Melawan Kelesuan Global
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS,
21 September 2015
Bank sentral Amerika
Serikat, The Fed, kembali menunda kenaikan suku bunga acuan. Perekonomian AS
masih berada pada ”zona tidak normal” dengan rezim suku bunga nol persen.
Sementara itu, di dalam negeri kita, mulai terlihat gejala positif. Pertama,
serapan anggaran pemerintah mulai meningkat, khususnya melalui berbagai
proyek infrastruktur. Kedua, impor bahan baku dan barang modal mulai naik
sebagai pertanda pergerakan sektor manufaktur.
Mampukah geliat pada
perekonomian domestik ini melawan kelesuan global yang makin suram?
Sudah enam tahun
perekonomian AS mempertahankan suku bunga rendah. Dan meskipun sejak Desember
2014 komitmennya naik, hingga hari ini belum juga dilakukan. Faktor Tiongkok
menambah kompleksitas masalah sekaligus menimbulkan ketidakpastian global.
Majalah The Economist (edisi 29/8)
menyebutkan, malaise ekonomi global terlihat sangat kasatmata. Sebelumnya,
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde
menyatakan, perekonomian global akan memasuki fase baru (the new mediocre). Bahasa halusnya, normal yang baru (the new normality) atau keseimbangan
baru (the new equilibrium).
Belum lama ini, Morgan
Stanley merilis laporan mengenai perekonomian Indonesia berjudul ”2Q15 GDP Remains in Low Growth Channel; What Lies Ahead?”. Lembaga ini melihat
empat tantangan pokok pada semester II-2015. Pertama, penyesuaian kebijakan
ekonomi Tiongkok, dimulai dengan devaluasi yuan, yang diyakini akan ada
kebijakan lanjutan yang semakin meyakinkan pelambatan ekonomi domestik.
Kedua, pemulihan ekonomi global akan terganggu, apalagi jika ketegangan
kebijakan antarnegara meningkat setelah devaluasi yuan. Ketiga, kenaikan suku
bunga The Fed serta implikasinya pada pasar keuangan global. Keempat,
percepatan realisasi APBN kita.
Dari empat faktor yang
disebut, hanya satu yang berasal dari sisi domestik, sedangkan yang lain
merupakan faktor eksternal yang tidak bisa kita pengaruhi. Dibandingkan
dengan masalah kenaikan suku bunga The Fed, faktor Tiongkok jauh lebih
mencemaskan karena kita tak pernah tahu secara pasti apa yang sebenarnya
terjadi pada perekonomian terbesar kedua negara ini. Soal kenaikan suku bunga
The Fed, tampaknya pelaku pasar sudah melakukan antisipasi dan sangat mungkin
sudah memperhitungkan dalam keputusan investasi mereka.
Di dalam negeri, ada
hal yang menggembirakan. Pertama, penyerapan anggaran pada triwulan III-2015
meningkat pesat. Hingga akhir tahun, penyerapan anggaran diperkirakan bisa
mencapai 94-96 persen meskipun hingga September ini baru 55 persen.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memiliki kinerja baik dengan
penyerapan anggaran 33 persen, disusul Kementerian Kelautan dan Perikanan (32
persen) serta Kementerian Perindustrian (26 persen).
Kedua, impor bahan
baku dan barang modal pada Agustus lalu naik, menandakan sektor manufaktur mulai
bergerak. Sekitar 75 persen impor Indonesia berupa bahan baku dan 16 persen
barang modal. Pada Agustus 2015, impor bahan baku naik menjadi 9 miliar
dollar AS dari bulan sebelumnya sekitar 7 miliar dollar AS. Impor barang
modal naik menjadi sekitar 2 miliar dollar AS dari sekitar 1,6 miliar dollar
AS. Jika kinerja ekspor tak meningkat, defisit neraca perdagangan akan
meningkat pada triwulan IV-2015. Ekspor terkendala pelambatan global dan
faktor Tiongkok yang masih tak pasti.
Ketiga, penyaluran
kredit perbankan meningkat. Aktivitas bisnis dan investasi mulai meningkat
lagi. Diharapkan paket kebijakan September I segera memberikan efek nyata
berupa kemudahan melakukan usaha sehingga paling tidak pelambatan ekonomi tak
berlanjut.
Kendati ada tanda
perbaikan, tantangan perekonomian domestik begitu nyata. Pertama, perihal
serapan anggaran, persoalan yang perlu diantisipasi adalah penurunan target
pajak. Tanpa kalkulasi realistis target pajak, APBN mengandung bom waktu.
Kedua, daya beli masyarakat yang telanjur turun. Meskipun serapan anggaran,
proyek infrastruktur, dan laju kredit naik, jika kelangkaan komoditas pokok
berlanjut, daya beli masyarakat akan digerogoti.
Dengan demikian,
menjaga kebutuhan pokok menjadi salah satu kunci mempertahankan konsumsi domestik.
Paket kebijakan September I diharapkan mendorong minat investor domestik dan
global untuk melakukan kegiatan usaha. Ditambah dengan belanja pemerintah
yang terukur, diharapkan pelambatan perekonomian akan tertahan. Kalaupun
tidak ada perbaikan penting, paling tidak situasinya tidak lebih buruk.
Terakhir, dalam
situasi yang masih rentan seperti sekarang ini, tidak ada ruang melakukan
kegaduhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar