Strategi Budaya Populer Turki
Bernando B Sujibto ; Mahasiswa Master Sosiologi di Turki;
Associate Research di The
Indonesian Institute, Jakarta
|
JAWA
POS, 29 Agustus 2015
DENGAN menggunakan bahasa Turki, para aktor
dan aktris serial Elif menyapa penggemar setia mereka di Jakarta beberapa
hari lalu. Panggung budaya populer, khususnya dunia tontonan Indonesia, pun
mulai dihiasi salah satu pendatang baru dari negeri di antara dua benua
(Eurosia) tersebut, tidak lagi melulu dari Amerika/Eropa, India, dan
Korea/Jepang.
Budaya populer Turki (yang diwakili dunia
sinema) bisa dibilang baru setahun terakhir mulai merambah publik Indonesia.
Penandanya adalah serial Abad Kejayaan yang ternyata disukai penonton
televisi di tanah air. Setelah itu, secara beruntun drama-drama Turki pun
mulai ditayangkan di sini. Misalnya, Zahra, Elif, dan Cinta di Musim Cherry.
Sejauh ini, kita mengenal Turki lebih karena
faktor sejarah dan peradaban tua yang masih bisa dikunjungi. Selain itu,
pelajaran sejarah perkembangan Islam sering menyebutkan imperior Islam
terakhir bernama Ottoman di mana Turki menjadi suksesornya.
Nuansa drama Turki jelas berbeda dengan
drama-drama yang sebelumnya menyebar di tengah-tengah kita. Misalnya, drama
Korea. Turki mempunyai perbedaan yang signifikan dalam aspek tradisi dan
kebudayaan.
Turki adalah negara yang cukup tertutup dalam
kaitannya dengan kebudayaan luar. Jika pandangan kita bersepakat dengan
kacamata dan perspektif globalisasi dan liberal, Turki termasuk negara dengan
mayoritas masyarakat yang mempunyai pandangan inward-looking, sebuah
perspektif yang meyakini bahwa Turki-lah segala-galanya sehingga mereka tidak
tertarik dengan perkembangan budaya populer di luar sana.
Meskipun film-film Hollywood, Jepang, dan
negara-negara Eropa bisa masuk, aspek-aspek tradisi dan kebudayaan komunal
mereka tetap dijaga. Salah satu faktor yang menjaga mereka adalah kebanggaan
kepada negara republik yang dibangun Mustafa Kemal Ataturk tersebut. Juga,
terhadap sejarah-sejarah kebesaran mereka yang terus ditanamkan. Misalnya,
keyakinan mereka bahwa Turki adalah bangsa perang, pekerja keras, serta
pernah menguasai setidaknya sepertiga dunia.
Implikasi penanaman nilai-nilai sejarah
republik Turki adalah nasionalisme yang sangat kental dan kuat di jiwa masyarakatnya.
Bisa dipastikan, Turki menjadi satu di antara sedikit negara yang dengan
bangga terus-menerus mengibarkan bendera di banyak tempat hingga ke pelosok
negeri.
Di Turki, Anda akan sulit menemukan nama-nama
orang selain nama khas Turki itu sendiri. Padahal, sejatinya, masyarakat
Turki terdiri atas sukusuku bangsa yang berbeda. Dalam konteks ini, proyek
nasionalisme Turkinisasi oleh Ataturk berhasil.
Hingga hari ini, film-film yang masuk di Turki
dan tayang di bioskop pasti melewati sensor ketat dengan ratarata sistem
dubbing.
Di Turki, judul film dalam bahasa Inggris yang
paling sederhana pun pasti dialihbahasakan ke Turki. Misalnya, Final
Destination menjadi Son Durak. Don Quixote pun menjadi Don Kiot.
Ada satu kebijakan lagi yang membuat saya
begitu kagum sekaligus respek: semua pelajar internasional yang mendapat
beasiswa dari pemerintah Turki ( Turkiye Burslari yang jumlahnya mencapai 50
ribu) harus melewati kursus bahasa Turki di kelas persiapan. Meskipun kelas
pengantar tersebut memakai bahasa Inggris, belajar bahasa Turki itu wajib
diikuti.
Skenario Turki untuk menjadi suatu kekuatan
dunia pada 2030 sudah dipersiapkan secara rapi sejak satu dekade terakhir di
bawah pemerintahan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan).
Langkah tersebut diyakini akan menjadikan para
pelajar itu sebagai agen-agen kebudayaan Turki pada masa depan. Persisnya
setelah para pelajar tersebut lulus dan kembali ke negara masing-masing.
Strategi Budaya
Saya tidak akan mempersoalkan buruk atau
tidaknya semakin populernya produk budaya populer Turki di Indonesia. Tetapi,
sebagai mahasiswa Indonesia di Turki, saya cukup merasakan strategi
kebudayaan negara tersebut melalui jalur-jalur hubungan politik, ekonomi, dan
politik kebudayaan itu sendiri.
Strategi budaya itulah yang harus digarisbawahi
sebagai pelajaran penting bagi kita di Indoneisa.
Sebab, harus diakui, kebanyakan produk
kebudayaan kita kalah bersaing di depan negara-negara berkembang sekalipun.
Bahkan, bisa dibilang, kita kurang terlihat sebagai negara yang aspek kebudayaannya
patut diperhitungkan.
Lebih lanjut, strategi budaya yang berkembang
dewasa ini, meminjam istilah Douglas Holt dan Douglas Cameron dalam Cultural Strategy: Using Innovative
Ideologies to Build Breakthrough Brands, berlumur strategi branding yang
memanfaatkan spirit cultural innovation
dengan tujuan menciptakan sekaligus menjual brand itu sendiri.
Cultural mimicry yang disebut penulis sebagai cultural orthodoxy sudah dilampaui
dengan membentuk budaya baru yang sembunyi dalam penyediaan ruang subculture
(2010). Aspek-aspek masif subcultures itulah yang kemudian membuka
ruang-ruang bebas terbentuknya inovasi-inovasi kultural dalam masyarakat.
Pesan dan warna kebudayaan yang dibawa
drama-drama Korea atau Turki akan menciptakan branding baru di tengah masyarakat
kita yang makin sekuler dan liberal, namun lemah dalam aspek kesadaran
kultural.
Akhirnya, secara sadar harus diakui, dalam
konteks kebudayaan, kita adalah bangsa yang sangat aktif mencari
bentuk-bentuk ekspresi subculture yang datang dari luar. Tujuannya, mengisi
ruang-ruang kosong atau memodifikasi kejemuan waktu luang pada ruang tontonan
yang monoton.
Mari kita cermati bersama-sama bagaimana
ikon-ikon tradisi, bahasa, emosi, sejarah, dan kebudayaan Turki akan menjadi
salah satu tontonan alternatif yang mengisi memori pemirsa televisi di
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar