Hukum Efek II
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 11 Oktober 2015
Pernah melihat anjing kelaparan yang diberi makan oleh
majikannya? Dia meloncat-loncat kegirangan sambil air liurnya bercucuran.
Ini terjadi pada setiap anjing di mana pun dan kapan pun. Tidak
ada yang aneh dalam gejala ini. Tetapi pada suatu saat di Rusia ada seorang
peneliti ilmu faal, bernama Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) tertarik untuk
meneliti gejala yang tidak ada anehnya ini. Maka dia bawa seekor anjing ke
laboratoriumnya dan dia pasangkan suatu alat tertentu untuk mengukur air liur
si anjing.
Pertama sekali dia namakan makanan yang menimbulkan selera
anjing dengan nama unconditioned stimulus (US) alias rangsangan tanpa syarat
dan air liur yang bercucuran menyertai makanan itu disebutnya unconditioned response (UR) atau
reaksi tak bersyarat, karena kedua hal itu terjadi tanpa syarat apa pun.
Kemudian dia bunyikan bel setiap kali sebelum makanan disajikan.
Awalnya anjing tidak bereaksi apa pun ketika bel berbunyi,
tetapi liur melimpah ketika makanan tersaji. Tetapi setelah berkali-kali
secara konsisten bel dibunyikan setiap kali sebelum makanan tersaji, lama
kelamaan anjing sudah berliur duluan, padahal makanan sama sekali belum
muncul. Liur terhadap bunyi bel itu disebut oleh Pavlov sebagai conditioned response (CR) atau reaksi
bersyarat, dan bel itu sendiri disebut conditioned
stimulus (CS) alias rangsang bersyarat.
Disebut bersyarat karena hanya anjing-anjing yang sudah memenuhi
syarat yang bisa bereaksi seperti itu. Syaratnya adalah anjing-anjing itu
sudah melewati proses tertentu yang oleh Pavlov dinamai proses conditioning. Proses conditioning itulah yang terjadi pada
Blacky, anjing milik Bu Sastro. Setiap kali terdengar suara motor ojek,
Blacky sudah meloncat-loncat kegirangan sambil air liurnya tumpah ke
mana-mana karena ia sudah mengantisipasi tulang yang akan dibawakan Bu Sastro
yang pulang naik ojek itu.
Antisipasi itu adalah hasil belajar (conditioning) yang terjadi pada Blacky. Penelitian Pavlov ini
kemudian menarik perhatian banyak peneliti lain, termasuk Edward Lee
Thorndike (1879-1949), seorang psikolog Amerika. Dia kemudian mengamati
bagaimana efek proses conditioning
ini. Ternyata, jika sebuah CS tertentu selalu diikuti dengan US yang positif
(disebut ganjaran atau reward, misalnya makanan), maka CR makin lama makin
diperkuat.
Sebaliknya kalau CS selalu diikuti oleh US yang negatif
(misalnya bel diikuti kejutan listrik) maka anjing itu justru akan
menghindari US yang bersifat punishment itu. Oleh Thorndike, kesimpulan ini
disebutnya sebagai Hukum Efek. Kemudian John B Watson (1878-1858), seorang
murid Thorndike, mengukuhkan Hukum Efek ini sebagai dasar dari aliran
psikologinya (yang khas Amerika) yaitu behaviorisme.
Behaviorisme percaya bahwa semua perilaku, kepribadian manusia,
bahkan moral dan kebudayaan, dasarnya adalah hukum efek. Seseorang menjadi
penakut, misalnya, karena sejak kecil ia selalu ditakut-takuti, sedangkan
seorang yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya akan menjadi orang yang
percaya diri. Demikian pula bahasa, yang menurut Watson adalah hasil
conditioning sejak masa kecil.
Karena itu, menurut Watson, nilai dan moral (termasuk agama)
adalah juga hasil conditioning
sejak masa kecil masing-masing. Hukum rajam, misalnya, biasa-biasa saja di
Arab Saudi sana, tetapi jangan harap terjadi di Indonesia karena memang di
Indonesia tidak pernah ada sejarah hukum rajam.
Jadi, menurut hukum efek, conditioning
dulu yang terjadi, dan kebiasaan yang berkembang akan diinternalisasikan dan
akan dilanjutkan sebagai perilaku walaupun rangsang tak berkondisinya sudah
tidak ada lagi. Dalam kasus Blacky, anjing itu akan tetap saja
meloncat-loncat sambil berliur-liur walaupun majikannya tidak membawa tulang,
bahkan kalau itu bukan bunyi ojek majikannya, melainkan ojek lain yang
membawa tetangga.
Di sisi lain, kebanyakan orang awam justru percaya bahwa norma
atau moral dulu yang harus ditanamkan kepada anak, sehingga kelak jika dewasa
otomatis dia akan berperilaku normatif. Seorang anak, misalnya diajari oleh
orang tuanya bahwa anak yang baik adalah anak yang rajin belajar dan rajin
salat.
Maka anak itu dipaksa belajar atau dipaksa salat. Kalau perlu
dihukum (dimarahi, dicubit, atau dikunci di kamar mandi). Makin anak menangis
makin keras hukumannya. Si ibu mengira bahwa itulah cara terbaik untuk
membina moral anak. Tetapi dari kacamata hukum efek justru belajar atau salat
itu diasosiasikan dengan hukuman, bukan ganjaran. Akibatnya terjadi proses conditioning yang negatif. Anak makin
malas belajar dan salat. Begitu juga dalam revolusi mental.
Bangsa ini memerlukan perubahan mental sehingga semua orang
lebih tertib, disiplin, tidak mengamalkan jam karet, melayani dengan
sebaik-baiknya, saling menghargai, jujur, antikorupsi, dan sebagainya.
Menurut hukum efek akan siasia saja kalau metodenya dari mental (pelajaran
budi pekerti, pelatihan Pancasila, atau pendidikan agama) ke perilaku. Metode
ini akan menghasilkan orang-orang yang normatif (bicara baik), tetapi
kelakuan tetap saja nol (tetap saja korupsi, malas bekerja, maksiat, dsb).
Revolusi mental harus dimulai dari periferi (pinggir), dengan
memaksakan perilaku yang benar dengan berbagai instrumen (termasuk penegakan
hukum). Intinya, biasakan yang benar, bukan membenarkan yang sudah biasa.
Sukses PT KAI adalah contoh konkret sebuah revolusi mental yang berhasil
tanpa melalui proses mental itu sendiri. Cukup melalui proses conditioning
saja.
Semua kebiasaan jelek (penumpang di atap kereta api, penumpang
tidak membayar, tidak mau antre, PKL naik ke gerbong dll) lenyap hanya dalam
waktu 1-2 tahun. Semua yang sekolah atau tidak sekolah, yang salat atau tidak
salat, pokoknya berperilaku tertib dan disiplin sesuai aturan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar