Pertobatan Jerman
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
20 September 2015
Apakah keputusan
Kanselir Jerman Angela Merkel membuka pintu lebar-lebar bagi para pengungsi,
antara lain dari Suriah, adalah ungkapan pertobatan Jerman? Tercatat tebal
dalam sejarah dunia, kejamnya Jerman Nazi di bawah Hitler pada masa lalu.
Jutaan orang kehilangan nyawa. Sekurang-kurangnya enam juta orang Yahudi
tewas-ini baru orang Yahudi saja-menjadi korban brutalitas mereka.
Wajah hitam Jerman itu
kini ditampilkan berbeda oleh Merkel. Perempuan kanselir Jerman sejak tahun
2005 itu memperlihatkan "wajah
Jerman yang bersahabat, cantik, tampan, dan indah" kepada dunia. Di
tangan Merkel, yang Juli lalu membuat hati seorang gadis cilik (14 taun),
pengungsi asal Palestina, hancur berkeping-keping karena tidak mengabulkan
permintaannya tinggal di Jerman, kini muncul sebagai seorang ibu. Para
pengungsi pun menyebutnya "Ibu kami, Merkel."
Ketika Agustus lalu
menyatakan Jerman membuka pintu bagi para pengungsi, ia telah tampil sebagai
seorang "penyelamat." Apalagi, ia mengatakan Jerman bersedia
menerima 800.000 pengungsi! Saat itu juga, Merkel dipuja di mana-mana. Ia
menjadi pahlawan bagi para pengungsi. "Mama Merkel," bunyi tulisan
di sejumlah spanduk yang dibawa para pengungsi.
Bahkan, kepada para
demonstran yang dirasuki sikap anti-imigran dari Timur Tengah, yang bersikap
xenofobia, benci terhadap orang asing, ia secara tegas mengatakan,
"Tidak ada toleransi pada orang-orang yang mempertanyakan martabat orang
lain." Sebenarnya, tidak berlebihan kalau ada yang khawatir, bahwa di
antara pengungsi terselip orang-orang yang ingin mencari keuntungan diri atau
ingin menyebarkan teror. Hal itu mengingatkan para pengungsi berasal dari
negeri di mana kelompok teroris, orang-orang yang tak peduli, tak menghormati
orang lain, manusia, budaya lain, berada.
Meskipun sebenarnya
Suriah atau Irak dan negara-negara Timur Tengah lainnya menjadi seperti saat
ini juga karena andil negara-negara Eropa. Adalah perjanjian Sykes-Picot 1916
yang membagi-bagi wilayah Timur Tengah menjadi negara-negara seperti saat
ini. Pembagian itu hanya berdasarkan kepentingan Inggris dan Perancis semata.
Lahirnya Israel yang menjadikan Timur Tengah sebagai pusaran konflik juga andil
negara-negara Eropa. Dan, sekarang negara-negara Eropa (dan Amerika Serikat
serta Rusia) memberikan sumbangan besar krisis, konflik di Suriah dan Irak
berkelanjutan. Mereka terus memasok senjata kepada kelompok yang didukungnya.
Kini di tangan Merkel,
"politik ketakutan" telah dikalahkan oleh "politik
martabat", dengan membuka pintu lebar-lebar bagi para pengungsi; dengan
menyingkirkan ketakutan, kekhawatiran, kebencian, dan ketikdapedulian pada
imigran dari Timur Tengah. Kebijakan Merkel telah menunjukkan,
Willkommenskultur memperlihatkan orang Eropa lebih menerima daripada para
politisi yang khawatir menghadapi pendatang.
Merkel juga menyadari,
selama 70 tahun terakhir, Jerman yang keluar dari bawah puing-puing Perang
Dunia II sudah menikmati kebaikan hati negara-negara lain, baik AS maupun
bekas musuhnya, yang memberikan bantuan keuangan dan bantuan lain. Uluran
tangan pihak lain untuk bangkit di saat terpuruk sungguh sangat besar
nilainya. Apalagi Merkel sendiri, yang lahir di Jerman Barat dan besar di
Jerman Timur, mengalami betapa pahitnya penderitaan. Pada tahun 1989, Tembok
Berlin runtuh, ribuan orang Jerman Timur membanjiri negara-negara Barat.
"Angela Merkel menunjukkan pemahamannya yang sangat tinggi terhadap
mereka yang mencari selamat dari perang dan keputusasaan," komentar
Stefan Korelius, penulis Angela Merkel: The
Authorized Biography.
Merkel telah
menyadarkan Eropa. Merkel telah menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan
Eropa, semangat bela rasa yang pernah ada dan belakangan dikubur oleh
semangat keduniawian, sekularisme. Perasaan curiga terhadap imigran terutama
dari Timur Tengah, memang, menjadi-jadi setelah tragedi 9/11 di AS. Namun,
gelombang pengungsi dari Suriah dan sekitarnya, yang bagaikan air bah melanda
daratan Eropa telah mengubah banyak hal. Memang, belum semua negara Eropa,
tetapi inilah sejarah baru bagi Eropa.
Walaupun politik
martabat itu sangat mungkin dilandasi oleh kepentingan pragmatis: politis dan
ekonomis. Sebab, dengan membuka pintu lebar-lebar bagi pengungsi, citra
Jerman di Eropa akan tinggi. Secara ekonomis kedatangan para pengungsi sangat
dibutuhkan oleh Jerman yang dari waktu ke waktu kekurangan tenaga kerja.
Menurut perkiraan
tahun 2025 Jerman akan mengalami krisis demografis karena makin berkurangnya
jumlah penduduk: makin banyak orangtua dan semakin sedikit orang muda. Jumlah
penduduk Jerman menurut perkiraan Eurostat saat ini sebanyak 82 juta jiwa
akan turun menjadi 65,4 juta jiwa pada tahun 2080-kalau tidak menerima
imigran-karena semakin sedikit orang yang melahirkan. Padahal, Jerman terus
membutuhkan tenaga kerja dan menurut perkiraan pemerintah Jerman pada tahun
2030, mereka membutuhkan 2,3 juta tenaga kerja.
Apa pun alasannya,
inilah kemenangan "politik martabat" atas "politik
ketakutan", sebagai buah dari pertobatan dan pragmatisme Jerman, yang
bisa dibenarkan secara moral, ekonomi, dan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar