Bumi Manusia
Bre Redana ; Penulis Kolom “Catatan Minggu” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
25 Oktober 2015
Bagaimanakah seseorang membayangkan Magda Peters, guru
berkebangsaan Belanda, pendidik di HBS Surabaya, pada novel Bumi Manusia
karya Pramoedya Ananta Toer? Magda, dalam novel itu, dilukiskan sebagai
perempuan dengan sikap kuat menentang kolonialisme, memiliki rasa hormat dan
kecintaan mendalam terhadap bangsa Hindia—demikian waktu itu Indonesia
disebut.
Maka, bertransformasilah Magda Peters menjadi rangkaian
perhiasan, antara lain berupa kalung, dengan bentuk lingkaran emas, bulat,
kokoh. Pada lingkaran terjuntai ornamen yang juga terbuat dari emas dalam
kesan rustic, menggambarkan rangkaian kepulauan kita, dari Sumatera sampai
Papua.
Pesohor Happy Salma dan perancang perhiasan dari Bali, Sri Luce
Rusna, memproduksi perhiasan untuk kalangan atas tadi dan meluncurkannya di
Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, dua pekan lalu. Seluruh karya bertema Bumi
Manusia, dengan edisi tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Selain Magda Peters,
ada Annelies Mellema, selain tentu saja penokohan Pram yang amat mengesankan
dalam novel itu, perempuan pribumi dengan pengetahuan luas, menyimpan bara
nasionalisme pada zamannya, yakni Nyai Ontosoroh.
Peluncuran ditandai dengan pentas berupa monolog serta nyanyi,
menampilkan bintang-bintang dunia hiburan seperti Lukman Sardi, Dira Sugandi,
serta persona televisi yang sangat pas memerankan Nyai Ontosoroh, Dinda Kanya
Dewi. Oh Dinda....
Diiringi piano, Dira Sugandi melantunkan lagu yang pernah
dipopulerkan Dara Puspita, ”Surabaya”. Pasti lagu itu dipilih lantaran
Surabaya adalah kota yang menjadi latar belakang Bumi Manusia. Tak
ketinggalan lagu-lagu romantik zaman perjuangan, ”Bunga Anggrek” dan
”Rangkaian Melati”.
Acara di mal itu sangat segar. Bagi orang kampung seperti saya,
yang bikin takjub bukan hanya karya perhiasan serta pengunjungnya yang
umumnya para wanita cantik, geulis, tetapi juga bagaimana karya Pram
bertransformasi menjadi perhiasan. Jadi ingat di akhir tahun 1980-an, di
zaman berakhirnya Perang Dingin, ketika dalam sebuah peragaan busana di
Paris, sejumlah model mengenakan kaus bergambar Che Guevara.
Pada waktu itu, khususnya di Indonesia, Che Guevara masih
dianggap unsur sensitif. Ia komunis. Sama seperti Pram. Sampai sekarang,
penulis sekaliber dia tidak pernah menerima penghargaan apa pun dari
pemerintah. Usulan penganugerahan kebudayaan untuknya selalu ditolak
Sekretariat Negara.
Dalam hal ini, dunia konsumsi terlihat jauh lebih progresif
dibanding birokrasi kekuasaan. Untuk mengonsolidasi diri, kekuasaan selalu
perlu menciptakan ancaman, menciptakan musuh. Relasi antara negara dan rakyat
dibina dalam disiplin militer. Berseragam dan baris-berbaris. Itulah
pengertian membela negara.
Hal sebaliknya terjadi dalam dunia konsumsi dan produksi. Di
tengah globalisasi, jati diri ke-Indonesia-an tak mungkin diselenggarakan
dengan baris-berbaris dan gulung-gulung di tanah. Yang diperlukan kecerdasan,
kreativitas, keterbukaan, kebebasan. Cukuplah sudah pendidikan fasisme.
Kebangsaan adalah entitas gagasan, sama seperti negara, yang oleh Ben
Anderson disebut ”imagined communities”.
Ketika mendirikan perusahaannya beberapa tahun lalu, Happy
bercerita mengajak patnernya, Sri Luce, untuk menonton Keroncong Tugu.
Kolaborasi pertama mereka bertajuk ”Juwita Malam”. Mereka melakukan ekshibisi
dan koleksi perhiasan yang terinspirasi dari lagu-lagu ciptaan Ismail
Marzuki.
Cinta, termasuk cinta terhadap negeri, memang harus dipelihara
dan dijaga. Di situlah diperlukannya inspirasi. Tantangan globalisasi dan
pasar bebas tidak bisa dihadapi dengan indoktrinasi.
Dulu Bumi Manusia ditulis Pram untuk menjaga semangat hidup
teman-teman tahanan di Pulau Buru. Hanya manusia yang memiliki disiplin mampu
melahirkan karya seperti itu. Bukan disiplin militer, melainkan disiplin
kewajaran hidup. Karya itu kini menembus ruang dan waktu, masuk mal,
dirayakan oleh wanita-wanita kota besar yang makmur dan kinyis-kinyis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar