Membersihkan Dosa Kolektif G30S
Franz Magnis-Suseno ;
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta
|
KOMPAS,
29 September 2015
Pada pagi buta tanggal
1 Oktober 1965 di Jakarta, suatu gerakan yang menamakan diri Gerakan 30
September (sebutan ini akan saya pakai selanjutnya) membunuh enam jenderal
dan Kapten Pierre Tendean serta membentuk suatu Dewan Revolusi sebagai
penguasa tertinggi (di Yogyakarta juga terbentuk Dewan Revolusi yang membunuh
Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono).
Tak berlebihan,
peristiwa itu peristiwa paling menentukan dan paling traumatik dalam sejarah
Indonesia merdeka. Dari tanggal 1 Oktober itu—yang menjadi permulaan dari
berakhirnya kepresidenan Soekarno—lepas suatu dinamika yang bermuara dalam
suatu orgasme pembalasan berupa pengejaran, penyiksaan, pembunuhan, dan
penghancuran sosial puluhan juta warga bangsa yang akan termasuk salah satu kejahatan
genosidal paling mengerikan terhadap hak-hak asasi manusia di bagian kedua
abad ke-20.
Selama 50 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 dengan buntutnya yang sedemikian
mengerikan itu tak dapat dibicarakan secara terbuka. Sekarang saja, begitu
kita diperingatkan—dan saya sependapat—pembicaraan harus bijaksana dan
hati-hati kalau tak mau berakhir dalam kegagalan. Namun, kita harus
membicarakannya. Dengan berhati-hati, iya, tetapi juga dengan jujur.
Kita harus bertanya,
bagaimana kekejaman di luar segala ukuran terhadap bangsa kita sendiri bisa
terjadi. Hal ini tak lain demi integritas dan harga diri kita sendiri. Bangsa
Indonesia tidak dapat selamanya lari dari sejarahnya. Tak mungkin kita
mencapai sinergi bersama yang positif—Soekarno menyebutnya gotong royong—yang
perlu untuk menghadapi masa depan penuh tantangan kalau kita tak berani
menghadapi masa lampau.
Masalahnya bukan
apakah PKI berada di belakang Gerakan 30 September (G30S) itu atau tidak
(mengikuti, antara lain, John Roosa [2006], saya sendiri tak meragukan
keterlibatan Ketua PKI DN Aidit dan beberapa pemimpin PKI lain). Masalahnya:
mengapa tak cukup kalau PKI dilarang dan dibubarkan saja? Mengapa sejuta
rakyat (bisa lebih) mesti dibunuh? Betul, Presiden Soekarno menolak tindakan
terhadap PKI. Namun, pada akhir Oktober 1965, PKI sudah tak berdaya sama
sekali.
Mengapa pada waktu PKI sudah lumpuh, desa-desa dan kota-kota,
mulai dari Jawa Tengah sampai seluruh pelosok Tanah Air, secara sistematik
disisir. Masyarakat yang dianggap PKI atau dekat PKI ada yang langsung
dieksekusi; ada yang diciduk dulu, ditahan, tetapi kemudian, biasanya pada
malam hari, dibawa ke tempat-tempat sepi dan dibunuh di sana (Sarwo Edhie menyebut
angka 3 juta orang yang dibunuh, kiranya angka yang
terlalu besar). Padahal, pembunuhan-pembunuhan
itu bukan pengeroyokan spontan oleh masyarakat yang emosional, melainkan
dilakukan dengan kepala dingin dan persiapan administratif!
Lebih banyak lagi
yang ditahan (menurut Sudomo seluruhnya 1,9 juta orang). Mereka dikategorikan
ke dalam golongan A (yang kemudian dibawa ke pengadilan), golongan B (yang
dianggap orang penting, tetapi karena tak melakukan sesuatu yang bisa
dituduhkan, mereka ditahan begitu saja), dan golongan C yang kemudian
dilepaskan lagi. Mereka yang dilepaskan tak dapat kembali ke kehidupan
normal. Pemerintahan Soeharto menetapkan sederetan peraturan dan ”kebijakan”
yang menstigmatisasi lebih dari 10 juta saudara/ saudari kita ”terlibat” atau
”tidak bersih lingkungan”. Di masyarakat, mereka dicap ”PKI” dan diasingkan
dari pergaulan normal dengan tanda ”ET” (eks tapol) di KTP, harus teratur
lapor ke kelurahan, banyak yang kehilangan nafkah hidup dan rumah, tempat
kerja tertentu tertutup bagi mereka, yang pegawai negeri dipecat.
Ratusan ribu orang golongan B ditahan lebih dari sepuluh
tahun tanpa proses pengadilan. Mereka sering disiksa, perempuan-perempuan
diperkosa. Puluhan ribu tahanan dibuang ke Pulau Buru yang menjadi kamp
konsentrasi raksasa, hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi. Semua jutaan
saudara-saudari kita itu hancur secara sosial.
Melepaskan kebohongan
Mari kita berani
menghadapi dengan mata terbuka apa yang terjadi 50 tahun lalu itu. Kita perlu bertanya bagaimana pelanggaran HAM begitu
kasar dan luas bisa sampai terjadi. Kok, bangsa yang membanggakan Pancasila
dan cita-cita kemerdekaan seperti termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945—yang pada setiap kesempatan diobral Orde Baru—bisa melakukan sesuatu
yang termasuk genosid paling tak berperikemanusiaan di bumi dalam 60 tahun terakhir? Bahwa pembunuhan
ekstrem brutal para pahlawan 1 Oktober 1965 oleh G30S harus ditindak tegas
dan ditumpas sudah jelas. Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bersedia
menerima omongan yang sampai sekarang masih dapat didengar bahwa karena ”PKI
membunuh jenderal-jenderal”, maka jutaan saudara dan saudari sebangsa yang sedikit
pun tak terlibat dalam pembunuhan itu diburu seperti binatang, ditangkap,
disiksa, diperkosa, dibunuh, hanya karena mereka secara politik berpihak pada
PKI?
Maka, sebaiknya kita
tidak lari dari masa lampau. Sudah waktunya kita berani melepaskan kebohongan-kebohongan
seperti disuntikkan ke dalam kesadaran kolektif bangsa melalui film
Pengkhianatan G30S/PKI. Sudah waktunya kita bersama-sama bersedia mengaku
bahwa something went terribly wrong
dalam reaksi terhadap G30S. Sekali lagi, itu tuntutan harga diri kita
sendiri.
Peringatan 50 tahun
G30S sebaiknya kita persiapkan. Kita harus berani menghadapi apa yang terjadi
50 tahun lalu kalau hati bangsa mau dibersihkan dari segala keterlibatan dan
dosa kolektif terhadap sebagian saudara/saudari kita. Kita harus melakukannya
bersama. Refleksi atas apa yang waktu itu terjadi tak boleh merupakan
kegiatan beberapa LSM dan kaum intelektual saja. Kita bersama perlu
melakukannya. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan agar kita
bersama-sama dapat membersihkan hati kita. Kebanyakan mereka yang terlibat
genosid 1965-1966 itu sudah menghadap Tuhan.
Maka, kesediaan
pemerintah untuk mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM di masa
lampau pantas dipuji. Keberanian menghadapi secara jujur, terbuka, dan etis
apa yang terjadi sebagai reaksi atas G30S perlu didorong oleh pemerintah.
Namun, sangat perlu DPR sebagai perwakilan rakyat juga mendukung proses itu
dan melibatkan diri. Ormas-ormas agama perlu dilibatkan,
universitas-universitas harus berperan, juga media dan seluruh masyarakat.
Hal ini agar kesadaran akan keraksasaan kejahatan pasca G30S mempersatukan
dan bukan malah memecahbelahkan kita.
Pembubaran PKI
Agar kebersamaan itu
mungkin, perlu diperhatikan satu hal, yakni mengakui bahwa seharusnya
pembunuhan, penghancuran eksistensi, dan stigmatisasi terhadap
saudara-saudari sebangsa 50 tahun lalu tidak terjadi. Hal ini tidak berarti
bahwa PKI harus direhabilitasi. Tentu orang boleh menuntutnya, tetapi
tuntutan itu bersifat politis dan jangan dicampuradukkan dengan tuntutan
kemanusiaan dan etika bahwa para korban pelanggaran berat HAM akhirnya
mendapat keadilan.
Justru di luar negeri
sekian pengkritik Indonesia mencampuradukkan dua tuntutan itu. Seakan-akan
pengakuan terhadap besarnya pelanggaran hak-hak asasi para korban pembersihan
pasca G30S menuntut agar keberatan-keberatan terhadap PKI dan perannya
menjelang peristiwa G30S ditarik kembali. Fakta
bahwa sesudah G30S terjadi pelanggaran terhadap hak asasi orang-orang yang
dianggap PKI tak lalu berarti bahwa keberatan-keberatan serius terhadap PKI
tak berdasar. Ada pertimbangan ideologis ataupun politis yang dapat mendukung
pembubaran PKI.
Pertimbangan
ideologis:
PKI secara resmi mendasarkan diri atas marxisme-leninisme (PKI tak pernah
menganggap diri semacam ”komunis ala Indonesia”, tetapi komunis tulen, jadi
memang marxis-leninis). Namun, marxisme-leninisme secara resmi mengajarkan
ateisme, yang oleh PKI memang tak ditonjolkan. Marxisme-leninisme
sejelas-jelasnya mengajarkan, kaum komunis harus memegang monopoli kekuasaan. Harapan Soekarno
bahwa PKI dalam kerangka Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) akan
bersedia menjadi hanya satu dari tiga kekuatan revolusioner bangsa Indonesia
tak sesuai ideologi komunis. Di negara mana pun yang dikuasai komunis, hanya
komunislah yang berkuasa.
Secara politis, tahun 1965, bangsa
Indonesia sebenarnya sudah terpecah dua. Adalah terutama PKI yang dengan
bahasanya yang keras-konfrontatif memecahbelahkan kesatuan bangsa menjadi
kubu revolusioner dan musuh-musuhnya. PKI-lah
yang mengancam para lawan mereka sebagai ”tujuh setan desa” dan ”kafir” yang
perlu diganyang. Masyumi dan PSI terus difitnah sebagai antek Nekolim. Para
pencetus Manifesto Kebudayaan dihantam habis-habisan (antara lain oleh
Pramoedya Ananta Toer yang memakai bahasa yang kasar sekali), dan hanya dua
hari sebelum G30S, Aidit menantang Presiden Soekarno sekali lagi untuk
membubarkan HMI.
Segala kritik terhadap
peran PKI diharamkan sebagai komunistofobi. Pada akhir 1964, sebanyak 20
koran anti komunis dilarang, dan seterusnya. Waktu itu, mereka yang tak
termasuk kubu ”progresif-revolusioner” itu diliputi ketakutan. Orang ingat
akan Madiun, tetapi Madiun waktu itu tak dapat dibicarakan.
Saya berpendapat
bahwa suasana yang sampai pertengahan tahun 1965 diciptakan terutama oleh PKI
menjadi sedemikian konfrontatif sehingga tidak mungkin ditampung lagi dalam
mekanisme pemecahan ketegangan yang tersedia dalam budaya Indonesia
tradisional.
Itu yang lalu terungkap sebagai ”mereka atau kami” (kekhawatiran bahwa
komunis akan kembali berkuasa masih terasa sampai 1966 dan saya masih ingat
betapa larangan PKI oleh Jenderal Soeharto pada 12 Maret 1966 kami rasakan
seperti ada beban berat diambil dari hati kami, suatu perasaan yang sekarang
pun masih ada pada saya). Maka dari itu, kalau akhirnya kita berani mengakui kengerian
pelanggaran hak-hak asasi mereka yang dicap ”terlibat” sesudah G30S,
pengakuan itu tidak berarti bahwa PKI harus direhabilitasi. Dan sebaliknya,
bahwa PKI merupakan musuh yang dibenci dan ditakuti tidak membenarkan bahwa
jutaan anggota masyarakat yang tertarik pada PKI secara sistematik dibunuh
dan dihancurkan.
Dari kita betul-betul
dituntut kebesaran hati untuk mengakui bahwa reaksi pasca G30S sama sekali
keluar rel. Itu tuntutan keadilan paling dasar. Para korban perlu diakui
sebagai korban. Perlu diakui, stigmatisasi mereka sebagai pengkhianat atau
simpatisan pengkhianatan bangsa merupakan ketidakadilan besar. Kemanusiaan
dan kewarganegaraan mereka perlu diakui kembali sepenuhnya. Itu langkah
paling pertama. Dan jelas juga, pengakuan korban sebagai korban hanya jujur
kalau mereka, dalam batas-batas kemungkinan, direhabilitasi dan diterimakan
suatu ganti rugi (dan kepada mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri
perlu ditawarkan kemungkinan untuk kembali ke Tanah Air tanpa kesulitan
birokratis). Sudah sangat mendesak agar para korban mendapat keadilan. Baru
sesudah itu kita boleh minta maaf. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar