Bela Negara atau Bela Warga?
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK)
Universitas Paramadina, Jakarta
|
JAWA
POS, 21 Oktober 2015
NEGARA ini
tidak sedang menghadapi ancaman peperangan fisik dengan negara lain. Namun,
Menhan Jenderal (pur) Ryamizad Ryacudu melontarkan gagasan program bela
negara. Akan direkrut 100 juta kader dengan pelatihan gaya militeris untuk 10
tahun ke depan. Ryamirzad bahkan menyatakan warga negara yang menolak perlu
angkat kaki dari Indonesia. Pernyataan yang agaknya berlebihan untuk sesuatu
yang tidak memiliki urgensi saat ini.
Rencana program
ini mengingatkan kita akan perkataan John F. Kennedy,
presiden Amerika
Serikat (AS) yang ditembak mati di Dallas, Texas, pada 1963. ’’Jangan tanyakan
apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu berikan
kepada negaramu.” Dalam perspektif ini, warga negara yang harus berperan
aktif memberikan kontribusi positif bagi negara. Dengan kata lain, wargalah
yang harus ’’memberi’’. Di sisi lain, negara adalah pihak yang ’’diberi’’
atau ’’menerima’’. Jadi, negara menuntut warganya untuk membelanya dalam
kondisi apa pun.
Negara, kata
Max Weber, adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah dengan berdasar sistem hukum
yang diselenggarakan suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi
kekuasaan memaksa (Funny, 2008).
Roger F.
Soultau mendefinisikan negara sebagai alat (agency) atau wewenang (authority)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
Sementara itu, Aristoteles menyebut negara adalah perpaduan beberapa keluarga
mencakupi beberapa desa hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya
dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama (Oetari Budiyanto, 2012).
Dari beberapa
definisi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa negara adalah organisasi
tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai alat (agency) yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat yang mempunyai cita-cita
untuk bersatu, hidup dalam wilayah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang
berdaulat dengan berdasar sistem hukum yang diselenggarakan dengan tujuan
kesenangan dan kehormatan bersama.
Dalam konteks
yang lebih spesifik, negara adalah pemerintahan yang punya mandat atau
kekuasaan untuk menjaga wilayah dan segala isinya dari pihak-pihak di luar
wilayah yang ingin berbuat jahat atau merongrong kedaulatan negara.
Menurut
doktrin nasionalisme, dalam situasi perang menghadapi kekuataan asing,
segenap warga negara wajib membela mati-matian bersama pemerintah dan
organisasi militer di bawahnya. Jiwa raga diserahkan untuk membela negara.
Sebuah ungkapan religius-teologis dari literatur Islam menyebutkan, ’’Cinta
tanah air adalah bagian dari iman.’’ Kata-kata inilah yang membuat seorang KH
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, menggemakan kewajiban
berjihad melawan penjajah Belanda dan Jepang sampai titik darah penghabisan.
Nasionalisme
dalam konteks negara sedang perang adalah ikut serta membela dan
mempertahankan negara. Apakah wajib juga membela negara ketika tidak dalam
situasi perang fisik seperti zaman dahulu? Saat ini, perang tak lagi fisik,
tetapi ekonomi. Di dunia yang didominasi ideologi kapitalis dengan mantra
pasar bebasnya, peran negara tak lagi signifikan, bahkan cenderung coba
dikerdilkan, dibatasi, atau diminimalisasi. Penguasa dalam perang ekonomi
adalah korporasi atau perusahaan-perusahaan mul tinasional yang melewati
batas-batas negara.
Kenichi Ohmae
bahkan dengan berani menulis buku berjudul The End of Nation State (1995). Inilah buku yang secara eksplisit
mengumumkan berakhirnya ’’ nation state’’ atau ’’negara bangsa’’ atau
nasionalisme. Menurut Ohmae, negara adalah ’’the artefact of the 18th and 19th centuries’’ (batu peninggalan
abad ke-18 dan ke-19).
Dalam situasi
seperti itu, organisasi militer atau aparat keamanan pemerintahan suatu
negara memang tetap ada. Tapi, bukan untuk menghadang, melainkan untuk
’’mengamankan’’ kepentingan korporasi itu.
Bagaimana
dengan warga negara yang kemudian terlibat konflik dengan korporasi?
Misalnya, dalam konflik agraria atau lahan yang diklaim oleh kedua pihak?
Dalam banyak hal, negara terlihat lebih membela korporasi, apalagi korporasi
asing dan besar yang punya begitu banyak dana. Warga negara seperti asing
atau teralienasi di negeri sendiri.
Siapakah yang
membela warga negara dalam situasi demikian? Merekalah sesungguhnya warga
yang perlu dibela. Dan, bagi mereka yang berkondisi demikian, bela negara tak
ada gunanya, apalagi urgensinya. Apa gunanya membela negara yang tak membela
mereka? Merekalah yang sesungguhnya perlu dibela untuk menghadapi korporasi
yang membuat kehidupan ekonomi mereka jadi sulit setiap hari, menjadi korban
perang ekonomi yang tak mereka lihat secara nyata, tetapi dampaknya begitu
nyata mereka rasakan.
Perang yang dihadapi negara dan
warganya, terutama warga lapis bawah, bukanlah perang fisik, melainkan perang
ekonomi. Dalam perang ini, bukan negara yang harus dibela, melainkan warga
negara. Negaralah yang harus membela dan melindungi warganya dari akibat
buruknya. Maka, program bela negara bagi warga, tampaknya, tidak tepat
sasaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar