Izin Pemeriksaan Anggota DPR
Irfan Nur Rachman ; Peneliti pada Mahkamah Konstitusi RI
|
KOMPAS,
05 Oktober 2015
Pada 22
September 2015, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 76/PUU XII/2014 telah
merekonstruksi mekanisme pemeriksaan anggota DPR. Semula, berdasarkan Pasal
245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3), pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ketentuan ini kemudian
dinyatakan MK inkonstitusional bersyarat sepanjang frase "persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan" tidak dimaknai
"persetujuan tertulis dari Presiden".
Artinya, pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Dalam konteks inilah MK telah merekonstruksi mekanisme "izin MKD"
menjadi "izin Presiden".
Setidaknya terdapat tiga hal
yang menjadi pertimbangan hukum mengapa MK menetapkan pemeriksaan anggota DPR
perlu mendapat izin Presiden.
Esensi persetujuan tertulis
Pertama, sebagaimana diatur
dalam Pasal 20A UUD 1945, anggota DPR mempunyai hak interpelasi, angket,
menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat,
serta imunitas. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR harus
diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional sehingga
anggota DPR tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada
saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan
konstitusionalnya.
Hal itu juga merupakan politik
hukum (legal policy)
pembentuk undang-undang yang mengonstruksikan upaya perlindungan bagi pejabat
negara agar tidak mudah dikriminalisasi. Ada beberapa jabatan yang
mensyaratkan persetujuan tertulis Presiden, seperti hakim Mahkamah Agung,
hakim Mahkamah Konstitusi, pimpinan dan anggota BPK, serta pimpinan dan
anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. Hal ini berbeda dengan jabatan kepala
daerah yang sudah tidak memerlukan persetujuan tertulis Presiden pada tahap
penyelidikan dan penyidikan karena, meski tindakan hukum ini mungkin
mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, tidak
ada halangan bagi yang bersangkutan untuk menjalankan tugas. Namun, jika
kepala daerah akan ditahan, persetujuan tertulis dari Presiden diperlukan.
Memang dalam amar putusan
Nomor 73/PUU-IX/2011, MK membatalkan Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2) UU
Pemda yang mengatur persetujuan tertulis Presiden bagi kepala daerah. Namun,
dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan masih perlu persetujuan tertulis
Presiden untuk proses penahanan karena tindakan hukum itu akan mengganggu dan
menghambat tugas menjalankan pemerintahan daerah. Dengan demikian, sejatinya
persetujuan tertulis dari Presiden dalam pemeriksaan kepala daerah masih
diperlukan jika ada penahanan.
Kedua, persyaratan persetujuan
tertulis dari MKD dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di
hadapan hukum dan pemerintahan. Lagi pula, hal ini dipandang tidak tepat
karena MKD, meskipun disebut "mahkamah", sesungguhnya adalah alat
kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik dan tidak memiliki hubungan
langsung dalam sistem peradilan pidana.
Proses pengisian anggota MKD
yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan menimbulkan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, menurut MK, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR
yang akan disidik harus dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai
kepala negara dan bukan oleh MKD. Oleh karena itu, putusan MK yang
merekonstruksi izin anggota DPR-semula kewenangan MKD menjadi kewenangan
Presiden-sudah tepat.
Ketiga, dalam upaya menegakkan
mekanisme checks and balances antara pemegang kekuasaan legislatif
dan pemegang kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, MK berpendapat bahwa izin
tertulis a quoseharusnya berasal
dari Presiden dan bukan dari MKD.
Adanya persyaratan izin atau
persetujuan tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR dipanggil dan
dimintai keterangan dalam konteks adanya dugaan tindak pidana diharapkan, di
satu pihak, tetap dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai anggota
DPR. Di lain pihak, tetap menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin UUD 1945.
Meski demikian, tindakan
penyidikan yang dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU MD3 yang
memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut harus diterbitkan
dalam waktu yang singkat. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan proses hukum
yang berkeadilan, efektif, efisien, serta menjamin kepastian hukum.
Oleh karena Pasal 245 Ayat (1)
telah diubah oleh MK, dalam membaca dan memaknai Pasal 245 Ayat (2),
frase "Mahkamah Kehormatan Dewan" harus dimaknai
"Presiden". Maka, apabila Presiden tidak memberikan persetujuan
tertulis paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan;
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan tetap dapat dilakukan.
Dengan demikian, putusan MK telah menjamin adanya kepastian hukum atas
pemanggilan dan penyidikan terhadap anggota DPR.
Rekonstruksi yang dilakukan MK
untuk memosisikan persetujuan tertulis yang semula merupakan kewenangan MKD
menjadi kewenangan Presiden tak diperlukan manakala anggota DPR tertangkap
tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak
pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, dan disangka
melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
Oleh karena itu, putusan MK ini
hendaknya tidak dimaknai sebagai upaya menghambat penegakan hukum, terlebih
dianggap sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi dan upaya menghambat
kinerja KPK. Di sisi lain, putusan inkonstitusional bersyarat MK terhadap
Pasal 245 Ayat (1) mesti dipandang sebagai tindakan proporsional untuk
menjaga keluhuran martabat anggota DPR sehingga mereka dapat dengan tenang
menjalankan tugas dan wewenang konstitusionalnya.
Konsekuensi hukum apabila MK
membatalkan Pasal 245 Ayat (1) adalah tidak ada mekanisme yang mengatur
mekanisme penyidikan terhadap anggota DPR. Hal ini tentu berpotensi menjadi
bola liar yang mereduksi kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan
terhadap anggota DPR sebagai jabatan negara karena diperlakukan berbeda
dengan jabatan lain, misalnya hakim Mahkamah Agung, hakim Mahkamah
Konstitusi, pimpinan dan anggota BPK, serta pimpinan dan anggota Dewan
Gubernur Bank Indonesia, meski ada perbedaan kapan dan pada tahap mana
persetujuan tertulis diberikan Presiden kepada pejabat negara.
Pengaturan proses penyidikan
khususnya terkait dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden
juga harus diberlakukan bagi anggota MPR dan anggota DPD. Sementara
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRD
provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota yang disangka melakukan tindak
pidana harus mendapat persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri dan bagi
anggota DPRD kabupaten/kota harus mendapat persetujuan tertulis dari
Gubernur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar