Bela Negara
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
17 Oktober 2015
Undang-Undang Dasar 1945 empat
kali direvisi. Di amendemen ketiga pada Pasal 27, yang tadinya dua ayat,
ditambah satu ayat lagi. Bunyinya: (3) Setiap warga negara berhak dan wajib
ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Amendemen ini saya kira hanya
pemanis. Siapa sih warga negara yang tak mau membela negara? Bahkan para
pujangga kita di masa lalu melahirkan pepatah: "Hujan emas di negeri
orang, hujan batu di negeri sendiri, masih enak di negeri sendiri."
Kalau tim nasional sepak bola kita bertanding ke luar negeri, saya selalu
membelanya, meski yakin tak bisa menang. Jadi, ada atau tidak ayat tambahan
itu saya kira tak menjadi masalah.
Ternyata saya keliru, maklum
buta hukum. Sebuah ayat, apalagi pasal, di setiap undang-undang rupanya
berujung pada "kepentingan tertentu". Saya jadi yakin selundupan
pasal tembakau di Undang-Undang Kesehatan, munculnya poin kretek di Rancangan
Undang-Undang Kebudayaan, pasti ujung-ujungnya adalah "kepentingan
tertentu". Juga ada payung hukum untuk sebuah rencana besar yang
membutuhkan anggaran.
Tambahan ayat di Pasal 27 UUD
itu, contohnya, bukan hal sepele. Lewat ayat yang kalimatnya ringkas itu,
lahir Direktorat Jenderal Bela Negara di Kementerian Pertahanan. Dan kini
direktorat itu merancang program bela negara yang akan diresmikan Presiden
Jokowi. Bahkan, sebelum diresmikan secara nasional, sudah ada pelatihan
"kader-kader bela negara". Para kader di seluruh Bali, misalnya, siap
memasuki markas di kompleks militer pusat pendidikan dan pelatihan Kodam
Udayana.
Apakah ini wajib? Karena
konstitusi menyebutkan "wajib", maka program yang diberi nama
"Pendidikan dan Pelatihan Kader Bela Negara" itu awalnya disebut
wajib. Bahkan wajib diikuti anak usia taman kanak-kanak sampai usia 50 tahun.
Targetnya, 10 tahun ke depan ada 100 juta warga yang mengikuti program ini.
Namun belakangan penjelasan dari Kementerian Pertahanan berbeda, bukan wajib
melainkan sukarela.
Yang jelas, tak sama dengan
wajib militer, begitu penjelasan Kementerian Pertahanan lagi. Wajib militer
itu sudah disiapkan rancangan undang-undangnya dengan nama RUU Komcad
(Komponen Cadangan). RUU ini, bersama RUU Rahasia Negara dan RUU Keamanan,
sudah diserahkan pemerintah ke DPR pada Januari lalu. Mungkin karena tahu DPR
sangat lelet membahas undang-undang (dari target 37 baru selesai 2 UU), maka
program bela negara harus diluncurkan.
Wajib militer itu berat, hanya
untuk usia 18 tahun ke atas. Bela negara lebih santai karena disesuaikan
dengan peserta. Pegawai bank beda latihannya dengan murid sekolah dasar.
Materi untuk politikus beda dengan materi untuk penyair—kalau ada yang mau
ikut. Inti materinya soal disiplin nasional, lalu mengobarkan semangat
nasionalisme, patriotisme, dan cinta Tanah Air. "Ini bagian dari
pembentukan karakter bangsa yang juga mendorong program pemerintah dalam
revolusi mental," kata Laksamana Pertama M. Faisal, Direktur Bela
Negara. Kurikulum pun sudah disiapkan dengan rapi.
Kenapa kurikulum dan materi
bela negara ini tak dihibahkan saja ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
juga ke Kementerian Pendidikan Tinggi untuk diajarkan di sana? Mungkin
sasarannya lebih luas, seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.
Termasuk pegiat di media sosial. Di dunia maya, kita sering baca celotehan
yang mem-bully Presiden Jokowi, bahkan dengan kasar. Setelah program bela
negara ini berjalan, tentu yang melecehkan Jokowi tak ada lagi. Kalau kita
wajib membela negara, tentu wajib juga membela Kepala Negara. Begitu kan
arahnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar