Derita Tanpa Luka
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog Forensik;
Penulis Buku ”Ajari Ayah, ya Nak”;
Pernah Sekolah di Riau
|
KORAN
SINDO, 12 Oktober 2015
Sepakat! Tragedi bocah tewas dan dicampakkan di dalam kardus di
sebuah gang di Jakarta itu sangat memilukan hati. Sedih bercampur marah
menggumpal satu. Namun, ketika masyarakat luas menaruh perhatian mendalam ke
kasus anak di Kalideres itu, mengapa banyak orang pada saat yang sama
terkesan abai terhadap penderitaan anakanak di Riau, Jambi, dan Kalimantan
yang tengah pelanpelan menyongsong ajal. Ini masalah asap, Tuan dan Puan
sekalian! Lapar kau bisa tahan.
Mengantuk bisa pula kau lawan. Tapi ketika paru-paru sudah tak
mampu lagi mencari udara bersih, jangan harap hidup kalian akan panjang! Dan
baca baik-baik, simak lamatlamat: aku pampangkan kepada Tuan dan Puan nama
Gibran Doktora Desyra dan sekian banyak anak-anak lainnya yang seakan kalian
biarkan mati menghirup gas beracun di dalam kurungan. Gibran dan lainnya
memang tidak berdarah-darah. Tak ada luka badan yang menganga terlihat oleh
mata.
Tak juga tampak lebam dan patah-patah tulang. Tapi mereka, yang
ribuan bahkan jutaan jumlahnya, juga menderita. Mereka tersiksa. Orang tua
anak-anak malang itu pun bisa berbuat apa? Meladang, khawatir nyawa hilang.
Menjala di laut, maut menyambut. Menakik getah, napas bukan main payah.
Meminta-minta pun tak berguna, karena tidak ada orang kaya
sekali pun yang sanggup menyedekahkan udara. Paling-paling bapak-emak hanya
mampu mengungsikan anak-anak ke keluarga di lain pulau. Tengok, akibat asap,
anggota keluarga tak pelak hidup berserak. Tak dapat akal; jerebu yang
melanda Indonesia saban tahun, dan situasi tahun ini adalah yang terburuk,
harus diakui telah menjadi bencana lingkungan berskala nasional.
Gibran dan lainnya yang juga teracuni jerebu berada di titik
simpul dari dua unsur dalam bencana lingkungan di Indonesia. Pertama, mereka
masih berusia kanak-kanak. Kedua, akibat jerebu, anak-anak itu kini mengidap
penyakit yang mengancam nyawa.
Dengan kondisi ”sesempurna” itu Gibran dan teman-teman sebayanya
adalah korban kegagalan Tuan dan Puan dalam melindungi salah satu kelompok
yang paling rentan menjadi korban dalam situasi bencana, sebagaimana isi Sendai Framework for Disaster Risk
Reduction 2015-2030.
Karenaitu, Tuan dan Puan patut selekasnya menjadikan anak
sebagai subjek yang tak terpisahkan dalam perancangan dan penerapan
kebijakan, rencana, dan standar penanggulangan bencana. Pesan ini juga
kukirim ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang baru saja memilih
kepengurusan baru. Singkaplah kesadaran masyarakat tentang betapa sulitnya,
betapa jarangnya kita bicara tentang jerebu sebagai ancaman nyata terhadap
pemenuhan kepentingan terbaik anak.
Pun ketukketuklah kepala para aktivis perlindungan anak. Sudah
berhari-hari ini forum-forum diskusi memperdengarkan gelumat tentang
serba-serbi nelangsa anak-anak yang mengalami kekerasan. Tapi aku kecewa,
karena dalam kurun yang sama aku tak melihat mereka bersungguh hati membuat
pengang Tuan dan Puan dengan kegusaran mengenai anakanak yang hidup sesak
dibekap asap.
Kuyakin, semua satu kata ketika menyebut Indonesia darurat
kekerasan (seksual) terhadap anak, betapa pun juga kuyakin tak
sungguh-sungguh ada parameter tentang kedaruratan yang mereka
lambunglambungkan ke angkasa itu. Beda kisah dengan Gibran dan kawan-kawan.
Tidak perlu buat gaduh panjang, karena Pasal 59 dan 60 UU Nomor 35/2014 sudah
sedemikian telanjang. Tercantum terang-benderang bahwa anak-anak korban
bencana alam adalah anak dalam situasi darurat.
Dan kepada anak-anak tersebut undang-undang tegaskan bahwa
pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya wajib dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus. Bukan perlindungan
biasa! Apa bentuk perlindungan khusus itu? Penanganan yang cepat, termasuk
pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta
pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Cepat. Bukan lambat atau
tempo biasa sekalipun!
Menyala-nyala harapanku agar KPAI mengurangi
pendekatan-pendekatan ”pemadam kebakaran” dalam menangani masalah anak-anak
Indonesia. KPAI perlu lebih berkonsentrasi membangun sistem yang terkonsep
rapi, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan demi lebih terjaminnya
perlindungan anak dan pemenuhan kepentingan terbaik anak-anak Indonesia.
Tidak terkecuali perlindungan anak terkait pen-cegahan maupun
penanggulangan situasi bencana. Pesanku ke segenap Tuan dan Puan di Istana
Negara dan Gedung Kura-Kura: jangan hanya singgah di Negeri Melayu. Ada
orang-orang percaya bahwa saat Presiden SBY datang, asap menghilang. Saat
Presiden Jokowi tiba, asap pun mereda.
Karena itu, sebagaimana penantian rakyat Melayu yang telah
berbilang bulan, jangan tergesa-gesa balik ke Jakarta. Menginaplah agak dua
tiga hari di Riau, agar bisa merasa langsung bagaimana asap menggerus
paru-paru. Wabilkhusus, bangkitkan nyawa anak-anak di sana; beri mereka
kesembuhan dan jaminan bahwa ini kali terakhir mereka tak bersekolah karena
diserbu jerebu. Pun bagi orang-orang yang sudah mendaulat diri mereka sebagai
sosok laksamana di bumi Lancang Kuning.
Dulu, kalian angkat sumpah dan disiram beras kuning. Kini kalian
bisa dianggap makan sumpah dan dilempar bungin. Berpikirlah lebih lantip
daripada keledai dalam mencari akal agar rakyat kalian, tanah kalian, dari
masa ke masa lebih terjaga dari dera malapetaka. Bergeraklah lebih ligat
sebelum asap terlanjur sampai di langit membawa doa, murka, dan air mata
rakyat yang terzalimi. Sudahlah. Malas aku cerita.
Telinga kiriku mendesing. Sahlah itu pertanda ”orang-orang
kampung” tengah mengeluhkan aku yang tak mampu menolong mereka. Tinggal doa
saja di ujung lidah, bahwa rubuh tegaknya Tuan dan Puan sepantasnya
ditentukan oleh seberapa jauh kalian mampu memberikan perlindungan bagi
anakanak Indonesia. Termasuk perlindungan khusus bagi Gibran dan anak-anak
korban bencana alam. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar