Format Baru Penanggulangan Terorisme
Hermawan Sulistyo ; Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional
Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya; Eksponen Investigasi Bom Bali I
|
KOMPAS,
15 Oktober 2015
Tak terasa 13 tahun telah berlalu sejak terjadi peristiwa bom
Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002. Kini, banyak yang sudah lupa akan
peledakan bom dengan magnitudo yang luar biasa tersebut. Bom Bali I adalah
peristiwa terorisme terbesar pertama sejak peledakan gedung WTC dua tahun
sebelumnya, yang kemudian disebut 9/11.
Setelah kejadian bom Bali tersebut, kembali terjadi peledakan
bom di Bali, tetapi dengan intensitas yang lebih rendah. Karena dua peristiwa
teror bom Bali itu, keduanya diberi denominasi bom Bali I dan bom Bali II.
Bom Bali I telah mengubah wajah Indonesia di dunia internasional, mengubah
cara pandang dan strategi pemerintah dalam menangani terorisme, dan mengubah
nasib Polri secara drastis.
Sebelum bom Bali I, Polri adalah "bekas adik tiri" TNI
yang dipandang sebelah mata oleh berbagai kalangan, termasuk para aktivis civil society yang pro demokrasi.
Mereka menafikan fakta bahwa justru atas dorongan merekalah Polri berubah
dari sebuah institusi militer menjadi institusi sipil untuk memenuhi norma
penyelenggaraan negara modern yang demokratis.
Peran koordinatif
Sebelum bom Bali I, Polri tampil terseok-seok, miskin tak punya
anggaran, tidak bergengsi sama sekali, dan dilecehkan di semua sektor.
Ibaratnya, dijadikan pramuka tidak mau, dijadikan tentara tidak mampu. Oleh
karena itu, tidak ada yang percaya polisi mampu menangani bom Bali I secara
profesional. Polri saat itu baru memiliki satuan tugas (satgas) bom yang
kecil, yang kemudian tumbuh menjadi Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88
AT).
Bahkan, setelah kasus bom Bali I selesai pun masih ada pihak
yang tak percaya bahwa anggota-anggota Polri sendiri yang menangani proses
investigasi hingga terbongkar. Banyak yang percaya, keberhasilan penanganan
bom Bali I itu karena peran Kepolisian Australia (AFP) dan FBI Amerika
Serikat. Saya kebetulan saksi sejarah atas kemampuan Polri saat itu.
Kini, secara umum ancaman terorisme telah berhasil dikendalikan
oleh aparat keamanan. Setelah bom Bali I, Polri membentuk Densus 88 AT dari
sebuah unit satgas bom yang tak signifikan. Densus 88 AT mengalami jatuh
bangun dalam perkembangannya, khususnya ketika terjadi dualisme dengan
"satgas" khusus yang dibentuk Polri. Mereka menangani kasus-kasus
yang sama.
Sementara itu, ketiga matra TNI lain juga membentuk,
mengembangkan, dan memapankan unit-unit khusus yang diarahkan pada penanganan
terorisme. TNI AD memapankan Detasemen 81 Penanggulangan Teror (Den 81
Gultor) di bawah Kopassus, tetapi relatif otonom dari induknya. Unit ini
produk langsung dari kasus pembajakan pesawat Garuda Indonesia Woyla di Thailand.
Sementara TNI AL meningkatkan kemampuan Detasemen Jala Mangkara (Den Jaka)
dan TNI AU memapankan Den Bravo.
Sekalipun kemampuan keempat detasemen itu tak diragukan lagi,
sifat rahasia dan ketertutupan mereka menyebabkan sulit mengukur
akuntabilitas publik jika terjadi kasus terorisme. Publik, misalnya, disodori
berbagai pemberitaan tentang kasus terorisme berupa pembajakan dan perompakan
kapal berbendera Indonesia dan berawak warga negara Indonesia (WNI) di
Somalia. Penanganan dan pembebasan sanderanya luput dari akuntabilitas
publik, padahal seharusnya membanggakan.
Namun, isu eksistensi dan operasional keempat detasemen itu
justru menjadi masalah klasik, terutama dalam hal koordinasi. Pada tingkat
kelembagaan, pemerintah memang sudah membentuk Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) yang dipimpin oleh jenderal bintang tiga. Namun, BNPT masih
belum sepenuhnya mampu mengatur overlapping tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
satuan-satuan khusus tersebut.
Jika terjadi lagi "kecolongan aparat" dengan munculnya
kasus terorisme besar, seperti bom Bali I, mungkin sekali keempat unit khusus
anti teror tersebut akan overlapping penanganan atau bahkan mungkin saling
lempar tanggung jawab. Pada kasus hipotetis seperti itu, BNPT dapat mengambil
peran koordinatif yang efektif dan memenuhi norma penyelenggaraan
pemerintahan demokratis ataupun norma universal, antara lain sebagai berikut.
Pertama, pemilahan fungsi dan pembagian tugas didasarkan pada
kategori korban, pelaku, dan lokasi kejadian (TKP). Jika semua korban dan
pelaku adalah WNI dan peristiwa terorisme terjadi di wilayah hukum RI,
seluruh penanganan dilakukan oleh polisi. TNI tidak perlu ikut campur karena
persoalan akuntabilitas di dunia internasional dan Densus 88 AT punya
kemampuan untuk tugas ini.
Kedua, jika TKP di dalam negeri RI, tetapi ada warga negara
asing yang terlibat sebagai pelaku ataupun korban, leading sector penanganan adalah Polri dengan bantuan atau
dukungan (BKO) TNI. Bantuan TNI diperlukan mengingat hadirnya unsur asing
yang dapat dikategorikan masuk dalam ranah pertahanan sesuai amanah Pasal 30
UUD 1945.
Ketiga, jika TKP di luar wilayah hukum RI, tetapi melibatkan
pelaku atau korban WNI, leading sector penanganannya pada TNI dengan BKO dari
Polri. Kasus perompakan kapal di Somalia dengan korban WNI adalah contoh
gamblang. Jika saja waktu itu penanganan gagal, mungkin akan saling lempar
tanggung jawab.
Alasan akuntabilitas
Polri dilibatkan dalam semua kategori kasus karena alasan
akuntabilitas investigasi dan penyelesaian hukum. Betul bahwa terorisme
merupakan extraordinary crime
(kejahatan luar biasa), tetapi "it
is still a crime". Terorisme tetap saja tindak kejahatan sehingga
penanganannya perlu akuntabilitas hukum.
Konsekuensi dari status terorisme sebagai tindak kejahatan adalah
akuntabilitas penanganan melalui kerja
dan bukti forensik. Pada kasus bom Bali I, saya didatangi lima duta besar
yang warganya jadi korban. Mereka menegaskan, kalau kerja polisi Indonesia
tidak bisa dipertanggungjawabkan, pemerintah mereka akan mengambil tindakan
tegas.
Konstitusi negara mereka mewajibkan perlindungan mutlak bagi
warga negaranya. Pada kasus ekstrem, dimungkinkan untuk melakukan investigasi
sendiri. Jika kesimpulannya adalah tersangka berbeda dari temuan polisi
Indonesia, mereka akan "mencomot sendiri" tersangka versi mereka,
bahkan kalau perlu perang dengan Indonesia.
Memang tidak mudah syarat rules of engagement untuk suatu perang
dari kasus terorisme yang terpenuhi. Waktu itu, saya juga tak percaya
kemungkinannya akan sampai sejauh itu. Namun, tetap saja opsi yang mereka
ancamkan merupakan sesuatu yang bukan mustahil terjadi.
Pekerjaan untuk mendapatkan jejak dan bukti forensik adalah
fungsi kepolisian universal. Di negara tertentu, fungsi ini ditopang oleh
lembaga forensik independen. Netherlands Forensic Institute di Belanda,
misalnya, yang pernah menemukan jejak forensik peracunan Munir sekalipun
kasusnya menguap ke langit.
Pembagian fungsi seperti ini juga dilakukan oleh Jerman. Satuan
khusus anti teror mereka, yaitu GSG-9, salah satu unit khusus anti teror
terbaik di dunia, adalah unit kepolisian perbatasan Jerman. Namun, GSG-9 tak
memonopoli tupoksi unit anti teror. Mereka justru melatih unit-unit serupa di
bawah militer. Dengan pembagian
tupoksi tersebut, setiap unit bisa lebih fokus. Setiap detasemen juga lebih
mudah mengembangkan subspesialisasi masing-masing. Densus 88 AT, misalnya,
tidak lagi berpretensi jadi seperti unit pasukan tempur. Ketiga detasemen
matra TNI lain juga tidak berpretensi menguasai kemampuan forensik karena itu
bukan tupoksinya.
Tanpa pengaturan "kapling-kapling" seperti itu, yang
terjadi adalah rebutan panggung. Jika demikian, detasemen-detasemen khusus
itu diganti saja namanya menjadi Den Bagus, Den Ayu, Den Mas, dan Den Ngabehi
karena mereka rebutan panggung yang sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar