Selasa, 01 September 2015

Mengembalikan Martabat Rupiah

Mengembalikan Martabat Rupiah

Arfanda Siregar  ;  Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan
                                                 KORAN TEMPO, 31 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           


Pemerintah berteori bahwa kejatuhan nilai rupiah adalah akibat devaluasi yuan yang dilakukan Cina. Devaluasi yuan memicu perang kurs, khususnya dengan dolar AS yang belakangan ini menguat akibat bank sentral AS akan menaikkan suku bunganya.

Cina melakukan hal itu agar daya saingnya kembali stabil. Upah buruh dan harga tanah di sana terus melonjak belakangan ini sehingga ekspornya melemah. Nilai yuan dilemahkan agar tingkat ekspor dari Cina meningkat, termasuk ke Indonesia. Inilah penyebab utama martabat rupiah terus-menerus terempas belakangan ini. Adakah upaya mengembalikan harkat martabat rupiah di tengah devaluasi yuan?

Indonesia merupakan salah satu negara utama yang menjadi sasaran pasar produk mereka. Bukan hanya karena secara kuantitas rakyat Indonesia tergolong besar, terlebih lagi adalah lantaran budaya konsumerisme pun tumbuh subur di tengah rakyat. Cina sangat memahami itu, sehingga terus menggenjot produknya memasuki Indonesia. Akibatnya, defisit perdagangan Indonesia terhadap Cina terus melebar dan membuat rupiah terkena sentimen negatif.

Rendahnya kualitas produk dalam negeri menjadi pemicu rendahnya daya saing bangsa terhadap barang dari Cina. Produk mereka mampu memuaskan dahaga konsumen Indonesia yang terkenal lapar akan barang impor. Bayangkan saja, harga sekilogram apel Fuji yang ranum dan berwarna menawan itu lebih murah dibanding harga sekilo jeruk Berastagi yang berwarna kusam.

Hal inilah yang membuat konsumen Indonesia tergoda membeli produk mereka. Hampir semua produk Cina menguasai pasar indonesia. Mulai dari yang remeh temeh, seperti baju bekas, jarum, peniti, pakaian, buah-buahan, hingga yang mahal, seperti smartphone, komputer, hingga kereta api supercepat yang saat ini sedang getol ditawarkan ke Indonesia.

Besarnya permintaan konsumen atas barang yang berasal dari Cina menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan negara cukup membebani. Sampai sejauh ini masyarakat memang tidak sadar bahwa potensi krisis juga bersumber dari konsumerisme laten masyarakat Indonesia terhadap produk impor, khususnya dari Cina.

Melarang masuk produk Cina ke Indonesia juga tidak mungkin. Globalisasi membawa konsekuensi perdagangan bebas antarnegara. Apalagi Indonesia pun termasuk anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan ASEAN Economic Community (AEC). Kalau sudah menjadi anggota, Indonesia harus siap diserbu barang buatan negara anggota organisasi perdagangan dunia tersebut.

Cara yang paling ampuh, mudah, dan murah mengembalikan martabat rupiah adalah dengan memboikot produk impor, terutama yang berasal dari Cina. Nafsu menggebu konsumen Indonesia yang terus memberontak ingin menggunakan barang Cina harus segera dimusnahkan.

Seluruh elemen bangsa dapat mempertahankan kedaulatan rupiah dengan menahan diri untuk tak membeli produk impor, khususnya yang berasal dari Cina. Kehancuran nilai rupiah yang telah melebihi level psikologis jangan dianggap remeh. Krisis ekonomi tahun 1998 harus menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri, meskipun berkualitas lebih rendah daripada produk bangsa lain, khususnya dari serbuan produk Cina. Inilah cara ampuh mempertahankan marwah rupiah di tengah devaluasi yuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar