Kedaulatan Energi dan Listrik
Mudrajad Kuncoro ; Guru Besar FEB UGM
|
KOMPAS,
21 Oktober 2015
Pemerintah akan memangkas target proyek pembangkit listrik dari
35.000 megawatt menjadi 16.000 megawatt. Pernyataan Rizal Ramli, Menteri Koordinator
Kemaritiman, ini bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo dan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bersikukuh tetap akan
menjalankan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.
Kontroversi semacam itu jelas "tidak menyejukkan",
kontraproduktif, dan dinilai memberikan sentimen negatif bagi iklim investasi
di Indonesia. Apakah ini cermin dari kebijakan energi nasional yang tidak
jelas arah dan targetnya? Ataukah memang kedaulatan energi dan listrik hanya
cita-cita?
Pertumbuhan
rendah
Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2015 tumbuh 4,67 persen
(year on year), melambat dibandingkan triwulan II-2014 yang tumbuh 5,03
persen.
Pada triwulan I-2015, ekonomi Indonesia tumbuh 4,72 persen.
Pertumbuhan ini didorong oleh semua lapangan usaha kecuali pertambangan dan
penggalian. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh jasa pendidikan yang tumbuh
12,16 persen, diikuti oleh informasi dan komunikasi (9,56 persen), jasa
kesehatan dan kegiatan sosial (8,16 persen), pertanian (6,64 persen), dan
industri pengolahan (4,42 persen). Kendati demikian, sektor pertambangan dan
penggalian mengalami kontraksi tajam atau tumbuh negatif 5,87 persen.
Dengan kata lain, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama
akibat sektor pertambangan yang mengalami pertumbuhan negatif. Ini diperparah
dengan pengadaan listrik dan gas yang tumbuh rendah hanya 0,5 persen.
Anjloknya nilai rupiah, menurunnya semua harga komoditas tambang, serta
tingginya komponen impor bahan baku dan penolong merupakan akar masalah buruknya
pertumbuhan kedua sektor ini.
Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, arah paket kebijakan
ESDM adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menjamin kepastian hukum,
memudahkan investasi, menggerakkan sektor riil, dan memperkuat industri
hilir. Menteri ESDM juga telah mengeluarkan tiga peraturan menteri terkait
pendelegasian wewenang pemberian izin di bidang ketenagalistrikan (Permen
ESDM No 35/2014), bidang migas (Permen ESDM No 23/2015), dan bidang minerba
(Permen ESDM No 25/2015) ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kementerian ESDM memangkas perizinan sampai 60 persen dalam enam
bulan. Jika tahun 2014 ESDM memegang 218 perizinan, sejak awal 2015 jumlah
ini menyusut menjadi 89 perizinan, dengan 63 perizinan telah didelegasikan ke
PTSP di BKPM.
Langkah positif tersebut agaknya belum cukup. Masalah mendasar
energi adalah posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam
beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Dewan Energi Dunia,
Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada 2014. Peringkat itu
melorot tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, Indonesia ada
di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat ke-47.
Indonesia akan terus menjadi net importer minyak jika tidak
melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan minyak baru. Dengan
diimpornya 60 persen kebutuhan BBM nasional dan semakin besar jumlahnya, akan
semakin besar pula ketergantungan Indonesia terhadap harga BBM dunia.
Khusus gas, masalah utama terjadi kenaikan permintaan gas yang
melebihi pasokan. Hingga 2012 memang ekspor lebih banyak daripada kebutuhan
domestik. Namun, dengan tren permintaan gas domestik lebih dari 6 persen per
tahun, sejak 2013 konsumsi domestik melebihi ekspor. Tahun 2014, defisit gas
mencapai 1,773 MMSCF per hari.
Sektor industri, pupuk, dan listrik mulai berteriak kekurangan
pasokan gas di hampir semua provinsi. Sungguh ironis ketika PT Pupuk Kaltim
mengeluh kekurangan gas, padahal LNG Badak berada di kota yang sama. Atau
rakyat Madura yang kekurangan gas ketika tambang gas ada di pulau tersebut.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyadari urgensi masalah
energi ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019,
kedaulatan energi dan ketenagalistrikan masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu
mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik. Kedaulatan energi merupakan sasaran sektor ESDM dengan
target pendapatan pemerintah Rp 1.994 triliun. Total investasi dan pendanaan
pada sektor energi dan sumber daya mineral tahun 2015-2019 ditargetkan 273
miliar dollar AS dengan pendanaan APBN pada Kementerian ESDM Rp 71,5 triliun.
Prioritas
kebijakan
Tidak mudah mewujudkan Nawacita ke-7 ini. Kedaulatan energi
adalah kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaannya,
dan memastikan jaminan ketersediaan energi dengan harga terjangkau dan mudah
diakses, baik rumah tangga, industri, maupun kementerian/lembaga/pemda.
Untuk itu, perlu prioritas kebijakan energi dan
ketenagalistrikan berikut ini.
Pertama, realisasi produksi minyak bumi tahun 2009 sampai tahun
2015 selalu lebih rendah daripada target APBN-P. Akibatnya, makin lama impor
minyak makin tinggi dan kita menjadi net importer minyak. Permasalahan yang
menyebabkan target produksi minyak dan gas bumi tidak tercapai perlu dicari
solusinya.
Kenyataannya, makin sulit mencari minyak dan gas di wilayah
daratan, laut dangkal, dan Indonesia barat dengan biaya rendah. Insentif
berupa pengurangan, apalagi penghapusan, Pajak Pertambahan Nilai untuk
eksplorasi ladang migas baru perlu diterapkan. Insentif fiskal bagi mobil,
bus, truk, serta sepeda motor hibrida dan listrik sudah saatnya dicoba. Di
Inggris dan negara Eropa, tarif pajak untuk moda transportasi berbasis
listrik dan hibrida jauh lebih murah daripada BBM.
Kedua, pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus
diutamakan. Ini perlu karena tanpa domestic obligation yang pasti, industri
dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami oleh sejumlah
provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku. Potensi cadangan
gas yang akan dikembangkan terletak jauh dari pusat konsumen/industri dan
kebanyakan di laut dalam di kawasan timur Indonesia.
Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat: (1) pembangunan
floating storage regasification unit (FSRU) atau terminal LNG yang berada di
lepas pantai untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan, (2)
pembangunan pipa gas dengan total panjang 6.362 kilometer, (3) pembangunan
118 SPBG, serta (4) kontrak jangka panjang batubara sebagai energi primer
PLTU dan pemberian insentif bagi industri batubara yang melambat akibat
melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, India, dan negara mitra dagang
utama.
Debirokratisasi
Ketiga, deregulasi dan debirokratisasi perlu terus dilanjutkan
agar investasi di sektor energi dan listrik bergairah di tengah pelambatan
ekonomi dunia dan nasional. Birokrasi di industri migas pasca UU migas baru
dengan adanya perluasan wewenang Direktorat Jenderal Migas dan dibentuknya
SKK Migas memunculkan berbagai birokrasi tambahan. Langkah Menteri ESDM
memangkas perizinan dan mendelegasikan izin ke PTSP di BKPM perlu diapresiasi
dan dilanjutkan untuk menurunkan "biaya birokrasi".
Keempat, sektor kelistrikan pemerintah harus terus mendorong
pengembangan energi baru dan terbarukan serta mendorong pembangkit listrik
berbasis gas, bukan diesel. Untuk itu, dibutuhkan insentif bagi pembangkit
listrik berbasis gas, surya, angin, air, dan lain-lain dengan memberi
kelonggaran regulasi, insentif fiskal, dan moneter untuk mempercepat kenaikan
rasio elektrifikasi, khususnya di kawasan timur Indonesia dan daerah/desa
tertinggal.
Hingga kini, FSRU baru segelintir serta terpusat di Lampung dan
Jawa Barat. Dengan konsentrasi penduduk dan industri di Jawa dan Sumatera,
perluasan jalur pipa gas hingga pelosok desa mutlak diperlukan. Kawasan timur
Indonesia butuh lebih banyak FSRU dengan jaringan LNG mengambang berbasis tol
laut.
Kelima, perlu sinergi kebijakan energi dengan kebijakan industri
dan BUMN. PGN, Pertamina, Pelindo, dan PLN perlu menyusun peta jalan agar tak
berebut "kue" di hulu dan hilir sektor energi, listrik, dan
distribusinya. Strategi coopetition, yaitu mengawinkan strategi bekerja sama
dan sekaligus bersaing di industri hulu dan hilir energi, amat relevan agar
perusahaan pelat merah menomorsatukan kepentingan nasional. Alternatifnya,
barangkali perlu dijajaki merger antara BUMN di bidang energi, khususnya PGN
dan Pertamina ataupun Pelindo dan PLN, mengingat kesamaan jenis bisnis dan
sinergi yang meningkatkan jika perusahaan pelat merah "dikawinkan".
Percepatan pembangkit listrik 35.000 MW perlu dilakukan dengan
program aksi dengan target yang jelas. Sudah tidak saatnya berwacana,
mulailah bekerja. Semoga kedaulatan energi dan listrik bukan hanya cita-cita,
melainkan menjadi realitas yang dinanti rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar