Tiongkok, AS, dan Kita
J Soedradjad Djiwandono ; Guru Besar Emeritus Ekonomi UI;
Professor of IPE, RSIS, NTU
|
KOMPAS,
17 September 2015
Negara-negara dengan
ekonomi yang berkembang (emerging
markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal
yang tidak ringan, selain masalah domestik masing-masing. Seperti sudah
banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga
komoditas atau berakhirnya boom komoditas di sektor riil dan berakhirnya era
likuiditas berlimpah di sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu
dipertajam oleh pengelolaan ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju
yang kadang membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada
itu, hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan
negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari resesi
yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis krisis
keuangan dunia.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Menyangkut yang pertama,
masa jaya komoditas berakhir dengan anjloknya permintaan mulai dari kedelai
sampai batubara dan bijih besi terutama disebabkan oleh turunnya laju
pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 7 persen atau lebih rendah. Harga migas
juga menurun drastis karena melemahnya permintaan berbarengan dengan
meningkatnya produksi karena Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya dan
perkembangan oil shale di AS.
Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi bersamaan dengan kebijakan
rebalancing, yaitu mengalihkan
sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi ke konsumsi dalam negeri.
Semuanya berdampak menekan negara-negara pengekspor komoditas dan sumber
alam: Brasil, Cile, Rusia, serta Australia dan Indonesia.
Laporan ekonomi
triwulanan Bank Dunia terakhir menunjukkan, laju pertumbuhan impor Tiongkok
dari Indonesia yang meningkat setiap tahun sekitar 30 persen dalam periode
2005-2011 (di luar krisis 2009) menjadi negatif 7,8 persen pada periode
2012-2014.
Masalah kedua
menyangkut akan direalisasikannya perubahan kebijakan moneter inkonvensional
dengan suku bunga mendekati nol di AS dengan meningkatkan suku bunga
fasilitas Fed (Fed Fund Rate).
Sesuatu yang tak mudah dibayangkan karena sudah tujuh tahun perekonomian
hanya mengenai suku bunga yang mendekati nol persen. Dunia keuangan mengenal phenomenon double blows, dampak dari
suatu kebijakan terjadi dua kali. Akan dinaikkannya suku bunga dihadapi para
pelaku pasar dengan memperhitungkan kenaikan suku bunga dalam operasinya
meski kenaikannya belum terjadi (discounted).
Pada waktu terjadi kenaikan, ini diperhitungkan (lagi). Tambahan aksentuasi
dampak ini sering disebut financial amplifier. Karena itu, reaksi pasar
sering ekstrem, terjadi overshoot.
Kemungkinan
peningkatan suku bunga ini sudah diumumkan sejak Juni 2013. Ketua Dewan
Gubernur Fed Ben Bernanke waktu itu membuat pernyataan bahwa kalau perbaikan
data pengangguran dan laju inflasi terus terjadi, kebijakan suku bunga sangat
rendah itu akan secara hati-hati ditinggalkan, tapering off atau lifting
off. Pernyataan ini telah menumbuhkan gejolak pembalikan dana dari EM ke
AS. Negara-negara dengan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia yang
sebelumnya menerima aliran modal dari melimpahnya likuiditas, resah karena
aliran balik modal ini (taper tantrum).
Financial Times
melaporkan, arus balik dana dari 19 negara EM ke AS dan negara maju lain
dalam 13 bulan terakhir mendekati 1 triliun dollar AS. Jumlah ini lebih dari
dua kali lipat arus balik dana saat krisis keuangan dunia 2008/2009 sebesar
490 miliar dollar AS. Kekhawatiran yang berkembang jelas, kalau kenaikan suku
bunga benar terjadi, arus balik akan meningkat lagi karena phenomenon double
blows tadi. Implikasinya, depresiasi mata uang terhadap dollar AS akan kian
tajam. Susahnya, harapan terjadinya peningkatan ekspor dari depresiasi mata
uang negara berkembang ternyata semakin lemah, antara lain karena besarnya
kandungan impor dari ekspor negara berkembang. Sebaliknya, dampak negatifnya,
seperti semakin mahalnya impor, lebih memberatkan negara berkembang. Bagi
yang utangnya besar dan dalam dollar AS, dampak negatif semakin beratnya
pengembalian utang jelas memberatkan. Utang Indonesia memang relatif belum
besar sekali, tetapi rupanya Indonesia ikut juga arus makin meningkatnya
utang yang mudah masuk ke tingkat riskan.
Selanjutnya, arus
balik dana ini telah menyebabkan tergerusnya nilai tukar kebanyakan negara
yang kehilangan dana, terutama negara-negara berkembang yang kehilangan dana
karena arus balik, termasuk Indonesia. Semua mata uang negara-negara tersebut
terdepresiasi. Namun, besar kecilnya dipengaruhi lagi oleh faktor domestik
yang merupakan discount masing-masing, sesuai kerentanannya.
Perekonomian suatu
negara rentan terhadap gejolak jika ketergantungannya pada ekspor sangat
besar, terutama ekspor komoditas yang harganya berfluktuasi. Demikian pula
perekonomian yang defisit neraca pembayarannya besar, utangnya besar (apalagi
utang jangka pendek dalam denominasi dollar AS). Juga negara yang sedang
dililit permasalahan sosial politik, karena korupsi, skandal, atau lainnya.
Momok ketidakpastian
”Senin Hitam” terjadi
karena perubahan perekonomian Tiongkok, kombinasi perkembangan ekonomi dan
kebijakan penyesuaian yang dilaksanakan pemerintah dan otoritas moneternya,
People’s Bank of China (PBOC). Pasar modal Tiongkok di Shenzen ataupun
Shanghai mengalami perkembangan luar bisa dengan jutaan investor perorangan
baru dan kapitalisasinya meningkat dua kali lipat dalam setahun. Semua serba
fantastis. Namun, waktu terjadi penurunan tajam harga saham bulan Juni,
Tiongkok melancarkan kebijakan penyelamatan, termasuk membeli saham sampai
200 miliar dollar AS serta melarang sementara IPO dan penjualan sejumlah
besar saham. Terakhir bahkan membungkam media yang memberitakan gejolak pasar
modal. Semua ini mengguncang Asia dan dunia dengan terjadinya Senin Hitam dan
setelahnya.
Harga saham baru
menjadi positif kembali setelah penurunan sekitar satu minggu, sedangkan di
AS dan Eropa serta beberapa negara berkembang lain sudah menjadi positif
sehari atau dua hari setelah Senin Hitam. Tiongkok sendiri dilaporkan
kehilangan nilai aset finansial karena penurunan harga saham mencapai 4
triliun dollar AS, empat kali lipat PDB Indonesia. Anehnya, gejolak pasar
modal di Tiongkok yang relatif belum terbuka ini dengan cepat menjadi global.
Lebih aneh lagi meski dilakukan penanganan yang berani dan drastis, termasuk
devaluasi yuan yang sangat ditabukan sebelumnya, gejolak pasar modal di
Tiongkok berjalan lebih lama dari negara maju dan berkembang lain. Dan
devaluasi yuan juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Tentu perlu dilakukan
pengkajian lebih cermat. Akan tetapi, sementara rasanya tak keliru
mengatakan, kepercayaan pasar terhadap pengelolaan pasar modal dan yuan
menurun karena kurang konsistennya kebijakan pemerintah dan PBOC. Kebijakan
rebalancing yang dijanjikan untuk mendorong konsumsi domestik dan mengurangi
ketergantungan pada ekspor dan mendorong bekerjanya mekanisme pasar tampak
tak sinkron dengan kebijakan devaluasi dan berbagai intervensi langsung yang
dilakukan terhadap pasar modal dan perkembangan nilai tukar.
Dalam pada itu,
kenaikan suku bunga fasilitas Fed yang jelas akan berakibat aliran balik
modal juga masih menggantung. Rupanya negara berkembang harus menghadapi
kebijakan Fed dan bank sentral negara maju lain yang akhir-akhir ini
mengalami penyakit susah membuat keputusan. Debat yang rasanya tak
berkesudahan tentang kapan dimulai kenaikan suku bunga jelas menambah
ketakpastian pasar yang terguncang dengan apa yang berkembang di Tiongkok.
Masalah yang dihadapi
Fed jelas pelik. Fed bertugas menjaga dan mengusahakan kestabilan finansial
seperti di Indonesia. Fed juga bertanggung jawab mendorong ekonominya
mencapai pertumbuhan yang disasar. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan yang
terjadi dalam pasar tenaga kerja dengan besar kecilnya tingkat pengangguran
menjadi sasaran kebijakan moneter. BI di masa lalu juga mempunyai tanggung
jawab pembangunan ini, tetapi penugasan ini dikeluarkan pada waktu diberi
status independen tahun 1999.
Pencapaian
keseimbangan dua sasaran tersebut dalam paradigma ekonomi yang telah berubah
rupanya semakin rumit. Mungkin hal ini yang menyebabkan Fed seperti maju
mundur sejak 2013 untuk menentukan kapan akan mulai menaikkan suku bunga.
Belum lagi yang menyangkut berapa besar kenaikannya dan bagaimana pola yang
akan dilaksanakan. Setelah seminar dan perdebatan panjang di masyarakat,
tampaknya para gubernur di bawah pimpinan Janet Yellen cenderung meningkatkan
suku bunga September atau akhir tahun. Yang jelas rapat dewan gubernur dilakukan
sepuluh kali setiap tahun, tahun ini tinggal dua kali, 17 September ini dan
Desember nanti.
Perdebatan belum
kunjung berhenti juga. Di Fed, beberapa waktu lalu, Presiden Fed New York
William Dudley mengatakan, dirinya tak yakin lagi apakah kenaikan suku bunga
sebaiknya dilakukan tahun ini. Tak kurang mantan Menteri Keuangan Larry
Summer dan ekonom peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, keduanya guru besar
kenamaan Universitas Harvard dan Columbia, menulis kolom (di New York Times
dan Los Angeles Times) menunjukkan argumen serupa. Akan tetapi, dalam
pertemuan tahunan central bankers di Jackson Hole belum lama ini, Wakil Ketua
Fed Stanley Fischer mengatakan, peningkatan suku bunga bulan ini masih dalam
pertimbangan, menunggu data perkembangan pengangguran akhir minggu.
Siapa yang tidak
bingung mengikuti semua perkembangan ini? Orang-orang pintar saja bingung.
Yang jelas, implikasinya adalah ketidakpastian pasar yang merupakan momok
paling tidak disukai pelaku pasar ini masih berjalan. Perekonomian terkuat
nomor satu dan dua di dunia sedang dalam kondisi kurang bisa dijadikan
pedoman negara-negara berkembang untuk menentukan sikap. Ini jelas suatu
kondisi yang kurang kondusif, perekonomian dunia kurang solid untuk
menghadapi kejutan yang bisa terjadi.
Kiranya benar
pernyataan Henry Snyder dalam kolom di Financial Times (28/8) bahwa
masalahnya bukan pada ekonomi AS, melainkan pada kebijakan moneternya. Saya
ingin menambah, ini berlaku pula bagi ekonomi Tiongkok. Sektor riilnya tidak
merupakan masalah, laju pertumbuhan PDB-nya jelas masih tertinggi di dunia,
tetapi kebijakan dalam pengelolaan moneter dan pasar modalnya telah
menimbulkan pertanyaan besar bagi pasar dan masyarakat. Dalam menghadapi
tantangan tersebut, kita semua berharap adanya sikap arif dari pemerintah dan
dunia usaha dalam mengambil kebijakan dan menentukan langkah agar memilih
mitra usaha, dagang, dan investasi tanpa tergiur keuntungan sesaat, tetapi
untuk kepentingan yang luas, kepentingan nasional berjangka panjang. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar