Segi Empat Entitas Kekuatan Global
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
09 September 2015
Pemimpin Tiongkok yang
paling berpengaruh, Deng Xiaoping (1904-1997), pernah berkata, kalau
Jepang-Tiongkok berperang, setengah surga akan rontok. Tak bisa dielakkan,
kedua negara Asia ini, bersama dengan Amerika Serikat, merupakan sentra segi
tiga geopolitik di kawasan Asia dengan tingkat ketergantungan yang sangat
tinggi pada berbagai bidang, seperti ekonomi, perdagangan, dan militer.
Di tengah
ketidakpastian pertumbuhan ekonomi dunia yang mengancam laju pertumbuhan Asia
yang paling dinamis di dunia, jelas Jepang-Tiongkok bisa disebut tidak zeitgemassig, tidak selaras dengan
waktu. Kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara, akan selalu diuntungkan oleh
persaingan Jepang-Tiongkok selama bisa dijaga kesetimbangan negara-negara
adidaya yang memiliki kekuatan ekonomi nomor 1, 2, dan 3 di dunia ini.
Persaingan
Jepang-Tiongkok dalam tiga tahun terakhir sudah tidak semata pada klaim tumpang
tindih pulau kosong Kepulauan Senkaku (Tiongkok menyebutnya Diaoyu) di Laut
Tiongkok Timur, tetapi meluas juga ke persaingan ekonomi dan perdagangan.
Bahkan, salah satu pemicu terjadinya devaluasi mata uang yuan juga disebabkan
Tokyo juga melakukan pelemahan mata uang yen yang menyebabkan kedua negara
ini bersaing dalam ekspor produk mereka ke dunia.
Melalui perayaan Hari
Kemenangan (V-Day) di Beijing pekan lalu, para penguasa Tiongkok terus
mendesak perhatian internasional atas militerisme Jepang, sekaligus mendesak
pengakuan sejarah atas kekejaman yang dilakukannya pada masa Perang Dunia II.
Sebaliknya, Jepang juga melihat RRT sebagai ancaman bagi perekonomiannya,
sekaligus kekhawatiran atas masalah keamanan dengan semakin meningkatnya
kemampuan dan modernisasi perangkat-perangkat militer RRT.
Kedua negara Asia
dengan latar belakang budaya yang mirip ini saling berebut pengaruh di
kawasan Asia Tenggara, seperti yang terjadi dalam persaingan tender
pembangunan jalur kereta api cepat (HSR) Jakarta-Bandung dan di negara ASEAN
lain seperti di Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Bagi Jepang-Tiongkok,
ASEAN menjadi entitas ekonomi paling penting ketika gabungan 10 negara Asia
Tenggara ini pada tahun 2013 mencatat produk domestik bruto sebesar 2,4
triliun dollar AS, menjadikan ASEAN sebagai entitas kekuatan ekonomi ke-7
terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar 600 juta orang, ASEAN
menjadi pasaran ekonomi lebih besar daripada Amerika Utara dan Uni Eropa,
menjadikan Asia Tenggara sebagai sumber vital bagi potensi investasi.
Persaingan
Jepang-Tiongkok di ASEAN setidaknya dipicu beberapa faktor. Pertama, Jepang
dalam dua tahun terakhir ini meningkatkan berbagai kerja sama pertahanan
dalam beragam perjanjian kemitraan strategis dengan beberapa negara ASEAN.
Negara-negara Asia Tenggara menerima ini dalam proses menghadapi diplomasi
agresif RRT, khususnya terkait klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut
Tiongkok Selatan.
Kedua, Jepang juga
kecolongan dan tertinggal sebagai mitra dagang ASEAN yang selama ini menjadi
sumber pasar dan bahan baku penting industrinya. Catatan terbaru menunjukkan,
total perdagangan ASEAN-RRT tercatat 366,541 miliar dollar AS, sedangkan
ASEAN-Jepang mencatat lebih rendah dengan total perdagangan 229,076 miliar
dollar AS.
Kawasan ASEAN dalam
menghadapi segi tiga politik Jepang- AS-RRT harus terus-menerus mengembangkan
ciri-ciri kerja sama multilateral, apakah melalui mekanisme KTT Asia Timur
atau melalui Forum Regional ASEAN, agar kesetimbangan dinamis dalam segi tiga
ini tidak didominasi perseteruan Jepang-Tiongkok. Dalam konteks ini kita
berharap perlunya penataan ulang gagasan hubungan baru di antara
negara-negara besar (bukan hanya sekadar hubungan AS-RRT).
Penataan hubungan baru
segi empat ASEAN-Jepang-AS- RRT, khususnya sebagai entitas kekuatan ekonomi
dan perdagangan, mampu meredam ketegangan segi tiga geopolitik Jepang-AS-RRT
untuk terus-menerus bekerja sama. Sebab, ketidakmampuan untuk bekerja sama di
antara keempat entitas, khususnya bagi ASEAN agar tidak terjebak dalam aliansi,
akan memicu terjadinya kebangkitan nasionalisme militeristik, perlombaan
senjata, dan ancaman perang yang menyengsarakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar