BI Rate Jangan Turun Dulu
Denni P Purbasari ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 29 September 2015
“POLICY maker
continues to face incomplete information. When the time for decision comes,
he almost always to take a leap of faith. He will have to trust his good
sense. Crisis provides a litmus test for separating the good from the bad
decision makers.” (Boediono, dalam Seminar Ulang Tahun LPS, 22 September 2015)
Pelaku sektor keuangan cemas. Kecemasan itu
tampak dari data transaksi valas di pasar spot maupun forward. Sejak 1
September hingga Jumat lalu (25/9), rupiah di pasar spot terus melemah dari
Rp14.075 ke Rp14.693 per dolar Amerika atau turun 4,39%. Sementara itu, di
pasar forward, rupiah sudah turun Rp760 per dolar Amerika atau terdepresiasi
sebesar 5,3%. Pasar memperkirakan rupiah akan mencapai Rp14.930 hing ga
Rp14.945 dalam satu bulan ke depan dan menembus Rp15.350 se belum akhir tahun
seperti tampak dalam kontrak forward valas tiga bu lan mendatang.
Galaksi Amerika (dan
Tiongkok)
Sudah jamak diketahui bahwa melemahnya rupiah
saat ini disebabkan ketidakpastian yang berasal dari dua penguasa ekonomi di
galaksi ini, yaitu Amerika dan Tiongkok. Amerika dengan total GDP sebesar
US$18 triliun pada saat ini merupakan ekonomi terbesar di dunia, disusul
Tiongkok dengan GDP sebesar US$11 triliun. Indonesia ada di peringkat 16,
dengan GDP kurang dari US$1 triliun.
Dari Amerika, orang bertanya-tanya kapan dan
seberapa cepat Federal Reserve
akan menaikkan suku bunga setelah sejak 2008
lalu suku bunga dibuat 0%. Sementara itu, dari Tiongkok, orang cemas tentang
seberapa buruk sebenarnya ekonomi ‘Negeri Tirai Bambu’ ini melambat.
Bila ekonomi Tiongkok melemah tajam sebelum
pertumbuhan Amerika solid, bisa jadi ekonomi global tertarik ke bawah alias
turut melemah.
Akibat ketidakpastian kebijakan Federal
Reserve yang disusul dengan melemahnya Tiongkok, semua mata uang melemah
terhadap dolar Amerika (http://www.economist.com/indicators). Meskipun
demikian, ada yang terdepresiasi tajam dan ada yang tidak. Ringgit Malaysia
dan rupiah, misalnya, terdepresiasi masing-masing sebesar 35,8% dan 23%
selama setahun terakhir, sedangkan peso Filipina hanya terdepresiasi 4,5%.
Bukan (belum) krisis
Meski rupiah terdepresiasi cukup dalam, ini
bukan krisis. Sebagai perbandingan, pada saat terjadi krisis keuangan global
pada 2008, rupiah terdepresiasi terhadap dolar sebesar 30% dalam waktu dua
setengah bulan sejak 1 September 2008. Sebaliknya, rupiah `baru'
terdepresiasi sebesar 10,4% selama dua setengah bulan terakhir, atau sebesar
8,9% pada dua setengah bulan mendatang, menurut kontrak di pasar forward Jumat lalu.
Meskipun data menunjukkan bahwa saat ini tidak
terjadi krisis, atau pasar saat ini tidak memperkirakan krisis akan terjadi
dalam waktu dekat, ini bukan alasan bagi pengambil kebijakan untuk lengah. Pasalnya,
salah satu karakter krisis keuangan yang sangat ditakuti semua pengambil
kebijakan ialah kecepatan terjadinya. Untuk menarik miliaran dolar keluar
dari suatu negara, orang cukup menekan key
boards atau mengangkat telepon saja.
Sudah begitu, penyebab krisis keuangan juga
beraneka macam, bisa dari dalam negeri dan luar negeri, bisa dari perbankan,
perusahaan, rumah tangga, negara, dan bahkan bisa juga berawal di pasar
modal, pasar obligasi, pasar valas, pasar uang rupiah, atau pasar kredit.
Misalnya, depresi besar pada 1929, yang
diawali runtuhnya keya kinan investor di pasar modal Amerika. Krisis Asia
pada 1997-1998 disebabkan utang swasta yang menyebab kan krisis perbankan.
Krisis keuangan global pada 2008 terjadi karena utang KPR rumah tangga
Amerika, sedangkan krisis utang Yunani terjadi karena menumpuknya utang pemerintah.
Pada 1997-1998 dan 2008, Indonesia mengalami
krisis keuangan. Bisa dikatakan, pemicu keduanya berasal dari luar negeri.
Krisis pada 1998 di awali dengan serangan terhadap baht Thailand, sedangkan
krisis pada 2008 diawali dengan krisis KPR di Amerika. Meski sumbernya
berasal dari luar negeri, dampaknya toh terasa juga hingga ke dalam negeri.
The impossibility of
trinity
Meski penyebab krisis 1997-1998 dan krisis
2008 sama-sama berasal dari luar negeri dan berdampak ke dalam negeri, severity of impact dari keduanya
ternyata berbeda. Data menunjukkan bahwa Indonesia sukses dalam menjinakkan
krisis keuangan global pada 2008, tapi tidak berhasil pada 1997-1998.
Yang menjadi alasan mengapa severity of crisis ini berbeda di antaranya
kondisi ekonomi dalam negeri dan respons kebijakan yang diambil pemerintah
dan BI ketika menghadapi tekanan di pasar keuangan. Respons kebijakan itu
sangat menentukan apakah sebuah krisis keuangan dapat diredam, atau justru
meluas menjadi sebuah krisis ekonomi. Sebagai catatan, krisis keuangan
biasanya ditandai dengan jatuhnya harga saham, harga obligasi, kurs, cadangan
devisa, dan naiknya suku bunga pasar uang antarbank, sedangkan krisis ekonomi
biasanya ditandai dengan PHK massal, anjloknya harga perumahan, turunnya
produksi, dan naiknya angka kemiskinan.
Karena depresiasi rupiah terjadi di pasar finansial,
pengambil kebijakan yang paling dapat merespons ini dengan cepat dan langsung
mengena di pasar finansial ialah Bank Indonesia---bukan pemerintah atau
lainnya. UU bahkan dengan tegas mengatakan bahwa tugas BI ialah menjaga nilai
tukar rupiah.
Dalam menjaga rupiah, BI terbelenggu oleh the impossibility of trinity, yaitu
kemustahilan untuk mencapai kurs yang stabil, kebijakan moneter longgar, dan
rezim devisa bebas sekaligus. Jadi, ketika Indonesia mengadopsi rezim devisa
bebas untuk membuat rupiah ‘stabil’ atau tidak terdepresiasi tajam seperti sekarang,
mau tak mau kebijakan moneter BI haruslah ketat alias hawkish.
Kebijakan moneter ketat berarti suku bunga
ditetapkan tinggi. Saat ini, BI rate ada di tingkat 7,50%. Ketika rupiah,
misalnya, melemah lebih jauh lagi dan BI ingin ‘menstabilkan’ rupiah, bisa
jadi tingkat suku bunga akan dinaikkan menjadi 7,75%. BI bisa saja
menstabilkan rupiah lewat intervensi di pasar valas.
Namun, langkah ini berarti melego cadangan
devisa yang saat ini susah payah dikumpulkan dari ekspor dan aliran modal
masuk. Dus, langkah ini bersifat terbatas dan tidak mungkin dilakukan
terus-menerus.
Benar bahwa ‘ongkos’ kebijakan suku bunga
tinggi ini ialah menurunnya pertumbuhan kredit sehingga pertumbuhan ekonomi
melambat dan pengangguran meningkat. Namun, ini memang pilihan yang tidak
dapat dihindari (impossible trinity!).
Bila BI memilih menurunkan suku bunga untuk
memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, teori the
impossibility of trinity mengatakan jangan harap rupiah akan ‘stabil’. Dengan
kata lain, ‘ongkos’ kebijakan moneter longgar yang propertumbuhan atau dovish ialah rupiah yang terdepresiasi
lebih lanjut.
Menimbang
`untung-rugi'
Jadi, mana yang dipilih, apakah mendapatkan
`untung' berupa rupiah yang stabil dengan `ongkos' pertumbuhan ekonomi
melemah atau sebaliknya, mendapatkan `untung' berupa pertumbuhan ekonomi yang
meningkat dengan ‘ongkos’ rupiah terdepresiasi lebih lanjut?
Ekonom dilatih untuk menimbang ‘untung-rugi’
berbagai alternatif kebijakan dan nasihat ilmu ekonomi jelas, yaitu pilihlah
kebijakan yang menghasilkan manfaat neto tertinggi. Dengan kata lain,
pilihlah kebijakan yang menghasilkan biaya neto terkecil.
Berbeda dengan hitung-hitungan di alam teori,
dalam dunia nyata, baik untung maupun rugi (ongkos), sesungguhnya tidak ada
yang tahu pasti. Semua hanyalah perkiraan. Di sinilah yang membedakan antara
pengambil kebijakan yang bagus dan tidak, seperti kutipan Boediono di atas.
Jika BI menurunkan BI rate menjadi 7,25%,
misalnya, dengan situasi pasar seperti sekarang, sudah hampir pasti rupiah
akan terdepresiasi. Mengapa? Karena kebijakan itu mengatakan kepada pasar
secara terang-terangan bahwa policy
stance BI ialah dovish, yang
artinya BI ‘merelakan’ stabilitas rupiah dan lebih memilih pertumbuhan
ekonomi, seperti kata trinity.
Persoalannya ialah, dari sisi ‘ongkos’, kita
tidak tahu akan seberapa dalam rupiah terdepresiasi dan akan seperti apa
dampak lanjutannya. Sebaliknya, dari sisi ‘manfaat’, kita tidak tahu juga,
apakah suku bunga yang turun sebesar 0,25% akan mampu menstimulasi kredit
atau investasi dalam situasi ekonomi seperti sekarang ini. Kalaupun bisa,
seberapa besar dan seberapa cepat investasi ini akan tumbuh?
Karena sektor keuangan sangat sensitif
terhadap suku bunga dan reaksinya jauh lebih cepat daripada pengusaha yang
mau memperluas pabrik, atau rumah tangga yang mau membeli rumah atau mobil,
akankah kita mengambil risiko dengan menurunkan suku bunga? Apakah membicarakan
pertumbuhan ekonomi masih relevan ketika terjadi krisis di sektor keuangan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar