab yang nyaris sama. Bila
ditelusuri, disadari atau tidak, pembentuk UU lupa memperhitungkan bahwa
pilihan politik memperbesar persentase calon perseorangan menjadi penyebab
utama munculnya calon tunggal. Artinya, Putusan No 60/ PUU-XIII/2015 dan
Putusan No 100/PUU-XIII/2015 ini keduanya menyelesaikan persoalan yang berada
dalam garis yang berimpitan.Bedanya, penurunan syarat dukungan dengan
menggunakan daftar pemilih tetap baru akan berlaku dalam pemilihan serentak
2017.Sementara itu, pola referendum berlaku langsung dalam pemilihan Desember
mendatang.
Tiga catatan penting
Apabila memahami semangat dan membaca substansi Putusan No
60/PUU-XIII/2015 dan Putusan No 100/PUU-XIII/2015, setidaknya terdapat empat
catatan penting terutama putusan yang menggunakan pola referendum. Pertama,
pembentuk UU lalai memperhitungkan kemungkinan adanya ancaman calon tunggal.
Boleh jadi, pembentuk UU sangat optimistis dengan begitu banyaknya peminat
untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
selama ini.
Bila himpunan gagasan dan perdebatan yang terjadi selama
pembahasan UU No 8/2014 dilacak, sekalipun tidak begitu besar, sudah muncul
peringatan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya calon tunggal. Selain
disebabkan manuver parpol, calon tunggal sangat mungkin terjadi di
daerahdaerah dengan petahana sangat populer. Pada titik inilah, untuk sebuah
UU yang sangat jelimet dan ruwet, diperlukan simulasi sebelum tahap
pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah menyetujui bersama sebuah RUU.
Kedua, terbukanya pola referendum bagi calon tunggal dapat
dikatakan sebagai bentuk warning MK terhadap parpol yang dengan se ngaja
bermain-main dengan artinya pengajuan pasangan calon.Sebagai institusi yang
diberi ruang utama untuk mengajukan pasangan calon, pilihan politik untuk
mengajukannya benar-benar telah merusak arti penting parpol dalam proses
pilkada. Oleh karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, warning MK ini menjadi peringatan
penting untuk tidak mempermainkan posisi sentral parpol dalam pengajuan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Banyak kalangan percaya, sekiranya pola referendum ini
tidak diperkenankan dan UU No 8/2014 tidak direvisi, sangat mungkin kebuntuan
calon tunggal kembali akan menjadi jebakan dalam pemilihan serentak 2017.
Dengan Putusan No 100/PUU-XIII/2015, calon tunggal tidak lagi menjadi ancaman
pada masa depan. Bahkan bila dikombinasikan dengan Putusan No
60/PUU-XIII/2015, calon perseorangan menjadi lebih berpeluang maju pada 2017.
Artinya, kedua putusan MK ini berpeluang meningkatkan kualitas pilkada
mendatang.
Ketiga, dengan adanya pola referendum, calon tunggal tidak
bisa berdiam diri menghadapi proses pemilihan. Bagaimanapun, selama menuju
hari H pemungutan suara, calon tunggal tetap harus bekerja keras untuk meraih
dukungan pemilih. Pada titik itu, jika hadirnya calon tunggal juga sengaja
didesain, pemilih memiliki kesempatan untuk memberikan suaranya kepada calon
tunggal. Sesuai dengan putusan MK, bila pemilih lebih banyak tidak memilih
calon tunggal, penundaan tetap akan dilakukan.Mungkin penundaan ini harus
dimaknai sebagai `pasangan lain' oleh calon tunggal. Artinya, pola referendum
tetap mempertahankan unsur pemilihan oleh pemilih.
Terlepas dari catatan tersebut, bagi semua kalangan yang
tidak ingin proses demokrasi di daerah terhambat oleh calon tunggal, putusan
MK ini harus dibaca sebagai salah satu putusan penting dalam menjaga
keberlanjutan proses demokratisasi di daerah. Selamat datang kepala daerah
dan wakil kepala daerah hasil referendum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar