Hijrah Satyagraha
Fathorrahman Ghufron ; Dosen Sosiologi Fakultas Hukum dan Syariah
UIN Sunan Kalijaga; A’wan
Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS,
13 Oktober 2015
Tercatat dalam sejarah bahwa hijrah (migrasi)
yang dilakukan Nabi Muhammad adalah untuk menghindar dari tindakan barbar
kaum Quraisy. Mereka setiap saat memaki, menghujat, bahkan tanpa segan
menyiksa Nabi Muhammad beserta pengikutnya dengan perilaku yang otoritarian (Philip K Hitti, History of The Arabs).
Di tengah masifnya intimidasi kaum Quraisy
yang menolak ajaran Nabi Muhammad SAW, pilihan yang selalu diambil oleh Nabi
Muhammad adalah menyikapinya dengan kepala dingin dan sikap persuasif. Berkat
kesantunan dan kelembutannya menerima kenyataan pahit, banyak orang Arab yang
bersedia mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW dan terlibat di setiap perjuangan
menjalankan ajaran Islam.
Kota Yatsrib yang kala itu tengah dirundung
konflik antara suku Aws dan Khazraj menjadi pilihan lokasi untuk melanjutkan
perjuangan dengan cara nir-kekerasan. Semangat persatuan yang dibangun Nabi
Muhammad tanpa memandang latar belakang suku, ras, dan agama berhasil
menjadikan kota Yatsrib sebagai wilayah yang berperadaban (tamaddun). Dalam
perkembangannya, kota Yatsrib disebut sebagai Madinah yang menunjukkan adanya
pijar keberadaban.
Interrelasi kemanusiaan yang disematkan Nabi
Muhammad jadi raison d’etre yang melampaui sekat geografis,
teologis, dan sekat tribalistik. Lambat laun, cara ini membentuk biduk
peralihan asimilatif dan akulturatif antargolongan dan berpartisipasi secara
proaktif dalam membangun Madinah sebagai karakteristik yang heterogen.
Berbagai kelompok dengan sistem kepercayaan yang berbeda-beda tanpa segan
berbaur dalam ikatan kemanusiaan untuk saling menghargai dan saling memahami.
Itulah cara Nabi Muhammad membangun konsep
hijrah satyagraha (perjuangan tanpa kekerasan) yang melempengkan hubungan
geografis antara Mekkah dan Madinah dalam perasaan yang sama, yaitu rasa
memiliki dan bertanggung jawab atas lestarinya kehidupan yang damai (salam).
Purifikasi identitas
Satu hal yang perlu dicatat juga dari
perjalanan hijrah Nabi Muhammad bahwa kehendak untuk meninggalkan tempat
muasal tidak patut disertai dengan kemarahan. Meskipun kondisi Mekkah yang
begitu karut-marut dan menjadi hambatan luar biasa bagi Nabi untuk
menyampaikan nilai-nilai kebenaran kepada umatnya, tak sedikit pun Nabi
menaruh dendam terhadap tanah kelahiran dan garis nasab- nya.
Bahkan, dalam satu riwayat, Nabi pernah menyatakan ”ana fakhirun bi
quraisyin”, yang bermakna ”saya tetap bangga menjadi orang Quraisy”.
Spirit nir-kekerasan dan kedamaian selalu
dijadikan rujukan Nabi dalam memperlakukan identitas nasabiyah dalam
solidaritas mekanisnya yang tetap diakui di satu sisi dan membangun biduk
kehidupan yang melintas batas kesukuan, ras dan keyakinan dalam solidaritas
organis yang mengeratkan persaudaraan antarberbagai kelompok.
Dalam konteks ini, tentu bukan perkara mudah
tetap mengekspresikan kebanggaan terhadap ikatan kesukuannya, yang secara
nyata telah menjadi bagian dari realitas kebiadaban yang dilakukan oleh
orang-orang yang ada di dalamnya. Namun, Nabi Muhammad tetap menunjukkan
kesantunannya dalam menghargai garis keturunan yang bermuasal dari suku
Quraisy. Hal ini menjadi mungkin tersebab oleh spirit kedamaian dan cara
nir-kekerasan yang dilakukan Nabi dalam menjalankan perjuangannya mengemban
ajaran kebenaran.
Spirit kedamaian dan cara nir-kekerasan itu
membentuk sebuah purifikasi identitas yang meneguhkan dua unsur. Pertama,
kekuatan beradaptasi untuk merespons dengan baik setiap perbedaan cara
pandang antarindividu ataupun kelompok dalam memahami ajaran yang dijalankan
dan beradaptasi terhadap perubahan realitas sosial yang jadi arena penyebaran
ajaran Nabi. Kedua, kekuatan identitas untuk mengintegrasikan berbagai ras,
suku, agama dalam satu ikatan kebangsaan seperti yang dilakukan di Madinah
dan mengonsolidasikan berbagai pola hubungan sosial agar hidup dalam perasaan
yang sama, yaitu spirit perdamaian.
Dengan pendekatan ini, merujuk pada pandangan
Abdelmajid Sharfi dalam buku Islam Between Divine Message and History,
Nabi Muhammad mampu menampilkan karakteristik kenabian yang sungguh-sungguh
menjalankan pesan ketuhanan dengan penuh kesabaran dan ketegaran demi
bersemainya nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan manusia. Ini sekaligus
karakterisik kesejarahan yang menyilangkan budaya antarkelompok berdasarkan
bangunan identitas yang melekat pada masing-masing orang.
Pada titik ini, hijrah satyagraha yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW jadi momentum profilerasi ajaran kebenaran
yang tak sekadar mengibarkan pesan ketuhanan, tetapi juga meliputi semangat
kemanusiaan yang memiliki hak rerata dalam menjunjung identitasnya sebagai
pihak yang patut memperoleh kedamaian dan pengakuan.
”Lesson learn”
Gelombang pengungsi Suriah dan beberapa negara
Timur Tengah yang begitu masif menyebar ke sejumlah negara di Eropa
sebenarnya memiliki kemiripan motif. Para pengungsi yang bermigrasi ke satu
tempat itu disebabkan kekacauan sosial yang penuh dengan perilaku intimidasi,
penyiksaan, dan bahkan pembunuhan di daerah asalnya.
Pilihan para pengungsi Suriah untuk tidak
bertahan di daerahnya yang dilanda
konflik dan aneksasi antarkelompok makar,
sekaligus menolak untuk tidak terlibat dalam lingkaran perang saudara yang
tak jelas juntrung penyebabnya, mencerminkan sikap perjuangan tanpa
kekerasan. Bagi para pengungsi, mencari tempat lain yang bisa memberikan
penghidupan yang lebih damai adalah solusi terbaik dalam situasi yang serba
pelik.
Semangat juang tanpa kekerasan yang ditempuh
pengungsi Suriah tentu patut diapresiasi dan harus dilindungi oleh semua
pihak. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang memperoleh perlindungan dari banyak
pihak di Yatsrib, sekaligus dirangkul sebagai bagian dari umat manusia yang
harus difasilitasi tempat tinggalnya, pengungsi pun harus diperlakukan
manusiawi oleh negara yang menjadi tujuannya.
Sebab, tidak mudah melakukan hijrah dengan
spirit kejuangan tanpa kekerasan di saat bersamaan mereka harus merelakan
tanah kelahiran dan berbagai modal lainnya ditinggalkan untuk menemukan
tempat lain yang tidak jelas juga juntrung perlindungannya. Bagi mereka,
hijrah bisa jadi adalah kecelakaan sejarah yang memang harus dilalui. Namun,
dari kondisi ini ada harapan blessing in disguise yang bisa
mengantarkan mereka pada takdir yang lebih baik daripada kehidupan
sebelumnya.
Meski demikian, bila suatu saat sudah
menemukan ruang penghidupan yang lebih menjanjikan di tempat barunya,
pengungsi tak boleh melupakan akar identitas sebagai bagian dari orang
Suriah. Sebab, bisa jadi hijrah yang penuh kejuangan tanpa kekerasan ini
hanyalah peralihan sementara untuk membangkitkan energi baru yang bermanfaat
bagi terciptanya semangat persatuan dan perdamaian di bumi Suriah dan negara
Timur Tengah lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar