Mengembalikan Martabat Rupiah
Arfanda Siregar ; Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri
Medan
|
KORAN
TEMPO, 31 Agustus 2015
Pemerintah berteori
bahwa kejatuhan nilai rupiah adalah akibat devaluasi yuan yang dilakukan
Cina. Devaluasi yuan memicu perang kurs, khususnya dengan dolar AS yang
belakangan ini menguat akibat bank sentral AS akan menaikkan suku bunganya.
Cina melakukan hal itu
agar daya saingnya kembali stabil. Upah buruh dan harga tanah di sana terus
melonjak belakangan ini sehingga ekspornya melemah. Nilai yuan dilemahkan
agar tingkat ekspor dari Cina meningkat, termasuk ke Indonesia. Inilah
penyebab utama martabat rupiah terus-menerus terempas belakangan ini. Adakah
upaya mengembalikan harkat martabat rupiah di tengah devaluasi yuan?
Indonesia merupakan
salah satu negara utama yang menjadi sasaran pasar produk mereka. Bukan hanya
karena secara kuantitas rakyat Indonesia tergolong besar, terlebih lagi
adalah lantaran budaya konsumerisme pun tumbuh subur di tengah rakyat. Cina
sangat memahami itu, sehingga terus menggenjot produknya memasuki Indonesia.
Akibatnya, defisit perdagangan Indonesia terhadap Cina terus melebar dan
membuat rupiah terkena sentimen negatif.
Rendahnya kualitas
produk dalam negeri menjadi pemicu rendahnya daya saing bangsa terhadap
barang dari Cina. Produk mereka mampu memuaskan dahaga konsumen Indonesia
yang terkenal lapar akan barang impor. Bayangkan saja, harga sekilogram apel
Fuji yang ranum dan berwarna menawan itu lebih murah dibanding harga sekilo
jeruk Berastagi yang berwarna kusam.
Hal inilah yang
membuat konsumen Indonesia tergoda membeli produk mereka. Hampir semua produk
Cina menguasai pasar indonesia. Mulai dari yang remeh temeh, seperti baju
bekas, jarum, peniti, pakaian, buah-buahan, hingga yang mahal, seperti
smartphone, komputer, hingga kereta api supercepat yang saat ini sedang getol
ditawarkan ke Indonesia.
Besarnya permintaan konsumen
atas barang yang berasal dari Cina menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan
negara cukup membebani. Sampai sejauh ini masyarakat memang tidak sadar bahwa
potensi krisis juga bersumber dari konsumerisme laten masyarakat Indonesia
terhadap produk impor, khususnya dari Cina.
Melarang masuk produk
Cina ke Indonesia juga tidak mungkin. Globalisasi membawa konsekuensi
perdagangan bebas antarnegara. Apalagi Indonesia pun termasuk anggota
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan ASEAN Economic Community (AEC). Kalau
sudah menjadi anggota, Indonesia harus siap diserbu barang buatan negara
anggota organisasi perdagangan dunia tersebut.
Cara yang paling
ampuh, mudah, dan murah mengembalikan martabat rupiah adalah dengan memboikot
produk impor, terutama yang berasal dari Cina. Nafsu menggebu konsumen
Indonesia yang terus memberontak ingin menggunakan barang Cina harus segera
dimusnahkan.
Seluruh elemen bangsa
dapat mempertahankan kedaulatan rupiah dengan menahan diri untuk tak membeli
produk impor, khususnya yang berasal dari Cina. Kehancuran nilai rupiah yang
telah melebihi level psikologis jangan dianggap remeh. Krisis ekonomi tahun
1998 harus menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk mencintai produk dalam
negeri, meskipun berkualitas lebih rendah daripada produk bangsa lain,
khususnya dari serbuan produk Cina. Inilah cara ampuh mempertahankan marwah
rupiah di tengah devaluasi yuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar