Freeport dan Masa Depan Investasi
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS,
19 Oktober 2015
Permasalahan krusial yang menghadang perekonomian Indonesia saat
ini bukan sekadar pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tantangan yang paling
mengkhawatirkan adalah potensi penciptaan lapangan kerja yang terkikis akibat
penurunan kinerja sektor riil. Sampai dengan triwulan III-2015 disinyalir
telah terjadi pemutusan hubungan kerja. Padahal, kontributor penggerak
ekonomi terbesar adalah konsumsi rumah tangga. Artinya, jika sumber
pendapatan masyarakat terganggu, hampir bisa dipastikan daya beli masyarakat
juga akan ikut menurun.
Oleh karena itu, memacu sektor produksi sekaligus menggeser
dominasi kegiatan konsumtif melalui peningkatan investasi memang harus segera
dilakukan, terutama dengan mendorong industri yang berbasis pengolahan sumber
daya alam. Kiblat kebijakan industri harus digeser dari industri berbahan
baku impor ke hilirisasi industri, baik hilirisasi berbasis sektor pertanian,
perkebunan, perikanan, kehutanan, peternakan, maupun pertambangan.
Sejauh ini, pemerintah telah mengeluarkan empat paket kebijakan
stimulus untuk mendongkrak investasi. Selain agar Indonesia tidak hanya
bergantung pada ekspor komoditas, hal itu tentu untuk membangun industri hulu
dan hilir yang kuat.
Untuk itu, mendorong investasi yang mengolah hasil tambang
merupakan investasi yang sangat penting. Pertumbuhan industri dasar akan
menjadi pijakan Indonesia untuk menuju negara industri yang kuat. Melalui
industrialisasi, kekayaan sumber daya alam tidak sekadar dieksploitasi,
tetapi juga mampu menciptakan nilai tambah dan lapangan kerja yang berujung
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Guna mewujudkan target pembangunan dan menjaga kepentingan
nasional tersebut, pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk hukum
sebagai panduan kegiatan investasi di Indonesia. Produk undang-undang yang
mengatur pengelolaan sumber daya alam di antaranya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang antara
lain mengamanatkan ekspor bahan mentah tidak lagi diizinkan. Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Minerba Pasal 7c mengamanatkan pembatasan kepemilikan saham
asing, yakni maksimal 75 persen untuk eksplorasi dan 70 persen untuk
produksi. Implikasinya, pemegang kontrak karya wajib melakukan divestasi
saham. PP itu juga mensyaratkan permohonan perpanjangan kontrak minerba baru
dapat diajukan perusahaan terkait paling cepat dua tahun sebelum kontrak
berakhir.
Atas amanat beberapa regulasi tersebut, sudah sewajarnya
pemerintah merenegosiasi perjanjian kontrak karya dengan PT Freeport
Indonesia yang mendapatkan konsesi kontrak karya untuk 30 tahun sejak 1991.
Renegosiasi dalam perjanjian kontrak karya jangka panjang merupakan hal yang
wajar. Sebab, dalam jangka panjang, tentu terjadi dinamika dalam lingkungan
strategis bisnis, baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun
internal. Apalagi jika terjadi perubahan regulasi. Semua regulasi merupakan
produk hukum yang mengikat semua pemangku kepentingan, termasuk kewajiban
para investor.
Freeport Indonesia, sebagai salah satu perusahaan asing pemegang
izin pertambangan terbesar di Indonesia, tentu juga menjadi subyek hukum dari
regulasi yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
perpanjangan kontrak karya, Freeport Indonesia juga harus memenuhi beberapa
persyaratan yang telah diatur perundang-undangan di Indonesia. Paling tidak
ada empat hal yang harus dipenuhi, yakni wajib memurnikan mineral dengan
membangun sarana pemurnian (smelter) sesuai amanat UU Minerba dan
mendivestasi saham pemegang kontrak karya sebesar 30 persen seperti
diwajibkan PP No 77/2014. Pelepasan saham Freeport dapat dilakukan bertahap,
yang menurut rencana sebesar 10,64 persen pada 2015. Adapun kepemilikan
Pemerintah Indonesia di Freeport saat ini 9,36 persen saham.
Selain itu, Freeport Indonesia juga harus memenuhi standardisasi
pengelolaan lingkungan dengan pengelolaan limbah yang baku. Mengambil contoh
di Amerika Serikat, BP yang menumpahkan minyak di Teluk Meksiko dihukum
membayar 30 miliar dollar AS.
Yang tak kalah penting, Freeport Indonesia perlu mewujudkan
investasi yang berkeadilan. Sejak 1967 hingga 2014, Freeport hanya membayar
royalti emas sebesar 1 persen dan royalti tembaga sebesar 0,5 persen. Besaran
royalti ini dinilai kecil karena pemberian royalti di negara lain bisa
mencapai 6 persen hingga 7 persen. Sebagai perusahaan multinasional, tentu
Freeport Indonesia juga harus menyesuaikan kelaziman praktik pemberian
royalti yang telah berlaku secara standar di dunia internasional.
Jika Indonesia mampu melakukan penegakan hukum atas semua
regulasi yang telah ditetapkan sebagai payung hukum tersebut, konsistensi dan
kepastian hukum di Indonesia akan tercipta. Dengan demikian, ke depan akan
tercipta keadilan bagi para investor. Kondisi demikian akan menggairahkan
dunia investasi di Indonesia dan mendorong masuknya investor ke Indonesia,
terutama di sektor pertambangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar